BELUM sampai 5 tahun kawin, PT Hotel Indonesia Internasional
sudah bercerai dengan Sheraton. Ikatan perjanjian francise
antara Hotel Indonesia (Jakarta) dan Hotel Ambarukmo
(Yogyakarta) milik PT HII dengan Sheraton putus sejak 10 Juni
yang lalu.
Sebenarnya "perkawinan" tersebut bisa berlangsung sampai tahun
1987 sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani bulan Maret
1977. Tetapi pihak PT HII rupanya sudah tak tahan lagi. "Kami
rugi terus," keluh Hari Hartono, direktur utama perusahaan milik
negara itu.
Perjanjian yang ditandatangani pada masa kepemimpinan Letjen
(Purn) Suryo itu meliputi hak monopoli Sheraton untuk mengisi
kamar hotel. Sedangkan HI dan Ambarukmo berhak menggunakan logo
Sheraton. Usaha untuk memancing banyak tamu yang masuk ternyata
mengecewakan pihak Indonesia.
Untuk tahun 1978 kenaikan penjualan kamar cuma 3%. Sedangkan
tahun-tahun berikutnya naik sekitar 3« %. Kenaikan itu rupanya
bukan saja kurang berarti, malahan membuat pihak Indonesia rugi.
Karena PT HII, sesuai dengan perjanjian harus memberikan
persentase 4 sampai 6% untuk tiap kamar yang terjual. Belum lagi
dihitung fee yang harus dibayar untuk logo Sheraton. "Akibatnya
sejak perjanjian diberlakukan sampai Maret 1981 kerugian kami
mencapai Rp 142 juta " kata Hari Hartono yang pernah memimpin
akademi perhotelan di Bandung.
Pemutusan hubungan kerjasama itu berlangsung dengan alot. Semula
disetujui untuk bekerjasama selama 10 tahun, dengan perjanjian
bisa diputus pada lima tahun pertama berdasarkan persetujuan
kedua belah pihak. Pimpinan PT HII yang baru nampaknya lebih
Stnang kalau hubungan itu segera saja diputus.
Pada awal 1979 dilakukan renegosiasi. Pihak Indonesia meminta
Sheraton untuk menurunkan fee dan meningkatkan produksi tamunya.
Dalam perundingan itu pihak PT HII juga menyatakan bahwa
kerjasama itu ternyata merugikan pihaknya, karena kenaikan
jumlah pengunjung dari hasil reservation (pesanan) Sheraton
hanya sekitar 3%.
Tetapi pihak Sheraton yang benderanya berkibar di 385 hotel di
34 negara menyatakan seluruh tamu HI dan Ambarukmo adalah hasil
produksinya. Pihak HII menolak perhitungan itu dengan alasan MI
maupun hotel yang terletak di Yogyakarta itu sudah terkenal
sebelum Sheraton masuk ke sana.
Sheraton kabarnya menyetujui peninjauan kembali tarif yang
dikenakan pada HII. Tapi dengan syarat kedua hotel tadi harus
melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan standar hotel
Sheraton, sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian.
Dalam perundingan, pihak Sheraton cukup kuat. "Ketika
menandatangani perjanjian dulu, rupanya pihak Indonesia tidak
melihat adanya pasal yang memungkinkan pihak Sheraton menuntut
perbaikan terus-menerus untuk memenuhi standar Sheraton," ucap
Hartono Sidik, Wakil Direktur bidang operasi dan pemasaran PT
HII.
Sheraton katanya terus menagih perbaikan hotel yang kalau
diikuti akan memakan biaya sebesar US$ 8 juta. Bagian yang harus
dan sudah dilayani pihak PT HII adalah perluasan HI bagian
selatan sebanyak 50 kamar yang diharapkan rampung akhir tahun
ini.
Beberapa sumber menyebutkan Sheraton sebenarnya cukup luwes
dalam menuntut perbaikan-perbaikan. Pecah-belah masih dibiarkan
menggunakan barang yang lain-lain. Perbaikan ruangan berjalan
di luar jadwal. Toh, akhirnya alasan merugi yang dikemukakan PT
HII diterima Sheraton. Dengan syarat logo Sheraton yamg masih
terpasang di HI dan Ambarukmo harus dicopot sejak awal 1982
nanti.
Sebelum bekerjasama dengan Sheraton, PT HI yang berdiri sejak
1962 itu pernah beklrjasama dengan International Hotels
Corporation sampai 1974. Dari enam hotel di bawah PT HII
tinggal Bali Beach yang masih berada di lingkungan IHC.
"Sekarang kami coba berdiri sendiri, " kata Hari Hartono.
Dia mengharapkan kehilangan sekitar 3 % dari produksi tamu
akibat putusnya Hubungan dengan Sheraton tidak terlalu
mengganggu. "Pasaran domestik cukup kuat:. Untuk HI dengan kamar
666 buah, tingkat pengisian kamarnya 76% tahun 1981. Dari jumlah
itu tamu donestik 41%," katanya.
Dari 1650 kamar yang dimiliki enam hotel yang dikuasai PT HII
(Mirama, Samudra Beach, Ambarukmo, Bali Beach, Wisata
Internasional dan Hotel Indonesia) HI menempati urutan kedua
setelah EB yang mencapai 83%. Yang paling rendah Samudra Beach
(35%).
Untuk menggarap tamu dari luar negeri akan dilakukan kerjasama
dengan perusahaan pemasaran hotel di berbagai negara. Juni
kemarin sudah ditandatangani persetujuan dengan perusahaan
marketing Supereps International dari Inggris. Perusahaan itu
akan mempromosikan ke-6 hotel PT HII untuk Eropa dengan bayaran
œ500 per bulan.
Jumlah itu kedengarannya cukup murah, karena kontrak itu tidak
mencakup reservation. Hanya mempromosikan hotel-hotel PT HII
untuk Inggris dan sebagian daratan Eropa. Teknik mencari
pasaran yang sama juga akan dilakukan dengan perusahaan
pemasaran yang bergerak di Amerika, Asia dam Australia.
Dengan sistem penjualan seperti itu pimpinan HII sudah
memperhitungkan tamunya akan berkuran sekitar 3%, sama dengan
jumlah yamg dihasilkan Sheraton tempo hari. Mungkin juga akan
lebih dari itu. "Kami akan melihat dulu sampai berapa jauh
akibat putusnya hubungan dengan Shelaton itu. Titik toleransi
kami 5%. Kalau turun lebih dari situ kami baru akan berpikir
untuk mencari jaringan hotel yang lain sebagai partner" ungkap
Dirjen Pengawasan Keuangan Negara, Departemen Keuangan, Drs.
Gandhi yang sejak 1974 duduk sebagai Presiden Komisaris PT HII.
Menurut Gandhi perusahaan pesero pemerintah itu sudah dapat
memperbaiki kedudukan keuangannya setelah tererat utang
menjelang Konperensi PATA 1974. "Tahun 1980 laporan direksi
menyebutkan keuntungan kotor Rp 5,6 milyar. Sedang untuk tahun
1981 semester pertama mencapai Rp 3,7 milyar " katanya.
bengan keuntungan itu, katanya, HII mengangsur utangnya pada BBD
yang berjumlah Rp 3,8 milyar. Sementara tambahan utang yang
dibuatnya pada Marine Midland Bank sebesar US$ 30 juta sudah
diambil alih pemerintah dan dijadikan modal serta pemerintAh di
perusahaan itu. Semua utang itu dipergunakan untuk perluasan
hotel. KArena diperhitungkan banjir tamu akan terjadi setelah
Konperensi PATA. Perlitungan ini ternyata meleset.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini