Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMPAT meredup lima bulan, penambangan timah liar di Pulau Bangka dan Belitung mendadak menggeliat lagi sejak Oktober tahun lalu. Gairah mengeruk bijih timah membesar setelah ekspor timah non-batangan semakin gencar dilakukan perusahaan swasta.
Menurut Fenny Widjaja, Komisaris Utama Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), ekspor timah non-batangan memanfaatkan celah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013. Aturan itu menyebutkan ekspor timah batangan wajib melalui BKDI sejak 30 Agustus 2013. Adapun kewajiban ekspor non-batangan melalui BKDI baru mulai 1 Januari 2015.
Pada Mei-September tahun lalu, ekspor timah non-batangan anjlok 100-363 ton. Sejak Oktober, ekspor melesat sampai 6.400 ton per bulan. Fenny mencurigai tingginya ekspor timah non-batangan merupakan modus untuk menghindari bursa. "Akibatnya, timah di BKDI kalah bersaing dengan bursa Malaysia dan London," katanya kepada Tempo.
Selain itu, ketika aturan wajib ikut BKDI mulai diberlakukan, 18 perusahaan melawan dengan membentuk bursa tandingan bernama Serumpun Tin. Belakangan bursa itu loyo lalu membubarkan diri. Sebagian anggotanya masuk ke BKDI. "Yang lain tetap bertahan," kata Tjahyono, bekas Direktur Serumpun Tin, Rabu pekan lalu. Dia sendiri memilih ke BKDI.
Lay Rusli Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Solder Indonesia, mengatakan ada syarat BKDI yang paling sulit dipenuhi, yaitu kewajiban melampirkan asal-usul bijih timah. Syarat itu mustahil dipenuhi karena pengusaha tahu betul bijih timah dikeruk dari pertambangan ilegal. "Tidak ada smelter swasta yang 100 persen bebas dari bijih timah ilegal, sekalipun di BKDI," katanya.
Para pengusaha tak kurang akal untuk bertahan. Menurut Rusli, pengusaha mulai menggenjot produksi dan ekspor timah non-batangan yang masih diizinkan peraturan menteri. Pilihan pengusaha pemilik smelter itu membuat para penambang rakyat di Bangka Belitung kembali bergairah. "Mereka dijuluki panglima oleh penambang."
Seorang eksportir mengatakan perusahaan yang ngotot mengekspor tanpa melalui BKDI diduga terafiliasi dengan importir pemilik smelter negara lain. Jika eksportir di Bangka Belitung harus ikut BKDI, timah harus dimurnikan lebih dulu. Syarat itu tentu memberatkan pembeli di luar negeri. "Smelter mereka bakal menganggur," katanya.
Dugaan adanya afiliasi antara pembeli dan sembilan eksportir itu muncul dari hasil sigi intelijen Angkatan Laut. Eksportir itu menjual kepada lima perusahaan di Singapura. Tiga perusahaan dimiliki pemegang saham yang sama, dan satu perusahaan tanpa kantor. Salah satu importir, Arina Resources Pte Ltd, diduga dimiliki empat pemegang saham. Salah satunya Hendra, anak Hidayat Arsani, Ketua Umum Asosiasi Tambang Timah Indonesia.
Hidayat, yang disebut-sebut memiliki beberapa smelter timah, adalah salah satu pengusaha yang melawan BKDI. Perusahaan yang ogah ke BKDI berlindung di bawah asosiasi Hidayat, tokoh kesohor di Serumpun Sebalai—julukan Provinsi Bangka Belitung.
Dia juga memegang bermacam jabatan, antara lain Ketua DPW Partai Golkar, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia, dan Pemimpin Umum Harian Pagi Rakyat Pos. Ia baru saja terpilih menjadi Wakil Gubernur Bangka Belitung pada Maret lalu, menggantikan Rustam Efendi, yang diangkat menjadi gubernur menggantikan Eko Maulana Ali yang meninggal.
Hidayat membantah berada di balik sembilan eksportir itu. Ia bahkan tak mengikuti kabar penahanan timah ilegal oleh Angkatan Laut karena sibuk dalam pemilihan wakil gubernur dan kampanye pemilihan umum. Ia juga menampik tudingan terhadap Hendra. Ia balik menyatakan bahwa hal itu merupakan serangan politik. "Sudah biasa nama saya dicatut," katanya.
Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo