Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pertamina: Pembukuan Masih Belum ...

Pertanggung jawaban anggaran Pertamina dilaporkan Presiden Soeharto pada SU MPR. Krisis Pertamina timbul karena tiadanya kontrol pemerintah, pengelolaannya tertutup, keuangan tak dipertanggung jawabkan. (eb)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS Pertamina kembali dicatat oleh Mandataris dalam pertanggungjawabannya pada Sidang Umum MPR (11 Maret) 1978. Berkali-kali disebutnya krisis itu yang "telah mengakibatkan merosotnya kemampuan kita untuk mempercepat laju pembangunan. Kenaikan harga minyak bumi di pasaran dunia yang seharusnya melipatgandakan kemampuan untuk pembangunan itu ternyata tidak membawa manfaat sebesar harapan kita semuia, karena dipakai untuk mengatasi sebagian daripada akibat krisis Pertamina itu sendiri." Tapi pertanggungjawaban itu tidak menjelaskan kenapa dan apakah asal mulanya hingga sampai terjadi krisis itu. Bahwa akibatnya sungguh menggoncangkan, Mandataris/Presiden Soeharto secara spesifik memang melaporkan. Satu lagi petikan: "Pada akhir Repelita I cadangan devisa Indonesia berjumlah sekitar 1 milyar dollar Amerika. Jumlah tersebut mulai meningkat dan mencapai jumlah lebih dari 1,5 milyar dollar Amerika. Akan tetapi secara tiba-bba cadangan devisa Indonesia merosot menjadi sekitar 0,5 milyar dollar Amerika. Hal ini merupakan akibat langsung dari krisis Pertamina. Cadangan devisa yang dipupuk dengan susah payah dan secara berhati-hati selama bertahun-tahun itu terpaksa digunakan untuk membayar kembali hutang-hutang luar negeri Pertamin a. " Kini semua itu sudah lalu, malah hampir tidak terasa lagi kegoncangannya. Tambahan pula, cadangan devisa Indonesia dewasa ini, menurut laporan Mandataris pada MPR, "telah melebihi 2,6 milyardollar Amerika. Suatu jumlah tertinggi yang belum pernah dialami oleh ekonomi Indonesia dalam waktu-waktu yang lampau." Namun masih jernih dalam ingatan orang bahwa krisis Pertamina itu timbul antara lain karena tiadanya kontrol pemerintah, sedang pengelolaannya sama sekali tertutup dan pembukuan keuangannya belum pernah dipertanggungjawabkan. Ada Dewan Komisaris pemerintah di perusahaan negara itu, tapi kehadirannya kurang efektif. Selama tiga tahun terakhir ini, terutama sesudah Dir-Ut Ibnu Sutowo exit, Pertamina bisa diawasi pemerintah. Bahkan Bank Indonesia sudah dinyatakan Ikut mengawasi hasil pendapatan Pertamina. Tapi ternyata pengelolaan keuangannya masih belum beres. Kenyataan ini, kata Menteri Pertambangan Moh. Sadli, akan sangat merugikan negara. Sadli berbicara ketika ( 18 Maret) melantik Direktur Keuangan Pertamina, Alizam Almatsier, yang menggantikan Kol. Soedijono, tadinya Kepala Perwakilan Pertamina di Tokyo. Lepas Tangan Semustinya Pertamina sudah menyampaikan anggarannya, sebelum Desember 1977. Dewan Komisarisnya belum menerimanya. Maka, demikian Sadli, pemerintah tak dapat melihat Pertamina mau ke mana. Direktur Almatsier, sebelumnya staf ahli Menteri Keuangan, diminta supaya cepat membenahi sistim pembukuan, akutansi dan administrasi keuangan perusahaan itu. Sebab, kata Sadli lagi, sampai sekarang neraca perusahaan tersebut belum bisa diandalkan. Anggaran pemerintah dan penghasilan minyak yang dikelola Pertamina saling berkaitan. Tapi tahun fiskal pemerintah dimulai April, sedang Pertamina masih memakai tahun anggaran kalender. Mulai tahun depan Pertamina telah diminta supaya menyesuaikan diri dengan tahun anggaran pemerintah. Pertamina, menurut Sadli, mengalami defisit. Berapa Karena pembukuannya belum beres, tentu orang masih meraba-raba. Dengan bekal anggaran belanja USS2,9 milyar (Rp 1,2 trilyun) -28% dari seluruh anggaran belanja net gara 1977/1978 yang Rp 4,2 trilyun-Pertamina menyalurkan bagian terbesar untuk urusan perbekalan dalam negeri (PDN) dan eksplorasi. Sedang untuk anak-anak perusahaan, seperti pernah dikatakan Dir-Ut Pertamina Piet Haryono "tak lagi diberi apapun sejak saya di Pertamina." (TEMPO, 5 Maret 1977) Produksi minyak dari sumur-sumur Pertamina terakhir dicatat sekitar 100.000 barrel sehari. Baru 10.000 barrel lebih banyak dari zaman Ibnu Sutowo. Memang, seperti dikatakan seorang pejabat Pertambangan, "masih butuh beberapa tahun lagi sebelum investasi di bidang eksplorasi itu bisa menghasilkan minyak yang berarti." Tapi di samping tujuan utama Pertamina yang mencari minyak itu, agaknya Piet Haryono masih belum bisa lepas tangan samasekali dalam urusan di luar minyak. Palembang Rice Estate misalnya, sekalipun sudah diciutkan arealnya, masih mendapat biaya dari anggaran Pertamina. Begitu pula untuk bidang teknologi maju, seperti perakitan pesawat di PT Nurtanio dan pemulihan proyek terbengkalai di Pulau Batam. "Mungkin itu salah satu sebab yang menyulitkan pembuatan laporan keuangan," kata satu pejabat. lagipula, sambung pejabat itu, "merapikan keuangan Pertamina dari luka-luka lama memang butuh waktu." Apakah Almatsier, si ahli keuangan itu akan berhasil merapikan buku Pertamina dalam waktu dekat, sang waktu Juga yang akan menentukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus