Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menargetkan penjualan pada masa Natal tumbuh sekitar 15 persen. Angkanya lebih rendah dari rata-rata penjualan pada periode tersebut yaitu sekitar 25 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan penurunan proyeksi penjualan salah satunya didasarkan kepada fenomena perubahan pola konsumsi masyarakat. "Kembali lagi, masih di dalam fenomena perubahan pola konsumsi dan daya beli," kata dia di Gedung Bulog, Jakarta, Senin, 27 November 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pola konsumsi masyarakat bergeser dari non leisure ke leisure. Masyarakat lebih banyak menghabiskan uangnya untuk tiket pesawat, menginap di hotel, dan makan di restoran dibanding belanja pakaian.
Terkait dengan daya beli, Roy berharap Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang disalurkan ke pemerintah daerah bisa terealisasi 100 persen. "Karena yang sekarang menahan belanja itu bukan kelompok masyarakat kelas A dan B, tapi kelas C dan D," kata dia.
Mereka menahan belanja karena tidak memiliki alokasi maksimal untuk produktivitas sehingga mereka tidak memiliki pekerjaan. Dampaknya, masyarakat tersebut tidak bisa melakukan konsumsi. Dengan kucuran dana, Roy berharap lapangan kerja akan terbuka sehingga masyarakat bisa memiliki pendapatan.
Roy mencatat penurunan penjualan sudah terlihat saat Idul Fitri. Selama periode lebaran, penjualan hanya tumbuh 5 persen. Padahal biasanya penjualan bisa tumbuh hingga 20 persen selama periode tersebut.
Untuk omset industri ritel, Roy menargetkan tumbuh melambat. Nilainya diperkirakan sekitar Rp 250 triliun tahun ini. Dia menuturkan kontribusi Natal mencapai 15-20 persen dari total target penjualan. Sementara lebaran bisa berkontribusi sebesar 40-45 persen.
VINDRY FLORENTIN