Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bobby Gafur Umar gusar luar biasa. Kamis malam tiga pekan lalu, Presiden Direktur Bakrie & Brothers itu ingin mengecek persiapan pemancangan tiang proyek infrastruktur gas bumi terintegrasi Jawa Tengah di PLTGU Tambak Lorok, Semarang, keesokan harinya. Ternyata tak satu pun logo Bakrie terpasang di lokasi tersebut.
Sumber Tempo menceritakan, Bobby kemudian memprotes panitia karena lokasi acara peresmian itu didominasi warna biru, warna brand PT PGN, mitra Bakrie dalam proyek pipa gas Kepodang-Tambak Lorok. Pipa gas ini merupakan bagian dari proyek infrastruktur gas yang akan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Ia sempat mengancam akan hengkang," kata sumber itu.
Jumat pagi, kehebohan lain muncul. Lima menit sebelum acara dimulai, masuk sebuah pesan ke beberapa anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas). Seorang anggota Komite yang tak mau ditulis jati dirinya bercerita, pesan itu menanyakan nama lain yang bisa dipakai untuk menyebut PT Bakrie & Brothers Tbk. "Apa saja boleh, asal bukan nama itu," ujar pejabat itu menirukan pesan dari seseorang yang disebut-sebut utusan Istana.
Permintaan khusus itu membuat anggota Komite kebingungan. Sebab, sulit tidak menyebut nama Bakrie karena perusahaan inilah pemilik hak khusus atau konsesi proyek pipa gas Kepodang-Tambak Lorok. Hingga menjelang acara dimulai, tak diperoleh kata sepakat. Alhasil, tak sekali pun nama Bakrie muncul dalam sambutan para pejabat.
Anggota Komite BPH Migas, Abdul Qoyum Tjandranegara, mengaku tak mendengar ada permintaan seperti itu dari Istana. "Saya tidak ikut ditanya soal itu," katanya. Namun ia membenarkan soal protes Bobby pada malam sebelumnya. Menurut dia, pihak Bakrie menilai keberadaan mereka tidak dianggap dalam proyek itu. "Saya yang ikut menengahi," ujarnya.
Bakrie akhirnya masih bisa dibujuk. Sebagai solusi, BPH meminta Bakrie dan PGN sama-sama tidak maju ke atas panggung untuk peresmian proyek bersama Presiden. "Semua diwakilkan kepada BPH," katanya. Bobby menolak menjawab pertanyaan Tempo.
Instalasi pipa gas Kepodang-Tambak Lorok merupakan bagian dari proyek pembangunan jaringan pipa gas sepanjang 1.220 kilometer yang membentang dari Kalimantan hingga Jawa. Kerja besar ini dinamai proyek pipa Kalija. Grup Bakrie yang menunjuk Bakrie & Brothers adalah pemegang hak khusus proyek ini, setelah menang tender pada Juli 2006.
Sayangnya, meski sudah ditunjuk, selama enam tahun memegang konsesi, Bakrie tak kunjung membangun proyek tersebut. Mereka berdalih pembangunan pipa tersandung masalah perizinan. Bobby Gafur mengatakan penyebab utamanya adalah tidak adanya alokasi gas yang cukup secara ekonomis untuk diangkut.
Hingga 2012, ketika ada perombakan kepengurusan BPH Migas, proyek ini menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk mulai direalisasikan sebelum kepemimpinan Presiden Yudhoyono berakhir. Melalui Surat Keputusan Menteri Energi Nomor 2700 K/11/MEN/2012, diputuskan pembangunan pipa Kalija dilakukan bertahap.
Tahap pertama adalah pipa dari lapangan gas Kepodang yang berada di pantai utara Jepara ke PLTGU Tambak Lorok sepanjang 210 kilometer. Pada akhir tahun, perjanjian antara Bakrie & Brothers sebagai transporter gas, PLN sebagai pembeli, dan Petronas Carigali Muriah Ltd sebagai pengelola lapangan gas Kepodang pun diteken agar proyek itu berjalan lebih cepat.
Semestinya, dengan pasokan gas yang aman dan pembeli juga sudah ada, Bakrie tinggal membangun pipa untuk mengantar gas saja. Nyatanya, Bakrie tak kunjung merealisasi.
Sampai akhirnya Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto turun tangan. Setelah beberapa kali menggelar sejumlah rapat di level kementerian sampai di kantor dan kediaman Wakil Presiden, pemerintah meminta PGN mengambil alih. "Ini menjadi solusi agar bisa cepat jalan," ujar sumber Tempo.
Pada Juli 2013, dibentuklah komite pengawas (steering committee) dan working team untuk memuluskan masuknya PGN ke proyek ini melalui kerja bersama dengan Grup Bakrie. Qayum Tjandranegara diberi tanggung jawab untuk menjembatani kedua belah pihak. Sebagai mantan direktur utama di PGN, kata sumber tadi, anggota BPH Migas ini merupakan orang yang masih disegani oleh perusahaan gas pelat merah tersebut.
Namun penunjukan ini menuai kecurigaan. Qayum kini masih tercatat sebagai komisaris independen di salah satu unit usaha Grup Bakrie, yaitu PT Energi Mega Persada. Qayum dituding menjadi pelobi Grup Bakrie agar tetap bisa mendapat jatah saham di proyek tersebut sebesar 20 persen.
Qayum membantah. Menurut dia, kerja sama PGN dan Bakrie adalah tanggung jawab pimpinan BPH secara kolektif. "Soal masuknya PGN juga berdasarkan hitungan bisnis kedua belah pihak," katanya. Dia menambahkan, "Ada aturan bahwa hak khusus yang dimiliki oleh Bakrie tidak bisa dialihkan, kecuali pada perusahaan yang masih terafiliasi dengan mereka," ujar Qayum.
Karena Bakrie & Brothers adalah induk perusahaan yang bergerak di banyak bidang, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie ini kemudian membentuk usaha baru, PT Kalimantan Jawa Gas (KJG), dan memberi otoritas kepada perusahaan itu untuk membangun jaringan pipa tersebut. Melalui KJG inilah kemudian PGN masuk ke proyek.
Bobby menuturkan terpilihnya PGN sebagai mitra di KJG juga berdasar beberapa pertimbangan. Untuk pembangunan Kalija I, sebenarnya Grup Bakrie sudah mendapat beberapa tawaran kerja sama dari investor asing seperti Cina, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa. "Dari beberapa calon mitra strategis itu, kami menilai PGN adalah yang paling siap."
Ia juga membantah tudingan bahwa selama ini pihaknya tidak membangun proyek pipa karena kesulitan dana. Menurut dia, perseroan telah mengeluarkan sejumlah dana untuk belanja modal proyek Kalija I. Namun, atas dasar prinsip kerja sama yang disepakati, akhirnya ditempuhlah kerja sama pendanaan dengan PGN.
Menurut Bobby, saat ini kedua perusahaan yang membangun kerja sama itu baru memberikan penyertaan modal patungan pertama, yang nilainya US$ 200 juta. "Dan kami mendapat konsesi 20 persen dari total pengeluaran," katanya.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PGN, Wahid Sutopo, memaparkan masuknya mereka ke Kalija memang tak lepas dari arahan pemerintah dan regulator. Persentase kepemilikan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak pada kegiatan pembangunan pipa Kalija. "PGN memiliki 80 persen saham."
Masuknya PGN ke proyek pipa Kalija ternyata tanpa setahu PLN sebagai konsumen mereka. "Kami sebenarnya tidak ada masalah, hanya khawatir apakah hal ini nanti berdampak pada biaya angkut gas atau waktu masuknya gas," ujar Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN Suryadi Mardjoeki.
Dia menuturkan proyek pipa gas Kepodang-Tambak Lorok semestinya ditargetkan bisa selesai pada Oktober 2014. Kapasitas pengaliran gas pada pipa tersebut mencapai 120 juta kaki kubik per hari.
Dalam perjanjian pengangkutan gas (gas transportation agreement/GTA) yang diteken pada Desember 2012, Bakrie bersama Petronas Ltd dan PLN menyepakati biaya transportasi penyaluran gas (toll fee) US$ 0,37 per juta British thermal unit (mmBtu). "Ini ada kemungkinan bisa naik hingga mencapai US$ 1,5," ujar Suryadi.
Bukan hanya itu potensi kerugian perusahaan listrik ini. Iwan Supangkat, Direktur Utama PT Indonesia Power, anak perusahaan PLN yang mengoperasikan PLTGU Tambak Lorok, mengatakan terus mundurnya pembangunan proyek pipa ini membuat PLN kehilangan kesempatan berhemat sekitar Rp 3 triliun. "Semestinya kami sudah mendapatkan gas pada akhir 2013 dan kini mundur ke April 2015."
Gustidha Budiartie, Edi Faisol (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo