Bisnis pengusaha kecil dan menengah bisa didongkrak melalui fanchising. Menurut Soedradjad, Indonesia potensial untuk itu. KEGIATAN usaha melalui bentuk franchising, tampaknya, bisa berperan banyak dalam melancarkan roda ekonomi Indonesia. Untuk itu, selama dua hari diadakan seminar Franchising Opportunities in the 90's di Panti Surya Hotel Aryaduta, Jakarta. Memang ada kejutan-kejutan kecil sekitar franchise ini. Vice President California Fried Chicken (CFRC) Wiro S. Gunawan, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1990 omset CFC di Indonesia mencapai Rp 20 milyar. Target tahun ini adalah Rp 5 milyar per bulan, berarti Rp 60 milyar per tahun. Apakah Wiro tidak terlalu ambisius? Sampai sekarang ada 81 kedai CFC, yang tersebar di banyak kota di dalam negeri, selain Singapura, Malaysia dan RRC. Akhir tahun ini diperkirakan jadi 108 karena untuk pasar dalam negeri CFC menawarkan produk baru, berupa mini counter. Pengusaha dengan modal Rp 90 juta -- yang bisa diperoleh melalui paket KUK -- dan ruangan seluas 60 m2 boleh saja mengajukan diri ke CFC untuk menjadi franchisee (usahawan yang membuka kedai CFC berdasarkan kontrak, minimal tiga tahun). Bahkan, pemodal yang agak lemah pun masih mungkin menjadi franchisee mengingat CFC sudah bekerja sama dengan bank pendukung -- kabarnya dijanjikan dana Rp 2 milyar untuk keperluan itu. Sebelum produk mini counter diperkenalkan, seorang franchisee CFC disyaratkan memiliki modal minimal Rp 200 juta. "Dalam situasi uang ketat sekarang, kami mencoba menawarkan jalan keluar untuk menumbuhkan kegiatan usaha," kata Wiro Gunawan kepada TEMPO. Dalam hubungan kerja sama semacam itu, CFC (sebagai franchisor) akan memberikan latih pengelolaan kedai (cara memasak, menghidangkan, sampai mengatur pembukuannya) selama tiga bulan dan memasok bumbu-bumbu khusus. Itulah kerja sama franchise. Hal itu juga dilakukan oleh Es Teler 77, yang sejak 1987 mulai mengembangkan usaha melalui sistem franchise, yang dimulai di Solo, lalu Semarang. Menurut perintis dan pemilik Es Teler 77 Sukyatno Nugroho, pelatihan sampai ke hal-hal detail dilaksanakan selama sebulan. Sesudah itu, dua orang dari Es Teler 77 pusat ditempatkan di setiap kedai baru sebagai penyelia, sampai pihak franchisee mapan. Sebagai franchisor, Es Teler 77 juga memproduksi kemasan khusus, biang gula (sirup), biang kuah bakso, dan baksonya sendiri (ini baru mulai). Untuk itu, Es Teler 77 mendirikan pabrik khusus, di bawah bendera PT Pancoran Murni Sejati. Tujuannya, sama seperti yang diniatkan CFC, yaitu menjaga standar rasa dan kualitas. Sampai akhir bulan ini, Es Teler 77 memiliki 77 kedai sebagai outlet. Kata Sukyatno, dua pertiga dari jumlah itu merupakan franchisee. Tenaga kerja yang dilibatkan ada 2.000 orang dan omsetnya per tahun sudah lebih dari satu milyar. Kegiatan usaha melalui sistem franchise memang memerlukan kelapangan dana dari pemilik merek dagangnya. Dana perlu untuk riset dan pengembangan produk karena, kalau nama sudah telanjur tersohor, kualitas dan jenis produk harus selalu dijaga, untuk menghindari kebosanan konsumen. Juga, perlu berlapang dada karena semua rahasia dapurnya harus dengan rela diberikan kepada franchisee. "Kami sendiri harus berpikir lama, sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan franchise," tutur Sukyatno. Bisnis Es Teler 77 dimulai 1982 sebagai usaha patungan anak, menantu, dan mertua. Warungnya hanya sebuah kedai tenda di emperan Pertokoan Duta Merlin, Jakarta. Gagasan membuka warung es teler muncul, setelah mertua Sukyatno, Ny. Murniati Widjaja, terpilih sebagai juara umum Lomba Membuat Es Teler, pada April 1982. Keinginan ber-franchise timbul setelah Sukyatno sampai pada kesimpulan bahwa "Kami tidak mungkin menguasai Indonesia sendirian." Melalui kerja sama franchise, pengusaha modal kecil beroleh banyak kemudahan. Sebagai franchisee yang modalnya terbatas, mereka tak perlu mengeluarkan biaya promosi atau biaya riset dan pengembangan. Mengapa? Karena pihak pemberi franchise alias franchisor biasanya adalah merek dagang yang sudah ternama, yang terus-menerus perlu menjaga citranya. Nah, untuk itu, franchisee diwajibkan membayar royalti. Untuk CFC, royalti franchisee dalam negeri sekitar 7% (bagi yang di mancanegara terkena 3%) dari omset. Es Teler 77 menetapkan royalti 5% (3% untuk pengembangan manajemen dan 2% untuk urun ongkos promosi). Di luar kedua merek dagang yang asli Indonesia itu, kegiatan franchise di sini sudah diramaikan oleh Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, lalu Mc Donald. Selain tiga nama besar di industri makanan ini, masih ada yang lain. Di sini, misalnya, sudah masuk pula Homes 21 (jasa pemasaran perumahan dan properti), Hertz (penyewaan mobil), dan Comfort Inn (hotel). Menteri Muda Perdagangan Soedradjad Djiwandono, dalam pidato pembukaan seminar itu, mengungkapkan bahwa di Indonesia kini ada 27 perusahaan yang melakukan franchise. Di situ termasuk salon kecantikan dan pusat pelatihan. Soedradjad mengutip data dari hasil studi yang dilakukan Departemen Perdagangan, bekerja sama dengan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen dan ILO (International Labour Organization). "Pengembangan franchise akan mendorong terwujudnya kesempatan yang lebih luas bagi pengusaha kecil dan menengah kita," katanya. Di AS, negeri yang mengembangkan franchise sejak 1860-an, perkembangan ekonominya antara lain didukung oleh franchising. Setiap tahun, omsetnya mencapai US$ 460 milyar (barang dan jasa) atau 31% dari seluruh kegiatan bisnis eceran. Itu angka beberapa tahun silam. Untuk 1991 angka itu diperkirakan menjadi US$ 750 milyar. Di negeri itu lebih dari 1.800 perusahaan (meliputi 40-an kegiatan industri) mencetak sukses dengan franchise. Data ini diungkapkan oleh LLoyd T. Tarbuton, 59 tahun, anggota seumur hidup Dewan Direktur International Franchise Association (IFA). Ia juga tampil sebagai salah satu pembicara di seminar pekan lalu itu. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini