Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan Novan Tivani belakangan ini bertambah, yakni memelototi halaman surat kabar. Deretan iklan properti di sebuah media ternama Ibu Kota menjadi incaran perhatian pria 33 tahun itu. ”Bos saya minta dicarikan gedung baru di lokasi strategis di (daerah) selatan untuk tahun depan,” kata Novan, yang juga direktur sumber daya manusia di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta Pusat, akhir November lalu.
Sudah empat hari mencari, selama itu pula hasilnya nol besar. Novan sudah menghubungi empat agen properti. Jawabannya, gedung sudah penuh, atau silakan masuk daftar tunggu. Sebenarnya ada satu yang cocok. Luas bangunan oke, desain interiornya pun ciamik. Tapi—ini masalahnya harganya selangit. ”Ampun, susah banget ya ternyata. Tak semudah yang dibayangkan,” ujarnya.
Jika melihat data berikut ini, Novan akan tahu kenapa sulit sekali mencari space kosong gedung perkantoran. Ketersediaan gedung perkantoran di pusat bisnis atau central business district, seperti kawasan segitiga emas Thamrin, Sudirman, dan Rasuna Said, relatif langka selama 2010. Bertolak dari data perusahaan konsultan properti PT Procon Indah, tak ada pasokan gedung baru yang selesai dibangun pada April Juni, sehingga suplai tetap 4,11 juta meter persegi. Sedangkan tingkat hunian naik 1,4 persen menjadi 88,4 persen pada akhir Juni.
PT Coldwell Banker Indonesia menyatakan pertumbuhan properti, terutama di Jakarta, selama kuartal ketiga mencapai 10 15 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kondisi itu memicu pembeli dan penyewa gedung berebut tempat lowong. ”Pertumbuhan ekonomi 6,2 persen mempengaruhi tingkat pertumbuhan properti,” kata Senior Vice President Coldwell Banker Tommy H. Bastamy.
Gelagat lonjakan properti gedung perkantoran mulai terlihat pada akhir 2009. Badai krisis yang membelit dunia seolah tak menyenggol pasar properti Tanah Air. Sektor perkantoran tumbuh paling mentereng ketimbang sektor properti lain, semisal retail dan residensial. ”Pasar properti di Jakarta lebih kuat dibanding negara lain. Harga pun lebih stabil,” kata Tommy.
Luas area perkantoran meningkat hingga 6.000 meter persegi pada kuartal ketiga 2010 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Magnet sektor perkantoran begitu kuat lantaran tingkat investasi dan okupansinya yang tinggi, khususnya di pusat bisnis. Total jenderal, area perkantoran mencapai 6,14 juta meter persegi, terdiri atas pusat bisnis 3,8 juta meter persegi dan kawasan sekunder 2,3 juta meter persegi.
Kepala Riset Jones Lang LaSalle Anton Sitorus menjelaskan, pengembang memilih Sudirman sebagai tempat usaha properti perkantoran karena Sudirman dianggap memiliki prospek cerah dan berkembang. Setelah Sudirman, yang paling digandrungi adalah Rasuna Said. ”Para penyewa dalam ekspansinya lebih banyak berpindah ke gedung yang lebih bagus dengan tingkat okupansi stabil di 80 persen,” katanya.
Sektor perkantoran diyakini dapat mempertahankan tingkat kinerjanya yang kinclong pada 2011. Vice President Coldwell, Dwi Novita Yeni, menerangkan peningkatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain banyaknya perusahaan yang berkomitmen menempati kantor pada 2011. Meski lahan semakin mini, permintaan bakal naik 20 25 persen dibanding tahun sebelumnya. ”Setelah gedung selesai dibangun, mereka akan masuk,” ujar Novita.
Lalu, apa kabar apartemen? Kendati rapornya tak bakal semolek sektor perkantoran, properti di sektor residensial, seperti kondominium atau apartemen, tetap berkembang. Sektor residensial sangat bergantung pada suku bunga kepemilikan rumah. ”Jika suku bunga rendah, daya beli masyarakat tinggi. Ini menarik orang membeli properti,” kata Kepala Riset PT Procon Utami Prastiana.
Survei Bank Indonesia di 14 kota besar Indonesia membuktikan, responden menganggap, selain kenaikan harga bahan bangunan dan faktor perizinan, tingginya suku bunga kredit pemilikan rumah menjadi biang penghambat bisnis properti residensial pada 2010. Jangan heran jika pertumbuhan indeks harga properti residensial secara tahunan hanya bergerak tipis 2,93 persen.
Agung Podomoro Group menjadi salah satu pengembang apartemen yang menikmati penjualan tahun lalu. Kenaikan disumbang oleh hunian kelas menengah ke atas di Kalibata, Jakarta Selatan. Stok 13 ribu unit apartemen seharga Rp 200 400 juta itu habis terjual. ”Ini menunjukkan rumah kelas menengah di tengah kota sangat diperlukan,” ujar Direktur Pemasaran Agung Podomoro Indra Wijaya Antono.
Tapi celah untuk menggenjot penjualan sektor residensial secara keseluruhan masih terbuka lebar seiring dengan rencana pemerintah yang bernazar mengubah status kepemilikan asing dari hak guna pakai menjadi hak milik. Walau beleid tersebut belum disahkan, banyak warga asing yang sudah memiliki apartemen di Jakarta dan sekitarnya lewat berbagai cara.
”Misalnya dengan menggunakan nama suami atau istri berkebangsaan Indonesia. Atau bisa menggunakan nama perusahaan tempat dia bekerja,” tutur Novita. Tambahan pula, mencuatnya bisnis properti berkonsep kondominium dan hotel (kondotel) di daerah wisata semacam Bali ikut menggairahkan bisnis properti residensial. ”Itu tren yang menurut saya sedang hot.”
Bali menjadi sasaran empuk para investor untuk berinvestasi. Meski ada permintaan dari daerah lain, seperti Jakarta dan Bandung, pasarnya tak bakal segemerlap di Pulau Dewata. Permintaan dari Yogyakarta pun ada. Tapi bencana letusan Gunung Merapi menyebabkan industri pariwisata terganggu. ”Ini ikut mempengaruhi niat investor,” kata Novita.
Sejumlah kalangan berharap pertumbuhan bisnis properti bisa merangsang industri turunannya, seperti besi dan baja. Kebutuhan besi beton untuk properti 20 25 persen dari anggaran sebuah proyek. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Association Edward Pinem, jika ada proyek properti bernilai Rp 30 miliar, anggaran untuk membeli besi beton mencapai Rp 6 miliar.
Dengan demikian, pertumbuhan produksi dan penjualan besi beton tahun ini dapat bertambah. Saat ini produksi besi beton mencapai 1,8 juta ton per tahun atau 70 persen dari kebutuhan. ”Kapasitas produksi diharapkan bisa naik hingga 95 persen,” kata Edward.
Sayangnya, menurut Ketua Umum Real Estate Indonesia Setyo Maharso, pertumbuhan properti yang cukup bagus hanya menyumbang enam persen terhadap pertumbuhan domestik bruto—jauh di bawah Malaysia, yang mampu menyumbang 23 persen. Regulasi dan perizinan acap menjadi biang penghambat bisnis yang memiliki perputaran uang Rp 150 triliun saban tahun itu.
”Regulasi pemerintah pusat sering tumpang tindih dengan aturan daerah. Biaya perizinan pembangunan pun tergolong mahal,” kata Setyo. Padahal investor memerlukan kepastian hukum. Karena itu, dia berharap pemerintah segera membenahi aturan dan mengesahkan rancangan peraturan kepemilikan properti bagi warga asing. Jika aturan itu tuntas, pada 2011 pertumbuhan properti semakin mengkilap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo