KRISIS Pertamina kembali dicatat oleh Mandataris dalam
pertanggungjawabannya pada Sidang Umum MPR (11 Maret) 1978.
Berkali-kali disebutnya krisis itu yang "telah mengakibatkan
merosotnya kemampuan kita untuk mempercepat laju pembangunan.
Kenaikan harga minyak bumi di pasaran dunia yang seharusnya
melipatgandakan kemampuan untuk pembangunan itu ternyata tidak
membawa manfaat sebesar harapan kita semuia, karena dipakai
untuk mengatasi sebagian daripada akibat krisis Pertamina itu
sendiri."
Tapi pertanggungjawaban itu tidak menjelaskan kenapa dan apakah
asal mulanya hingga sampai terjadi krisis itu. Bahwa akibatnya
sungguh menggoncangkan, Mandataris/Presiden Soeharto secara
spesifik memang melaporkan. Satu lagi petikan:
"Pada akhir Repelita I cadangan devisa Indonesia berjumlah
sekitar 1 milyar dollar Amerika. Jumlah tersebut mulai meningkat
dan mencapai jumlah lebih dari 1,5 milyar dollar Amerika. Akan
tetapi secara tiba-bba cadangan devisa Indonesia merosot menjadi
sekitar 0,5 milyar dollar Amerika. Hal ini merupakan akibat
langsung dari krisis Pertamina. Cadangan devisa yang dipupuk
dengan susah payah dan secara berhati-hati selama bertahun-tahun
itu terpaksa digunakan untuk membayar kembali hutang-hutang luar
negeri Pertamin a. "
Kini semua itu sudah lalu, malah hampir tidak terasa lagi
kegoncangannya. Tambahan pula, cadangan devisa Indonesia dewasa
ini, menurut laporan Mandataris pada MPR, "telah melebihi 2,6
milyardollar Amerika. Suatu jumlah tertinggi yang belum pernah
dialami oleh ekonomi Indonesia dalam waktu-waktu yang lampau."
Namun masih jernih dalam ingatan orang bahwa krisis Pertamina
itu timbul antara lain karena tiadanya kontrol pemerintah,
sedang pengelolaannya sama sekali tertutup dan pembukuan
keuangannya belum pernah dipertanggungjawabkan. Ada Dewan
Komisaris pemerintah di perusahaan negara itu, tapi kehadirannya
kurang efektif.
Selama tiga tahun terakhir ini, terutama sesudah Dir-Ut Ibnu
Sutowo exit, Pertamina bisa diawasi pemerintah. Bahkan Bank
Indonesia sudah dinyatakan Ikut mengawasi hasil pendapatan
Pertamina.
Tapi ternyata pengelolaan keuangannya masih belum beres.
Kenyataan ini, kata Menteri Pertambangan Moh. Sadli, akan sangat
merugikan negara. Sadli berbicara ketika ( 18 Maret) melantik
Direktur Keuangan Pertamina, Alizam Almatsier, yang menggantikan
Kol. Soedijono, tadinya Kepala Perwakilan Pertamina di Tokyo.
Lepas Tangan
Semustinya Pertamina sudah menyampaikan anggarannya, sebelum
Desember 1977. Dewan Komisarisnya belum menerimanya. Maka,
demikian Sadli, pemerintah tak dapat melihat Pertamina mau ke
mana. Direktur Almatsier, sebelumnya staf ahli Menteri Keuangan,
diminta supaya cepat membenahi sistim pembukuan, akutansi dan
administrasi keuangan perusahaan itu. Sebab, kata Sadli lagi,
sampai sekarang neraca perusahaan tersebut belum bisa
diandalkan.
Anggaran pemerintah dan penghasilan minyak yang dikelola
Pertamina saling berkaitan. Tapi tahun fiskal pemerintah dimulai
April, sedang Pertamina masih memakai tahun anggaran kalender.
Mulai tahun depan Pertamina telah diminta supaya menyesuaikan
diri dengan tahun anggaran pemerintah.
Pertamina, menurut Sadli, mengalami defisit. Berapa Karena
pembukuannya belum beres, tentu orang masih meraba-raba. Dengan
bekal anggaran belanja USS2,9 milyar (Rp 1,2 trilyun) -28% dari
seluruh anggaran belanja net gara 1977/1978 yang Rp 4,2
trilyun-Pertamina menyalurkan bagian terbesar untuk urusan
perbekalan dalam negeri (PDN) dan eksplorasi. Sedang untuk
anak-anak perusahaan, seperti pernah dikatakan Dir-Ut Pertamina
Piet Haryono "tak lagi diberi apapun sejak saya di Pertamina."
(TEMPO, 5 Maret 1977)
Produksi minyak dari sumur-sumur Pertamina terakhir dicatat
sekitar 100.000 barrel sehari. Baru 10.000 barrel lebih banyak
dari zaman Ibnu Sutowo. Memang, seperti dikatakan seorang
pejabat Pertambangan, "masih butuh beberapa tahun lagi sebelum
investasi di bidang eksplorasi itu bisa menghasilkan minyak yang
berarti."
Tapi di samping tujuan utama Pertamina yang mencari minyak itu,
agaknya Piet Haryono masih belum bisa lepas tangan samasekali
dalam urusan di luar minyak. Palembang Rice Estate misalnya,
sekalipun sudah diciutkan arealnya, masih mendapat biaya dari
anggaran Pertamina. Begitu pula untuk bidang teknologi maju,
seperti perakitan pesawat di PT Nurtanio dan pemulihan proyek
terbengkalai di Pulau Batam. "Mungkin itu salah satu sebab yang
menyulitkan pembuatan laporan keuangan," kata satu pejabat.
lagipula, sambung pejabat itu, "merapikan keuangan Pertamina
dari luka-luka lama memang butuh waktu."
Apakah Almatsier, si ahli keuangan itu akan berhasil merapikan
buku Pertamina dalam waktu dekat, sang waktu Juga yang akan
menentukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini