Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Kaleidoskop 2017, Tutupnya Gerai Ritel dan Serbuan Toko Online

Tutupnya sejumlah gerai ritel di mal karena terjadi oversupply, bukan karena desakan toko online. Bisnis Ritel menurun sepanjang 2017.

26 Desember 2017 | 09.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Oktober 2017, pelaku bisnis ritel, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) menutup tiga gerai Lotus Department Store di Thamrin (Jakarta Pusat), Cibubur (Jakarta Timur), dan Bekasi. Penutupan tiga gerai menyusul penutupan dua gerai sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebulan sebelumnya gerai Matahari Department Store yang berada di Pasaraya Blok M dan Pasaraya Manggarai, Jakarta Selatan, ditutup karena sepi pembeli. Dua toko Hypermart, yang satu grup dengan Mathari, juga ditutup. Ramayana pun menutup enam gerai di tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, tutupnya sejumlah gerai besar itu sedikit banyak terkait dengan penurunan daya beli masyarakat.

Menurut dia, pertumbuhan sektor ritel harus didorong oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada tahun ini terkonfirmasi lesu. "Kuncinya sekarang memulainya dengan pemulihan daya beli masyarakat," kata Enny kepada Tempo pada Sabtu, 23 Desember 2017.

Enny tak menampik terjadi penurunan daya beli masyarakat yang terlihat dari rendahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Padahal, kata Enny, konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 56-57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Enny berujar, jika tidak disumbang pertumbuhan investasi, ekonomi Indonesia akan sulit menembus angka 5 persen dengan lesunya konsumsi rumah tangga.

Enny mengatakan pergeseran pola konsumsi ke digital seharusnya tidak berpengaruh terhadap penurunan daya beli sebab pada dasarnya pengeluaran tetap terjadi. Pengaruh baru terasa, kata Enny, jika transaksi digital lebih banyak dilakukan untuk membeli produk impor.

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada A Tony Prasetiantono mengakui shifting pola konsumsi sedang terjadi. Kendati begitu, dia meyakini e-commerce tak akan 100 persen menggantikan transaksi perdagangan tradisional. "Hanya sebagian, mungkin nanti hingga 20 persen saja," kata Tony.

Ihwal tutupnya sejumlah gerai ritel pada tahun ini, Tony berpendapat kondisi oversupply juga berkontribusi terhadap hal tersebut. "Bahwa tenant-tenant di mall ada yang tutup, saya pikir tanpa e-commerce pun sudah mulai terjadi oversupply di mall, sehingga secara natural tetap ada saja yang tutup karena kalah bersaing," paparnya.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memprediksi pertumbuhan omzet retail melambat dari Rp 300 triliun menjadi Rp 250 triliun tahun ini. Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey, mencatat, penurunan penjualan sudah terlihat saat Idul Fitri. Selama masa libur tersebut, penjualan retail hanya tumbuh 5 persen. Padahal biasanya penjualan ritel saat Idul Fitri bisa naik hingga 20 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memantau usaha retail yang mulai beralih ke perdagangan elektronik agar tak mengganggu perekonomian. Dia mengatakan adanya pergeseran pola belanja dari toko ke online bukan berarti daya beli masyarakat menurun. "Setiap ada pertemuan G-20 topik ini selalu jadi perbincangan hangat," ujar dia.

Ketua Bidang Ekonomi dan Bisnis Asosiasi E-Commerce Indonesia, Ignatius Untung, mengatakan cepat atau lambat semua bidang seperti usaha ritel bakal digeser teknologi. Dia berharap semua pelaku bisnis harus terus mengikuti zaman. "Contohnya, gerbang tol. Sekarang tak perlu kasir."

VINDRY FLORENTIN | ANDI IBNU | ADITYA BUDIMAN | ALI NY | ALI HIDAYAT

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus