Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Barack Obama makin sering menyambangi gedung Senat. Presiden Amerika Serikat ini tengah mendesak anggota dewan untuk menyetujui American Recovery and Reinvestment Act 2009 beserta paket stimulus senilai US$ 819 miliar. Dengan amunisi ini diharapkan tercipta empat juta lapangan kerja baru dan nilai investasi bakal tumbuh.
Jika direstui Senat, dana ini menambah US$ 700 miliar yang sudah digelontorkan pemerintah pada September lalu untuk membeli aset-aset terkait subprime mortgage. Tapi ada poin krusial di proposal yang sering kali disebut ”Buy America” ini. Khususnya dalam klausul ”Seksi 1604” yang menyebutkan bahwa tak tepat jika dana proyek infrastruktur dipakai membeli produk besi dan baja impor. Hal inilah yang memantik sentimen proteksionisme.
Meski bukan mempersoalkan klausul tersebut, pemimpin Partai Republik mengkritik dana US$ 34 juta untuk memoles kantor pusat Departemen Perdagangan dan US$ 70 juta untuk mendukung penelitian. Meskipun jika digabung porsinya hanya 11 persen dari total stimulus, menurut Senator Jim DeMint, dua pos itu sama sekali tidak terkait dengan upaya pemulihan atau reinvestasi. ”Ini bukan stimulus. Ini penipuan,” katanya.
Penolakan juga datang dari negara-negara mitra dagang Amerika karena menganggap semangat proteksi yang dibawa program ”Buy America” bakal mengguncang perdagangan global. Sebab, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat, Negeri Abang Sam ini menguasai hampir separuh perdagangan dunia. Tahun ini, ekspor Amerika diperkirakan mencapai US$ 300 miliar.
Perdana Menteri Kanada Stephen Harper menegaskan proteksi dalam kondisi perlambatan ekonomi ini harus dihindari. Selain itu, protes dari mitra dagang seperti Jerman, Jepang, Cina, dan Uni Eropa juga disampaikan dalam surat kepada Kongres. Bos HSBC Stephen Green mewaspadai arah sentimen ini ke bentuk perang dagang antarnegara.
Ini juga yang dikhawatirkan oleh Menteri Perindustrian Spanyol Miguel Sebastian. Dengan semangat ”membeli patriotisme”, menurut dia, hal itu justru bisa mencetuskan konflik perdagangan yang lebih berbahaya ketimbang subsidi atau tarif yang kelewat tinggi. Stimulus fiskal oleh tiap negara pada akhirnya bisa memutus mata rantai perdagangan global.
Kepala Kamar Dagang Amerika Chris Braddock pun beranggapan stimulus fiskal bisa memicu retaliasi (tindakan balasan) dari negara lain dengan slogan seperti ”Beli Jerman” dan ”Beli Cina”. Kendati tidak menolak produk dalam negeri, bila dipaksakan, ekonomi akan hancur dan kembali ke masa Great Depression pada 1930-an. ”Kami menolak mengulangi bencana itu lagi,” katanya.
Direktur Jenderal WTO Pascal Lamy sejak jauh hari sudah mengingatkan agar tiap negara tidak mengenakan tarif baru untuk produk impor ataupun ekspor. Selain krisis finansial memperlemah daya beli konsumen, perdagangan dan ekspor global akan tereduksi secara otomatis. ”Jangan diperparah dengan perang dagang,” ujarnya.
Sikap proteksionisme ini sebetulnya sudah dijalankan banyak negara. Ini pula yang membuat para ekonom, pebisnis, hingga pejabat pemerintah dalam pertemuan lima hari World Economic Forum di Davos, Swiss, akhir bulan lalu khawatir tak ada solusi konkret dalam krisis ekonomi global. Karena itu, mereka sepakat untuk mencegah sentimen proteksionisme.
Memang, saat ini belum ada tanda-tanda proteksi berlebihan. Tapi perlu diwaspadai bahwa perlambatan perdagangan yang tidak terlalu terlihat ini malah lebih berbahaya. Sebab jika terjadi, butuh bertahun-tahun lamanya untuk membalikkan keadaan menjadi normal kembali. Apalagi ditambah hambatan terhadap perdagangan bebas, ekonomi dunia bakal lebih suram dari sekarang.
R.R. Ariyani (BusinessWeek, AFP, The Economist, Newsweek)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo