Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang dahsyat, dan berbahaya

Menurut capital information service, capital adequacy ratio (car) bank-bank pemerintah harus di tingkatkan, demikian pula kontrol oleh bank indonesia.

1 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAR bank-bank pemerintah harus ditingkatkan, demikian pula kontrol oleh Bank Indonesia. Ini suara dari Capital Information Service. JUMAT pekan lalu, direksi bank-bank pemerintah berkumpul di Departemen Keuangan untuk sebuah pembicaraan di balik pintu tertutup dengan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin dan Gubernur BI Adrianus Mooy. Kegiatan ini lalu dikaitkan oleh pihak luar dengan rencana otoritas moneter untuk meluncurkan seperangkat kebijaksanaan baru di bidang perbankan. Kabarnya, dalam pertemuan itu yang dibicarakan antara lain adalah masalah CAR (capital adequacy ratio), yakni ratio antara modal dan aset bank. Mengapa CAR? Sejauh ini CAR bank-bank pemerintah merupakan masalah yang sedemikian serius hingga perlu dibenahi lewat seperangkat kebijaksanaan baru. Menurut Capital Information Service -sebuah lembaga penilai perbankan internasional -modal disetor dari bank-bank pemerintah umumnya sangat kecil (hanya Rp 200 juta-Rp 500 juta). Ironisnya, otoritas moneter menetapkan modal disetor itu minimal Rp 8 milyar. Kendati bank-bank pemerintah itu modalnya telah diperkuat dengan berbagai jenis cadangan -termasuk juga laba yang ditahan -modalnya masih saja terlalu kecil hingga leverage (dampak penggunaan utang terhadap modal sendiri) sangat tinggi. Bandingkan, leverage bank pemerintah rata-rata 48 kali, sedangkan leverage bank-bank devisa swasta rata-rata 15 kali. "Leverage BBD dan BNI sampai 70 kali. Mengerikan," kata General Manager CIS, Philippe F. Delhaise, dalam wawancara dengan TEMPO pertengahan Mei silam. Saat itu, Delhaise sedang memimpin suatu tim untuk melakukan riset terhadap bank-bank devisa di Indonesia. "Kami bekerja untuk kepentingan ratusan bank di Eropa, Amerika, dan Jepang. Mereka ingin tahu apa risikonya jika berhubungan dengan bank di Indonesia," tutur Delhaise, yang juga pendiri CIS. Selain CAR bank pemerintah, hal lain yang agaknya perlu ditata adalah masalah kontrol. "Saya tak yakin, bank-bank di Indonesia mampu melakukan diversifikasi usaha. Kesulitan bersumber dari sangat kurangnya kontrol," demikian Delhaise. Dikatakannya, diversifikasi usaha perbankan yang sukses di Jepang terutama dimungkinkan oleh kontrol yang ketat. Sementara itu, Delhaise melihat, pertumbuhan bank-bank swasta di Indonesia terlalu dahsyat, bahkan ada yang mengalami pertumbuhan trile digit, suatu hal yang tidak masuk akal para bankir negara maju. Bagi mereka, pertumbuhan 20% saja dalam setahun -seperti di Muangthai -sudah dianggap luar biasa. Jumlah deposito pada 14 bank devisa di Indonesia mungkin bisa dijadikan contoh. Persentase kenaikan deposito rata-rata 47% pada tahun 1988, melonjak lagi 96% pada tahun 1989. Enam bank bahkan dinilai mengalami pertumbuhan ajaib. Deposito Lippobank naik 440%, Bank Danamon 284%, BII 213%, Bank Summa 181%, dan Bank Duta 103%. "Perluasan ini terjadi antara lain karena keluarnya produk baru perbankan. Tapi, apakah produk baru itu sudah cukup dikuasai oleh manajemen?" tanya Delhaise. Kredit yang disalurkan 14 bank devisa swasta pada tahun 1988 juga naik 46%, melonjak lagi 82% pada tahun 1989. "Angka ini sangat keras. Anda perlu qualified credit administration. Pasti juga banyak nasabah baru yang dirangkul. Apakah mereka cukup tersaring?" tutur orang CIS tadi. Menurut Delhaise, bagi bank-bank di negara maju, pertumbuhan yang naik atau turun secara tajam, pasti mengindikasikan manajemen yang tidak beres. Nah, sekalipun mereka bersikukuh dengan sikap yang hati-hati seperti itu, anehnya, kasus Bank Duta tidak sampai membuat para bankir internasional tidak percaya pada bank-bank di Indonesia. "Kami melihat kasus Bank Duta seperti skandal Richard Nixon dalam kasus Watergate," Delhaise memberi tamsil. Menurut penilaian CIS, satu-satunya kelemahan Bank Duta disebabkan oleh kontrol terbadap bank itu dari dalam tidak jalan dan manajemen lama tidak mau bertanggung jawab. Mengenai tingkat kesehatan bank-bank di Indonesia, CIS untuk sementara berpendapat belum ada yang bisa diberi rating AAA. Mengapa? Karena tak mungkin membandingkan bank di Indonesia dengan bank di negara maju. Menurut Delhaise, peringkat AA di Asia jatuh pada sebuah bank di Singapura. Penilaian atas 150 bank di Asia (RRC, Hong Kong, Taiwan, Korea, India, Singapura, Malaysia, dan Indonesia) menunjukkan bahwa rating tertinggi umumnya berkisar pada B, BB, dan BBB. Bank di sini umumnya di peringkat BB. Bank Exim mungkin sekali di peringkat AA, BNI setingkat di bawahnya (A). Delhaise memuji manajemen Bank Exim yang katanya bisa mencetak laba lebih bagus. Perkembangannya sangat stabil, penampilannya sangat andal. Dan prestasi ini lama dipertahankannya. Lihat saja ROA Bank Exim: 1.24%, sedangkan ROA rata-rata bank pemerintah hanya 0,62%. Leverage-nya hanya 22 kali. Adalah penting penilaian Delhaise tentang BI sebagai bank sentral bersikap terlalu baik. Beda sekali dengan Hong Kong, yang bank sentralnya tak bersedia menyuntik dana bila ada bank mengalami krisis likuiditas. Secara umum, CIS melihat rasio likuiditas (perbandingan antara uang tunai dan aset bank) pada bank-bank devisa semakin baik. Sekarang rata-rata 25%, padahal tahun-tahun sebelumnya hanya 20%. Lippo bahkan sampai 63%, Bank Duta dan BII 37%, Bank Umum Nasional 34%, Bank Bali 30%, sementara Panin Bank 28%. Tapi pemeliharaan likuiditas di Bank Niaga (5%) dan Bank Danamon (2%) masih sangat buruk. Jika melihat berapa banyak deposito dipakai untuk kredit (loan to deposit ratio atau LDR), rata-rata untuk bank-bank devisa di Indonesia tahun lalu adalah 80%. Namun, Bank Buana Indonesia sampai 103%, Bank Niaga 105%, dan Bank Danamon 115%. Tingkat rasio setinggi itu dinilai berbahaya. Namun, masyarakat internasional, kata Delhaise, percaya bahwa Indonesia merupakan negara besar yang dapat menanggulangi masalah itu. Apalagi ekonomi Indonesia tumbuh menggembirakan. Jika tidak, mana mungkin banyak bank asing mau bekerja sama atau buka cabang di sini. Max Wangkar, Didi Prambadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus