PENGUSAHA bir mereguk keuntungan. Tutup buku tahun 1980 produksi
merka naik 20%. Dalam sejarah industri bir yang berusia
setengah abad di sini, tak pernah kenaikan produksi melonjak
setinggi itu. Dua tahun yang lalu kenaik-an diperhitungkan cuma
sekitar 4%.
Kenaikan itu sebenarnya memberikan kesempatan bagi pengusaha
untuk memperluas usaha. Tapi dengan sikap pemerintah yang hendak
membatasi penambahan investasi dalam bir apa yang harus dibuat?
Dalam persaingan dua buah perusahaan bir terbesar, PT Delta
Djakarta (Anker Bir) dan PT Perusahaan Bir Indonesia (Bir
Bintang), yang terakhir berusaha mencari bentuk lain dari
perluasan usaha. Awal tahun ini dia membeli PT Brasseries de
Indonesie di Medan, sebuah perusahaan Prancis yang memproduksi
Coca Cola dan beberapa minuman ringan yang kabarnya bangkrut.
"Penggabungan ini disetujui pemerintah," kata Tanri Abeng, 39
tahun, Presiden Direktur Perusahaan Bir Indonesia. Dan
penggabungan itu sendiri kelihatannya akan mempermudah rencana
perusahaan bir tersebut untuk go public (ke khalayak) bulan
Oktober yang akan datang. "Tanpa penggabungan dengan perusahaan
minuman ringan di Medan itu boleh dikatakan agak sulit buat Bir
Bintang untuk maju ke pasar bursa," kata sebuah sumber yang
bergerak di bidang bisnis minuman.
Soalnya, bir selama ini selalu disejajarkan dengan alkohol.
Kedudukannya sulit di tengah masyarakat yang bagian terbesar
beragama Islam. Akhir Juli yang baru lalu, misalnya, seorang
pembaca dalam suratnya yang dimuat dalam majalah ini
menganjurkan Danareksa agar menolak perusahaan bir yang mau ke
khalayak. Sebab "agama menyatakan agar menjauhi minuman keras
termasuk bir."
Tanri Abeng, pemuda kelahiran Selayar (Sulawesi Selatan) itu
tidak tertarik untuk memperdebatkan bir dari sudut bukan bisnis.
"Yang penting diketahui masyarakat bahwa yang mau go public
bukan Bir Bintang, tetapi perusahaan yang produksinya antara
lain bir," katanya. Perusahaan Bir Indonesia sendiri akan
berganti nama menjadi PT Multi Bintang Indonesia. "Nama ini
menunjukkan kami bukan hanya bir," sambungnya.
Menurut rencana yang ada di lacinya, mula-mula perusahaan itu
nanti akan memproduksi sekitar 90% minuman beralkohol kadar
rendah dan 10% minuman ringan, seperti Coca Cola. Tetapi lama
kelamaan perimbangan itu katanya akan menjadi 50%-50%.
Toh Tanri Abeng cukup yakin bahwa bisnis bir sendiri akan
mantap. Ini dia lihat dari tingkat konsumsi bir yang masih
rendah: per kapita, atau tiap mulut, menenggak setengah liter
bir setahunnya. Dia menganggap pertumbuhan ekonomi akan
meningkatkan konsumsi itu mendekati tingkat konsumsi sebesar 15
liter (untuk Malaysia) dan 20 liter (untuk Singapura).
Tapi bukan cuma perut Indonesia yang diarah untuk diisi bir. Di
bawah Tanri Abeng, yang duduk sebagai PresDir sejak akhir 1979,
Bir Bintang sekarang memang sedang bersiap untuk membuat langkah
besar ke luar. Berbarengan dengan go public Oktober mendatang,
perusahaan itu juga akan mengeluarkan produk baru: bir kaleng.
"Ini untuk mengatasi kelemahan kita yang sampai sekarang masih
belum bisa menggarap ekspor. Padahal konsumen bir di Jepang bisa
merasakan nikmatnya bir buatan Indonesia," katanya.
Dengan menggunakan kemasan kaleng, minuman itu lebih mudah
diekspor dan risiko di perjalanan lebih kecil. Untuk jangka
panjang, ekspor ini katanya akan terlaksana. Heineken dari
Negeri Belanda, yang memiliki 90% saham Bir Bintang, sudah
memberikan jaminan kepada Abeng untuk mengurangi jatah bahan
baku ke Singapura. Ini katanya disetujui Heineken, karena saham
perusahaan bir Belanda itu di sana hanya 50%. "Sedangkan di
Indonesia, kalaupun nanti sudah go public saham mereka masih
berada sekitar 75%. Dengan potensi pasar yang cukup kuat,"
ulasnya.
Tetapi ada juga yang meragukan optimisme Abeng itu. Soalnya bir
sering terpukul oleh faktor-faktor di luar melianisme pasar.
Seperti adanya larangan berjualan bir di lokasi tertentu yang
diberlakukan pemerintah daerah. "Waktu ada larangan berjualan
bir di lokasi WTS di Kramat Tunggak (Jakarta) kami kehilangan
pasar untuk 125.000 botol tiap bulan," kata Syamsu Hidayat,
manajer pemasaran Anker Bir.
Kerugian yang diderita Bir Bintang agaknya lebih besar lagi,
mengingat porsinya di pasar lebih besar pula. Dari produksi
nasional yang 700.000 hekto liter/tahun, bagian Bintang 50%.
Sisanya dibagi antara Anker dan San Miguel.
Tapi untuk menghadapi risiko semacam itulah agaknya Heineken,
pemegang saham terbesar dari perusahaan PMA itu, nampaknya
sengaja merekrut orang yang berpengalaman luas seperti Tanri
Abeng.
Abeng, dalam usia 26 tahun, anak 13ugis, sudah diajak Union
Carbide di AS begitu dia selesai belajar administrasi dagang di
State University of New York di Buffalo. Ia pernah menjadi orang
kedua di Union Carbide Indonesia. Selama hampir dua tahun dia
mengepalai bagian pemasaran perusahanan produsen baterai cap
kucing itu di Singapura.
Akhirnya, dia pun dirayu oleh Corn & Ferray, sebuah bisnis yang
bergerak dalam "pembajakan" tenaga-tenaga manajer berdasarkan
pesanan. Dia meninggalkan Union Carbide untuk kemudian duduk
sebagai orang nomor wahid di Bir Bintang: satu kedudukan yang
menurut pasaran punya pendapatan sekitar US$ 5.000 atau Rp 3
juta lebih per bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini