Banyak pedagang merisaukan tata niaga jeruk yang baru. Mereka tak mau membayar 50% di muka. Kalau margin dipangkas, siapa terlindas? DISODORI jeruk yang tak begitu manis memang tak menyenangkan. Apalagi jika terbiasa melahap jeruk yang lebih manis. Itukah sebabnya para pedagang jeruk pontianak berteriak? Akhir bulan lalu, beberapa pedagang jeruk di Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, melayangkan keluhan ke Pemda Kalimantan Barat. Mereka mempertanyakan tata niaga jeruk yang baru dikeluarkan Juli lalu. Masalahnya seputar ketentuan Badan Koordinasi Pelaksana Tata Niaga Jeruk yang dipegang PT Bima Citra Mandiri yang sebagian besar sahamnya dimilik Bambang Trihatmodjo. Menurut mereka, ketentuan operasional Badan Koordinasi itu tak sejalan dengan petunjuk pelaksanaan Pemda Kal-Bar. Bedanya terletak pada pengaturan pembelian jeruk dari KUD. Dalam ketentuan Pemda Kal-Bar, pedagang dapat membeli jeruk langsung dari KUD. Namun, Badan Koordinasi menentukan, jeruk yang dikumpulkan seluruh KUD harus diserahkan ke Bima Citra Mandiri. Baru dari sini pedagang dan pedagang antarpulau bisa membeli jeruk berdasarkan kontrak pembelian. Hal itu merisaukan beberapa pedagang kecil dan menengah. Diwakili oleh PT Flora Abadi, mereka menanyakan ketidakjelasan posisi Bima Citra Mandiri sebagai koordinator dan pedagang. Mereka khawatir, posisi tak jelas itu bisa disalahgunakan. Akibatnya, seperti pengalaman dulu-dulu, harga jeruk jadi tak stabil. Soal harga tak stabil, barangkali petanilah yang paling merasakan pahitnya. Harga jeruk mutu terbaik (kualitas A) pernah Rp 200 sekilo. Padahal, agar impas, harga jeruk paling bermutu itu mestinya Rp 650 per kilo. Beberapa bulan lalu, petani bisa menjual jeruk kelas A Rp 300 sekilo. Kini, dengan produksi 75.000 ton (jika panen raya sekitar 125.000 ton) harganya membaik. Jeruk kelas A sekitar Rp 1.300 sekilo. Itu pun belum apa-apa dibanding dengan harga di kios-kios buah di Jakarta yang Rp 3.500 sekilo. "Margin yang diambil pedagang memang besar. Nah, margin ini yang akan kita pangkas," kata Peter Gontha, salah satu Direktur Bimantara Citra. Peter menunjuk penikmat margin paling banyak adalah tiga perusahaan besar (CV Mekar Jaya, PT Harapan Indah, dan PT Segar Utama Raga) yang diperkirakan menguasai 80% bisnis jeruk di Kal-Bar. "Dengan tata niaga jeruk baru ini, memang jelas akan ada yang dikorbankan," Peter bicara terus terang. Benarkah? Ternyata, PT Flora Abadi, konsorsium enam pedagang kecil menengah itu, malah waswas akan terlindas. Bagi mereka, ketentuan membayar di muka 50 persen dari kontrak pembelian jeruk jelas memberatkan. "Itu bisa mematikan pedagang kecil menengah," ujar Yoyon, Direktur Flora Abadi. Jangankan pedagang kecil. Pedagang besar macam Atong, Direktur PT Harapan Indah, pun mengaku enggan membayar uang jaminan itu. Atong lebih suka sistem cash and carry. "Coba pikir, bunga bank jalan terus. Di sini kita harus setor, sementara di Jakarta kita lempar ke Pasar Induk, kadang pembayarannya berbulan-bulan." Toh sumber TEMPO di Badan Koordinasi mengatakan bahwa setoran 50% itu hanya sebagai garansi bank. Garansi itu sendiri jelas tidak enteng. Apalagi kalau uangnya sempat diputarkan -- suku bunga cukup tinggi sekarang. Maka, tanpa keringat, uang pun masuk, sedangkan si pemilik uang nun di Kalimantan sana merasa waswas. Petani bagaimana? Kaum ini acap "dibela" dengan berbagai tata niaga, tetapi nasib mereka begitu-begitu saja. G. Sugrahety Dyan K. Bambang Aji, Djuanini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini