Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Penyertaan modal negara atau PMN Rp 44,24 triliun tahun depan diharapkan efektif dan tidak mengulang kisah PT Merpati Nusantara Airlines.
Sejak 1998, perusahaan rutin mencatat kerugian. Pemerintah sampai harus turun tangan, antara lain dengan memberikan penyertaan modal negara.
Ada pelajaran lain dari kasus Merpati. Pemerintah sempat mempertimbangkan sejumlah opsi penyelamatan BUMN ini. Salah satunya, melebur perusahaan dengan Garuda yang lebih sehat. Tapi wacana tersebut batal lantaran beban keuangan Merpati terlalu besar.
PEMERINTAH menyisihkan anggaran sebesar Rp 44,24 triliun pada tahun depan untuk menambah modal badan usaha milik negara. Penyertaan modal negara alias PMN sebesar itu diharapkan efektif dan tidak mengulang kisah PT Merpati Nusantara Airlines.
Merpati merupakan perusahaan pelat merah penguasa jalur-jalur perintis di Indonesia. Berawal dari Kalimantan, maskapai penerbangan yang awalnya bernama Perusahaan Negara Merpati Nusantara itu mampu memperluas layanan dan menjadi pilihan utama untuk penerbangan ke wilayah Indonesia timur dengan dukungan subsidi dari pemerintah. Perusahaan yang berdiri pada 1962 ini bahkan bisa melebarkan sayap ke luar negeri, melayani penerbangan seperti ke Kuala Lumpur, Manila, serta Los Angeles.
Pada 1978, pemerintah menyerahkan semua saham Merpati ke Garuda Airways, yang sekarang menjadi PT Garuda Indonesia Tbk. Merpati bertugas mendukung operasi Garuda di dalam negeri. Perusahaan tak henti berekspansi, antara lain menambah jumlah armada. Namun, pada 1997, saham Merpati kembali ke pemerintah, membuat dua perusahaan ini kembali bersaing.
Setelah itu, kondisi keuangan perusahaan mulai memburuk. Sejak 1998, perusahaan rutin mencatat kerugian. Pemerintah sampai harus turun tangan, antara lain memberi PMN. Suntikan modal pertama untuk perusahaan ini terjadi pada 2006. Saat itu Merpati merugi Rp 283 miliar.
Pemicu kerugian ini beragam. Komisaris Utama Merpati periode 2007-2009 Muhammad Said Didu mengingat, masalah muncul saat pemisahan usaha dengan Garuda. Merpati terbebani utang pembelian pesawat Fokker F28. "Saat berpisah, pesawatnya diambil Garuda, tapi beban utangnya tetap di Merpati," katanya kepada Tempo, kemarin. Perusahaan juga goyang terkena dampak krisis keuangan 1998.
Masalah lain terungkap dalam laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan semester II 2012. Merpati membeli 15 pesawat Xi'an Aircraft dari Cina senilai Rp 2,13 triliun pada 2006-2008 dan membuat perusahaan merugi Rp 56 miliar selama periode 2007 hingga Juni 2011.
BPK menyatakan pembelian itu tidak masuk dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan 2006-2008. Padahal perusahaan seharusnya berfokus pada peningkatan produktivitas, restrukturisasi utang vendor, serta penyelesaian utang kepada Bank Danamon saat itu.
Di tengah kondisi keuangan perusahaan yang memburuk, Said menilai pemerintah lamban mengambil langkah. Merpati mengajukan PMN pada 2005 senilai Rp 1 triliun untuk memperbaiki keuangan perusahaan. "Tapi prosesnya lama. Baru sekitar 2007 mendapat PMN. Itu pun (jumlahnya) Rp 400 miliar," katanya. Dia membandingkan sikap pemerintah terhadap Garuda yang mendapat lebih banyak dana segar, yaitu Rp 1,5 triliun, segera setelah perusahaan mengajukan PMN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah itu Merpati kembali menerima penyertaan modal, tapi dibarengi upaya penyehatan dengan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Kendati begitu, kondisi perusahaan tak kunjung membaik. Sejak 2014, perusahaan tak bisa beroperasi karena arus kas yang menipis, sementara beban utang terus naik.
PT PPA mengajukan permohonan pembatalan perdamaian penundaan kewajiban pembayaran utang dengan nilai Rp 10,03 triliun pada 14 November 2018. Namun perusahaan tak mampu juga menyelesaikan kewajibannya. Pada 2 Juni 2022, Pengadilan Niaga Surabaya membatalkan perjanjian perdamaian atau homologasi tersebut dan memvonis perusahaan pailit. Pemerintah secara resmi membubarkan Merpati per 2 Februari 2023.
Suasana loket penjualan tiket maskapai penerbangan PT Merpati Nusantara Airlines yang tutup di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 2014. Dok. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Said, seharusnya pemerintah tak berubah. Tetap pelit saat diminta memberikan PMN kepada BUMN. "PMN harus betul-betul untuk mengatasi penyehatan karena risiko bisnis, bukan sebab lain. Misalnya korupsi seperti yang terjadi di Jiwasraya atau Asabri," ujarnya. Selain itu, prosesnya harus tepat waktu dan jumlah sehingga perdarahan di perusahaan bisa segera diatasi.
Pemberian PMN untuk menjalankan penugasan pemerintah juga perlu lebih ketat. Setiap proyek harus lebih dulu dikaji kelayakannya sehingga tak merugikan BUMN. Selain itu, Said mengatakan perlu ada pengawasan supaya dana betul-betul disalurkan untuk menyelesaikan penugasan tersebut.
"Kalau PMN terlalu gampang diberikan, ada moral hazard," kata Said. Bentuknya bisa berupa korupsi hingga membuat manajemen perusahaan manja alias bergantung pada uluran tangan negara dan tak mau bekerja memperbaiki kondisi perusahaan.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talatov, mengatakan kasus Merpati menjadi contoh bahwa PMN tidak seharusnya untuk menutupi kerugian perusahaan. Idealnya, suntikan modal dari negara untuk meningkatkan kemampuan keuangan perusahaan.
Ada pelajaran lain dari kasus Merpati. Pemerintah sempat mempertimbangkan sejumlah opsi penyelamatan BUMN ini. Salah satunya, melebur perusahaan dengan Garuda yang lebih sehat. Tapi wacana tersebut batal lantaran beban keuangan Merpati terlalu besar.
Abra mengatakan langkah serupa bisa ditiru terutama ketika pemerintah merencanakan penggabungan BUMN karya yang sedang merugi dengan BUMN karya lain yang cenderung sehat. Pemerintah sedang mengkaji upaya penyelamatan PT Wijaya Karya dengan PT PP serta PT Waskita Karya dengan PT Hutama Karya. "Jangan sampai yang sehat malah terkena virus," katanya.
Pengalaman Merpati juga bisa menjadi landasan pemerintah untuk mulai tega memangkas BUMN yang performanya buruk dan perannya bisa digantikan perusahaan pelat merah lain ataupun swasta. Sikap tegas pemerintah, menurut Abra, penting untuk mengurangi risiko penyimpangan moral. Sikap tegas pemerintah diharapkan akan memacu semua BUMN untuk memperbaiki diri secara maksimal, tanpa mengandalkan PMN. "Secara psikologis, BUMN akan berekspektasi terus diselamatkan pemerintah dengan dalih penugasan jika tidak ada sikap tegas," tuturnya.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan pemberian PMN untuk 16 perusahaan pada tahun depan bertujuan membantu mereka menyelesaikan penugasan pemerintah. Proyek-proyek tersebut sering kali tidak ekonomis sehingga tak bisa mengandalkan swasta. "Misalnya membangun jalan tol itu tidak ekonomis untuk tahap awal," katanya. Di sinilah butuh dukungan negara.
Untuk memastikan efektivitas penyaluran PMN, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan setiap penugasan untuk BUMN wajib mendapat persetujuan Kementerian Keuangan. "Jadi, pemerintah punya gambaran proyek internal rate of return dari setiap penugasan," tuturnya. Ketentuan ini akan ia masukkan dalam revisi Undang-Undang BUMN yang sekarang sedang diproses di Dewan Perwakilan Rakyat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo