Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menanggapi soal penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perpu Cipta Kerja. Ia menyoroti dalih pemerintah yang menyebutkan terbitnya Omnibus Law itu demi mencapai target investasi 2023 yang mencapai Rp 1.200 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faisal Basri lalu mengatakan sebetulnya nilai investasi yang ditanamkan di Indonesia sudah tinggi. "Tapi investasi di Indonesia itu temannya Butan dan Myanmar, itu investasinya otot. Jadi yang dibangun itu bukan otak, tapi building and construction," tuturnya dalam diskusi publik secara virtual yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Kamis, 5 Januari 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Faisal Basri Beberkan Sebab Pertumbuhan Ekonomi RI Melemah: Otot Semakin Dominan Ketimbang Otak
Adapun investasi di Tanah Air yang dimanfaatkan untuk pembangunan bangunan dan konstruksi mencapai 83 persen. Kemudian 2 persen lainnya untuk pembangunan transportasi. Sedangkan pemanfaatan suntikan modal untuk pembangunan IT capital dan other non IT capital hanya di kisaran 1 hingga 11 persen.
"Jadi sungguh dari sini saja menunjukkan semakin besar ini, pertumbuhannya semakin tidak berkualitas, karena investasi yang didengung-dengungkan itu sekedar bikin ibu kota, LRT, MRT, kereta cepat," ujar Faisal Basri.
Meski masyarakat tak menolak pembangunan fisik yang direncanakan pemerintah, ia menilai seharusnya pembangunan tersebut juga diiringi oleh suntikan modal pada sektor yang dapat meningkatkan kemampuan tenaga ahli di Tanah Air. Ia menyebutnya sebagai suntikan otak dalam bentuk IT capital, other non IT capital, dan research and development (R&D).
Sedangkan saat ini, ia menilai kondisi penelitian dan pengembangan di Indonesia sangat lemah, bahkan terlemah berdasarkan Global Knowladge Index (GKI). Dalam laporan GKI 2022, R&D Indonesia berada di urutan 81 dari 132 negara. Tercatat komponen paling buruk adalah kategori research, development and innovation yang rankingnya berada di urutan 115 .
"Paling buruk ini R&D nya. Kalau R&D-nya jelek, maka inovasinya juga jelek. Padahal inilah yang menunjang untuk mendukung sustanability dari pertumbuhan itu, kalo nggak ada R&D ya susah," kata Faisal Basri.
Karena buruknya R&D, kondisi industri di Indonesia pun menjadi tidak berdaya saing. Ia merujuk pada Global Innovation Index 2022, di mana R&D Indonesia berada di urutan 75 dari 132 negara. Sehingga tidak hanya pertumbuhan ekonominya rendah, kata Faisal Basri, penggunaan otak di Indonesia pun terus merosot penggunaan.
"Itulah yang pada akhirnya hampir bisa dipastikan Indonesia akan mengalami middle income trap tidak terhindarkan kalau business as usual masih dikerjakan terus seperti sekarang ini," ujar Faisal Basri.
Baca juga: Soal Resesi 2023: Peringatan IMF dan Faisal Basri, Keyakinan Jokowi hingga Strategi Sri Mulyani
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.