Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar timah putih seukuran jari telunjuk itu diperlihatkan kepada 21 peserta rapat di kantor Pangkalan Angkatan Laut Batam, Rabu dua pekan lalu. Difoto beberapa hari sebelumnya, seperti itulah bentuk timah non-batangan di dalam 58 kontainer yang ditahan TNI Angkatan Laut sejak 7 Maret lalu.
Komandan Pangkalan Kolonel Laut Ribut Eko Suyatno bertanya kepada para tamunya yang berasal dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, PT Surveyor Indonesia, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), serta Asosiasi Solder Indonesia. "Timah berdiamater sejari telunjuk ini bisa disebut solder?"
Lay Rusli Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Solder, yang hadir dalam rapat, kemudian menjawab, "Menurut aturan, solder hanya berdiameter 0,3-3 milimeter, tidak ada yang sebesar jari telunjuk." Dengan alasan itu, timah dengan bentuk selain batangan tersebut harus punya klasifikasi khusus agar bisa diekspor.
Bukan tanpa perlawanan, seorang peserta yang mewakili surveyor ngotot bahwa gulungan timah tersebut tetap layak disebut solder. Mereka tak mau kalah dengan menunjukkan gambar-gambar serupa yang diambil dari Internet. Namun, menurut Lay Rusli, yang diperlihatkan oleh surveyor itu bukannya timah solder, melainkan alat pencetaknya. "Terang saja terlihat lebih besar."
Rapat yang diawali dengan makan siang bersama itu adalah pertemuan keempat sejak patroli Gugus Keamanan Angkatan Laut Armada Barat menangkap tongkang Bina Marine 76 bersama kapal penariknya, Bina Marine 75, Jumat dua pekan sebelumnya. Kapal berbendera Indonesia yang mengangkut 176 peti kemas dari pelabuhan laut Pangkal Balam, Bangka Belitung, itu dicegat karena dicurigai membawa timah ilegal menuju Singapura.
Persoalan jadi sensitif lantaran kapal itu berlayar di bawah kawalan polisi. Petugas patroli Angkatan Laut mendapati empat anggota Direktorat Polisi Air dan Udara berseragam dan bersenjata lengkap, yang kemudian ikut digiring ke tahanan. Spekulasi pun merebak, ada tangan-tangan petinggi atau pensiunan jenderal polisi di balik bisnis timah di Bangka Belitung.
Apalagi dalam rapat-rapat koordinasi itu wakil dari kepolisian tak tampak hadir. "Saya hanya mengundang yang berkaitan," ujar Kolonel Ribut, Rabu pekan lalu. Ia enggan memberi penjelasan setiap kali ditanya ihwal keterlibatan sejumlah anggota polisi di balik ekspor ilegal tersebut. "Itu bukan kewenangan saya."
Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta langsung tersengat mendengar penangkapan itu. Koordinasi segera dilakukan dengan menelepon petinggi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, untuk memastikan bahwa semua dokumen ekspor yang melengkapi pengapalan timah itu sah. Selang sehari, muncul pernyataan dari Bea dan Cukai bahwa timah non-batangan di atas kapal yang ditangkap Angkatan Laut itu disertai syarat-syarat administrasi yang legal, termasuk laporan surveyor.
Empat perwira menengah senior juga dikirim ke Batam untuk melobi agar empat polisi pengawal kapal itu dilepas. Tapi Angkatan Laut berkukuh hendak memproses mereka berikut kasus ini ke level lebih lanjut, kecuali ada perintah dari otoritas tertinggi. Seperti dikatakan Ribut, penyelidikan kasus ini berfokus untuk menangkal kerugian negara yang bersumber dari ekspor timah. Menurut dia, ekspor ilegal merugikan negara karena tak membayar pajak, selain merusak lingkungan.
Lagi-lagi komandan pangkalan dengan tiga melati di pundak itu menghindar setiap kali ditanya perihal "gesekan" dengan polisi itu. Begitu pula tentang adanya empat perwira berpangkat setara dengannya, yakni komisaris besar, yang khusus dikirim ke Batam.
"Saya tidak ketemu orang-orang itu," katanya. "Enggak ada masalah itu (gesekan akibat penahanan polisi).
Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Ronnie Franky Sompie, menegaskan tak ada pelanggaran dalam prosedur pengawalan oleh personel mereka. "Timah diperoleh dari hasil lelang resmi." Penjelasan juga datang dari Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Suhardi Alius. "Mereka hanya sebentar di sana. Sekarang diproses di Divisi Profesi dan Pengamanan," katanya. "Karena, setelah kami periksa, mereka membawa surat tugas. Apakah suratnya resmi atau tidak, itu yang sekarang sedang diperiksa."
Di Bangka Belitung, perubahan juga terjadi menyusul penangkapan di Batam. Meski secara resmi peristiwa itu dianggap tak berkaitan, pada hari yang sama terbit telegram rahasia Kepala Polri yang isinya menggeser Brigadir Jenderal Budi Hartono Untung dari posisinya sebagai kepala kepolisian daerah di sana.
Penggantinya adalah Brigadir Jenderal Gatot Subiyaktoro, yang sebelumnya menjabat Direktur Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal. "Sejak bertugas di Mabes Polri, saya sudah meneropong aktivitas tambang ilegal di Bangka Belitung itu. Kami berjanji menindak tegas semua tambang ilegal," ujar Gatot dalam acara silaturahmi dengan wartawan, Selasa pekan lalu.
Dia menambahkan, semasa menjabat di Mabes Polri, ada delapan kasus yang ia tangani sehubungan dengan tambang ilegal di provinsi penghasil timah itu. "Kalau ada tambang ilegal, tim dari Mabes Polri juga pasti turun. Semua tindak pidana pertambangan akan ditindak tegas. Jangan yang kaya orang itu-itu saja," ujarnya. "Bicara tentang pertambangan timah di Bangka Belitung itu berkaitan dengan perut masyarakat. Kita akan mencari solusi yang terbaik, jangan sampai masyarakat susah."
Kesimpulan dan penentuan tentang sah-tidaknya timah di atas tongkang yang ditahan itu ternyata tak gampang. TNI Angkatan Laut mengungkapkan, setelah dilakukan pemeriksaan dan uji laboratorium bersama tim Bea dan Cukai, mereka mendapatkan bukti bahwa timah dalam 58 peti kemas senilai US$ 33,4 juta atau sekitar Rp 350 miliar lebih itu diduga melanggar aturan ekspor. "Mereka menghindari BKDI karena asal bijih timahnya ilegal," ujar Kolonel Ribut. "Proses selanjutnya kami serahkan ke Bea dan Cukai."
Setelah pertemuan-pertemuan sebelumnya tak berhasil mencapai titik temu, rapat pada Rabu dua pekan lalu itu pun kembali berlangsung alot. Hampir delapan jam pertemuan hanya digunakan untuk memperdebatkan status timah yang diklaim sebagai solder lalu dikirim ke luar negeri itu.
Perwakilan PT Surveyor Indonesia yang ikut hadir dalam rapat, Mukhlison Masudi, meyakinkan perusahaannya memberikan laporan yang benar tentang mutu dari ratusan kontainer timah itu. "Kami telah melakukan pengujian menurut standar yang ditentukan. Sedangkan kami tidak tahu pengambilan, preparasi, dan pengujian ulang oleh Angkatan Laut menggunakan standar apa serta peralatan apa," katanya. "Kami selalu berkoordinasi dengan Bea dan Cukai. Selama ini kami anggap tidak ada kesalahan. Buktinya dapat dilihat dengan disahkannya persetujuan ekspor barang oleh Bea dan Cukai."
Ferry Nur Ambiya, pelaksana di Direktorat Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang hadir dalam rapat bersama Angkatan Laut, tak mau institusinya disebut teledor dengan sembarangan memberi persetujuan ekspor. Ia mengatakan Bea dan Cukai tidak melakukan pemeriksaan fisik terhadap timah tersebut. Pemeriksaan hanya mengacu pada laporan surveyor. "Aturannya memang begitu," ujarnya. Ia juga memastikan sejauh ini belum menerima pelimpahan kasus dari Angkatan Laut. "Kami masih menunggu."
Selain solder, timah yang ditulis berkategori "anode" disorot keabsahaannya. Sebab, mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013, timah non-batangan memang boleh diekspor tanpa melalui transaksi BKDI. Kewajiban melalui BKDI baru akan ditetapkan mulai awal tahun depan.
Masalahnya, BKDI mencurigai, sejak peraturan menteri itu berlaku pada pertengahan 2013, ekspor timah batangan melalui jalur lembaga tersebut terus turun. Puncaknya menjelang akhir tahun, volumenya benar-benar anjlok. Tapi, di luar bursa, pengapalan timah dengan bentuk lain justru melonjak sampai 30 kali.
Meski memberi untung bagi para pemain timah partikelir di sentra penambangan di Bangka Belitung, situasi ini dianggap merugikan bisnis timah nasional. Menurut Fenny Widjaja, Komisaris Utama BKDI, pasokan timah yang membanjiri pasar internasional membuat bursa lokal kalah bersaing dengan bursa di Malaysia dan London. Padahal, sebagai eksportir terbesar dengan cadangan kedua terbanyak di dunia, semestinya Indonesia bisa memiliki posisi tawar kuat dalam mengendalikan pasar. "Ekspor besar-besaran timah di bawah kadar yang ditetapkan itu sangat merugikan Indonesia."
Kerugian Indonesia jelas terlihat dari data yang menunjukkan Malaysia dan Thailand bisa mengekspor puluhan ribu ton timah olahan, padahal produksi bijih timah mereka sangat sedikit. Bahkan sudah dua tahun belakangan Thailand tak lagi menambang bijih timah, tapi masih bisa memproduksi dan mengekspor olahannya sampai 23 ribu ton (lihat infografis).
Sebaliknya Indonesia, yang menambang rata-rata di atas 90 ribu ton bijih timah, hanya memproduksi olahan separuhnya. "Dari angka-angka itu saja, sudah bisa diduga bahwa konsentrat atau timah mentah sisanya dikirim ke smelter di Thailand dan Malaysia itu. Tidak mungkin mereka beli mentah dari Cina," kata salah satu pengusaha timah.
Penyelidikan untuk melacak pembeli timah non-batangan di tongkang Bina Marine ke Singapura semakin memperkuat kecurigaan adanya permainan tak elok dalam bisnis ini. Ada empat perusahaan penampung yang teridentifikasi, yakni Arina Resources, Singapore Solder Technology, United Brothers Resources, dan Lotus SG.
Dari data yang dicatat pemerintah Singapura melalui Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA), terlihat bahwa, kecuali Lotus, tiga perusahaan lain memiliki irisan pemilik yang sama, yakni Chen Chai Yuen. Sedangkan nama Indra Tukimin tercatat di dua perusahaan, yaitu United dan Arina. Dua pengusaha tersebut adalah warga Singapura.
Keanehan lain terlihat dalam dokumen ACRA yang diperoleh Tempo. Sebab, ketiga perusahaan milik Chan Chai Yuen itu ternyata hanya menyetor modal awal Sin$ 100 alias kurang dari Rp 1 juta. Ketiganya juga baru berdiri pada paruh kedua 2013, setelah peraturan baru Menteri Perdagangan tentang tata niaga timah diberlakukan. "Bagaimana mungkin perusahaan dengan modal 100 dolar bisa membeli timah yang harganya puluhan juta dolar? Ini pasti akal-akalan," ujar salah satu pengusaha.
Beberapa warga negara Indonesia juga tercatat sebagai pengurus atau ikut memiliki saham di tiga perusahaan bersama Chan Chai Yuen. Salah satunya Hendra Erwanto Arif, putra Hidayat Arsani. Nama terakhir ini Presiden Asosiasi Tambang Timah Indonesia (ATTI), yang belum lama ini terpilih sebagai Wakil Gubernur Bangka Belitung. Dia disebut sebagai pemilik PT ATD Makmur Mandiri, PT Keranji Jaya, dan CV Ayi Jaya, yang timahnya ada di antara 58 kontainer timah yang diduga bermasalah.
"Itu sama sekali tidak benar. Saya sudah enam bulan tidak ikut perkembangan apa pun soal pertimahan. Silakan saja dicek. Selama enam bulan tersebut, saya berfokus mengurus persyaratan saya menjadi calon wakil gubernur," ujar Hidayat, Rabu pekan lalu. "Anak saya baru tamat sekolah dan ada di Bangka. Masak, disebutkan punya perusahaan. Kalau bisnis di Singapura harus berdomisili di sana juga."
Sampai Rabu pekan lalu, tongkang Bina Marine 76 dan tug boat penariknya masih lego jangkar di pelabuhan kargo Batu Ampar, Batam. Dengan keruwetan dan potensi gesekan antar-institusi yang besar itu, para pengusaha timah sekarang justru sama-sama bertaruh akan sampai di mana kasus ini nanti dibawa. "Kami khawatir tak akan jadi ke mana-mana," kata salah satu dari mereka.
Y. Tomi Aryanto, Akbar Trikurniawan, Martha Thertina, Servio Maranda (Pangkalpinang), Rumbadi Dalle (Batam)
Jalur Gelap Timah Bangka
PENANGKAPAN dua kapal yang memuat 176 kontainer berisi timah di perairan Selat Riau mempertegas sebuah cerita lama: timah ilegal masih terus mengalir dari Bangka Belitung. Sudah sejak dulu jutaan ton timah dikeruk dan dikirim secara ilegal ke luar negeri.
Akibatnya, keuntungan besar dinikmati negara-negara jiran. Mereka hanya memproduksi sedikit bijih timah tapi mampu menjual timah yang sudah dimurnikan dalam jumlah besar. Harga timah di pasar dunia juga terus melorot, yang buntutnya merugikan eksportir berizin Indonesia
Mengalir Jauh
Pulau Bangka ==> Pelabuhan Singapura ==> Malaysia ==> Thailand
Data Produksi Janggal Negeri Jiran
Timah olahan | Bijih timah (kiloton) | |
Malaysia | 39,5 | 3,0 |
37,8 | 3,7 | |
32,7 | 3,8 | |
Thailand | 21,0 | 0,5 |
22,9 | ||
23,0 | ||
Indonesia | 53,0 | 89,7 |
52,4 | 96,6 | |
53,1 | 94,3 | |
Cina | 165,0 | 106,4 |
152,0 | 91,5 | |
158,1 | 102,1 | |
10 Besar Produsen Timah Dunia | |
1. Yunnan Tin (Cina) | 69.760 ton |
2. Malaysia Smelting Corporation (Malaysia) | 37.792 ton |
3. PT Timah (Indonesia) | 29.600 ton |
4. Minsur (Peru) | 25.399 ton |
5. Thaisarco (Thailand) | 22.847 ton |
6. Yunnan Chengfeng (Cina) | 16.600 ton |
7. Guangxi China Tin (Cina) | 14.034 ton |
8. Metallo Chimique (Belgia) | 11.350 ton |
9. EM Vinto (Bolivia) | 10.800 ton |
10. Gejiu Zi-Li (Cina) | 7.000 ton |
Kronologi (2014)
7 Maret
KRI Pulau Rusa milik Angkatan Laut menangkap dua kapal pembawa timah, tug boat Bina Marine 75 dan tongkang Bina Marine 76, di perairan Selat Riau.
Muatan
61 kontainer timah bentuk lain dan timah solder, terdiri atas:
- Timah bentuk lainnya: 6 kontainer tin anode (pos tarif 8007.00.99.90), 29 kontainer timah bentuk lainnya/bentuk billet (pos tarif 8001.10.00.00)
- Timah solder: 8 kontainer solder wire with flux (pos tarif 8311.30.90.10), 15 kontainer solder wire (pos tarif 8003.00.90.00)
9 kontainer berisi lada
13 kontainer memuat karet
Pemilik Kontainer
- CV Serumpun Sebalai
- PT Tirus Putra Mandiri
- CV Venus Inti Perkasa
- PT Bangka Kuda Tin
- PT Keranji Jaya Utama
- PT Varia Gemilang
- PT Ayi Jaya
- PT ATD Makmur Mandiri
- PT Seirama Tin Investment
19 Maret
TNI Angkatan Laut menggelar pertemuan dengan perwakilan Direktorat Jenderal Bea-Cukai dan Kementerian Perdagangan.
Hasil Penyelidikan
1. Muatan kontainer berupa solder wire milik CV Varia Gemilang memiliki kadar besi (Fe) yang melebihi ketentuan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013.
2. Pos tarif untuk timah berbentuk solder wire yang dimuat dalam 16 kontainer milik lima perusahaan keliru.
3. Enam kontainer timah milik satu perusahaan dituliskan dalam PEB sebagai tin anode dan memilik pos tarif 8007.00.99.90, sedangkan menurut explanatory note, barang tak memenuhi klasifikasi sebagai tin anode dan lebih tepat diklasifikasikan sebagai timah batangan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013 harus diperdagangkan melalui bursa. Patut diduga terjadi circumvention atau pengalihan pos tarif.
4. Dari hasil penelitian lapangan, ditemukan barang-barang yang bentuk dan ukurannya tak sesuai sebagai timah solder.
5. Harga jual timah solder dalam PEB tertulis sama dan lebih murah daripada timah batangan, padahal sewajarnya lebih mahal 20 persen.
Modus
Pengiriman timah ke luar negeri seolah-olah telah sesuai dengan aturan. Pasal "abu-abu" dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah memberi celah eksportir nakal bermain.
Pasal 3 ayat 3
Mulai 1 Juli 2013, timah batangan dan timah dalam bentuk lainnya bisa diekspor jika memiliki kandungan stannum paling rendah 99,9% Sn dan unsur pengotor besi paling tinggi 0,005% Fe, dan timbel paling tinggi 0,030% Pb.
Pasal 4
Timah solder bisa diekspor jika mengandung besi paling tinggi 0,005%.
Pasal 11 ayat 1
Timah batangan dan timah dalam bentuk lainnya yang akan diekspor wajib diperdagangkan melalui bursa timah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo