Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terus Bertambah Permintaan Baja

Permintaan baja diprediksi meningkat 5 persen menjadi 17,9 juta ton pada tahun ini. Pada 2045 bakal menembus 100 juta ton.

7 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas bongkar muat baja billet di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, 3 Juni 2021 Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Permintaan baja nasional diperkirakan meningkat 5 persen menjadi 17,9 juta ton sepanjang 2023.

  • IISIA memperkirakan kebutuhan baja nasional pada 2045 menembus 100 juta ton dengan nilai investasi mencapai US$ 100 miliar.

  • Pada kuartal pertama 2023, volume impor baja melonjak 7,7 persen atau menjadi 3,8 juta ton.

JAKARTA – Permintaan baja diproyeksikan terus meningkat. Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA) Purwono Widodo memproyeksikan permintaan baja nasional meningkat 5 persen menjadi 17,9 juta ton sepanjang 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang 2022, konsumsi baja mencapai 16,6 juta ton. Jumlah tersebut naik 4,52 persen dibanding konsumsi pada 2021 sebesar 15,5 juta ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IISIA memperkirakan kebutuhan baja nasional pada 2045 menembus 100 juta ton dengan nilai investasi mencapai US$ 100 miliar. Proyeksi tersebut didukung gencarnya proyek pembangunan nasional di Tanah Air. Adapun baja merupakan salah satu material utamanya.

Purwono, yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk, mengatakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) turut mendukung permintaan baja. "Kebutuhan baja untuk mendukung pembangunan IKN hingga tahap akhir mencapai total 9,5 juta ton," katanya di Jakarta, kemarin.

Pekerja memeriksa gulungan kawat baja di pabrik baja di Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Menurut Purwono, pembangunan IKN tahap awal membutuhkan 500-700 ribu ton baja. Kebutuhan baja akan meningkat pada tahap pembangunan selanjutnya dengan perkiraan lebih dari 1 juta ton. Ia mengatakan jumlah tersebut rencananya hanya diisi dengan baja dari industri lokal.

Meski produksi baja dalam negeri cukup tinggi, utilisasi kapasitas produksi nasional masih rendah. Rata-rata hanya 54 persen atau masih jauh dari target optimal sebesar 80 persen. Salah satu penyebabnya adalah tingginya jumlah impor produk baja. Purwono menilai impor sangat berpengaruh terhadap turunnya pemanfaatan produk baja lokal.

Selain itu, kata dia, impor yang tinggi seharusnya dibarengi dengan ekspor. "Kalau impor 20 persen, ekspor juga seharusnya 20 persen," ujarnya. Namun pada kenyataannya tidak demikian.

Impor Baja Naik

Melansir dari laman resmi IISIA, volume impor produk baja pada 2020 sebesar 14,1 juta ton. Adapun pada 2021 dan 2022, angkanya naik masing-masing menjadi 15,6 dan 16,8 juta ton. Melanjutkan tren peningkatan impor sepanjang 2020-2022, volume impor pada kuartal pertama 2023 naik dibanding periode yang sama pada 2022. Pada kuartal pertama 2023, volume impor baja melonjak 7,7 persen atau menjadi 3,8 juta ton.

Purwono mengatakan, meski impor besar, ekspor sulit dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan di beberapa negara, seperti di Amerika dan Eropa, yang menerapkan proteksi ketat bagi barang impor yang berkaitan dengan pengurangan karbon. "Malah ada sertifikat hijau. Jadi, baja dibuat dari mana, apakah pakai fosil, itu tingkat kehijauannya dinilai," katanya.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, sepakat dengan apa yang diungkapkan Purwono. Menurut dia, pemerintah dan produsen perlu memikirkan bagaimana cara memenuhi permintaan produk yang berorientasi ekspor.

Bongkar-muat kawat baja di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 2018. TEMPO/Tony Hartawan

Menurut dia, perlu ada peta jalan yang mengakomodasi transisi menuju industri net zero emission. Jika itu tidak dilakukan segera, produksi baja Indonesia akan kalah oleh negara lain. Pasalnya, pasar ekspor memerlukan baja yang tidak punya jejak karbon besar. Adapun di Indonesia, kesadaran tentang hal ini masih minim.

Dia mengatakan impor bahan baku memang masih diperlukan. Yang juga menjadi persoalan adalah tingginya impor produk jadi. Ada beberapa celah masuknya produk impor itu.

Menurut Andry, persoalan yang sama terjadi di negara-negara di Asia Tenggara. Karena itu, dia menyarankan pembuatan kesepakatan bersama di kawasan Asia Tenggara untuk melindungi baja mereka. "Karena penetrasi di Cina sudah cukup besar," ucapnya.

Adapun pelaksana tugas harian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Yukki Nugrahawan Hanafi, mengatakan pengetatan SNI perlu dilakukan agar baja lokal dapat berdaya saing dengan produk impor. 

ILONA ESTERINA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus