Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA aktivis Koalisi Pemantau Peradilan menyebar ke sejumlah titik di ruang sidang Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Satu di balkon, dua merapat ke papan pencatat, dan lainnya berdiri dekat kotak suara.
Kamis malam pekan lalu, kelimanya tengah bersiap menyaksikan penghitungan suara pemilihan tujuh anggota Komisi Yudisial periode lima tahun mendatang. Dari 14 kandidat, fokus pengamatan mereka tertuju pada satu nama, yakni Abbas Said. ”Hasil penelusuran kami, dia calon bermasalah,” kata Koordinator Koalisi Asep Rahmat Fajar.
Ketegangan menjalar saat penghitungan mulai digelar. Para aktivis itu segera pasang mata dan telinga. Mereka tidak mau melewatkan detik detik terpilihnya tujuh anggota pengawas martabat hakim itu. Satu per satu kertas suara yang berisi 14 nama calon dibuka. Pada selembar kertas itu, setiap anggota Dewan memilih lima sampai tujuh nama. Dari awal, perolehan suara Abbas terus merangkak naik. Para aktivis itu tampak gelisah. Abbas akhirnya mengantongi 42 suara dari 54 suara anggota Dewan. Angka itu di bawah Eman Suparman, peringkat pertama, yang mengantongi 51 suara.
Selain keduanya, lima nama yang terpilih adalah Imam Anshori Saleh, Taufiqurrahman Syahuti, Suparman Marzuki, Ibrahim, dan Jaja Ahmad Jayus. Tujuh nama itu akan dilaporkan ke Rapat Paripurna DPR, Senin ini, untuk disahkan. Mereka akan menggantikan komisioner sebelumnya, yang mestinya pensiun sejak Agustus silam, tapi terpaksa diperpanjang lewat keputusan presiden karena proses seleksi calon yang berlarut larut. Adapun siapa ketuanya, sesuai dengan Undang Undang Komisi Yudisial, dipilih secara internal oleh anggota Komisi.
Terpilihnya Abbas membuat para penggiat Koalisi harus mengernyitkan dahi. Sejak awal seleksi, gabungan berbagai lembaga swadaya masyarakat ini antara lain Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, Indonesia Legal Roundtable, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan sudah getol membendung pencalonan ayah pengacara Farhat Abbas tersebut. Senin pekan lalu atau dua hari menjelang uji kelayakan dan kepatutan, Koalisi melakukan dengar pendapat dengan Komisi Hukum DPR.
Kepada Dewan, Koalisi menyampaikan hasil investigasinya. Abbas dinilai tidak memenuhi kriteria karena hakim agung itu memiliki 600 an tunggakan perkara. Investigasi itu juga mendapatkan data, ada enam laporan pengaduan masyarakat ke Komisi Yudisial terkait dengan keganjilan putusan yang dibuat Abbas saat menjadi hakim Pengadilan Tinggi Jambi dan hakim agung. Ia juga masuk daftar 31 hakim agung yang pada Maret 2006 mengajukan uji materi Undang Undang Komisi Yudisial, yang meminta kewenangan Komisi itu mengawasi hakim agung dicabut. Gugatan itu sendiri kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Abbas, menurut Koalisi, juga dikenal penyuka olahraga golf, olahraga yang terhitung memerlukan biaya tinggi dan rawan dijadikan tempat membicarakan perkara.
Saat uji kelayakan dan kepatutan, Abbas mengakui awal Oktober lalu memang masih mempunyai 400 an tunggakan perkara. Tapi, kata dia, kini tinggal belasan perkara. Soal laporan ke Komisi Yudisial, ia menganggap itu risiko menjadi hakim karena selalu ada pihak yang tidak puas terhadap putusan. Tapi, perihal kewenangan mengawasi hakim agung, ia inkonsisten dengan pendapatnya pada 2006. Abbas menyatakan akan mengawasi hakim agung, hanya untuk yang ini, ia akan minta izin dulu kepada Ketua Mahkamah Agung. Adapun soal hobi golfnya, ia menjawab enteng, ”Saya golf karena ada yang biayai, diundang.”
Ketua Komisi Hukum dan anggota Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, tidak percaya Abbas menyelesaikan hampir 400 perkara dalam dua bulan. ”Empat ratus perkara dalam dua bulan? Itu sinting,” kata Benny. ”Gimana bacanya.” Benny juga mencecar Abbas soal ada atau tidaknya mafia kasus di MA. Karena jawabannya berputar putar, Benny sempat emosional. Dengan gelagapan, Abbas akhirnya menjawab, praktek seperti itu masih ada di MA. Kendati terkesan menjatuhkan, ternyata Benny mendukung Abbas. Ia malah menilai Abbas layak jadi Ketua Komisi Yudisial.
Untuk enam anggota Komisi terpilih lainnya, Koalisi tidak menemukan catatan buruk. Empat di antaranya akademisi. Taufiqurrahman adalah dosen Universitas Bengkulu. Suparman dosen hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Adapun Eman Suparman dan Jaja Ahmad masing masing dosen di Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan, Jawa Barat. Imam Anshori adalah bekas anggota Komisi Hukum DPR, sedangkan Ibrahim masih Ketua Komisi Banding Merek di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Menurut Asep, enam anggota Komisi terpilih itu terbilang masih bisa diharapkan untuk membuat Komisi makin bergigi. Koalisi, kata dia, sejak awal mendukung Taufiqurrahman, Eman, Suparman, dan Imam Anshori. Keempatnya dianggap mempunyai integritas dan pengetahuan hukum mereka sudah teruji. Suparman, misalnya. Ia termasuk orang yang ikut menyusun cetak biru Komisi Yudisial. Adapun Taufiqurrahman tercatat sebagai Staf Ahli Mahkamah Konstitusi dan Sekretaris Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Tata Negara.
Kendati kedudukan komisioner sama, menurut Asep, peran ketua masih strategis karena menjadi corong lembaga. Asep berharap, dalam pemilihan ketua nanti, yang terpilih bukan dari unsur hakim. Alasannya, tantangan Komisi ke depan adalah menjawab harapan publik yang sangat besar terhadap peran Komisi Yudisial yang bisa menindak hakim hakim nakal dan gurita mafia di pengadilan. ”Kalau ketuanya hakim, nanti Komisi bisa ompong,” kata Asep.
l l l
LANTUNAN lagu selamat ulang tahun membahana sebelum sidang Komisi Hukum DPR tentang pemilihan anggota Komisi Yudisial dimulai. Menggunakan pengeras suara, anggota Fraksi Demokrat, Ruhut Poltak Sitompul, memimpin paduan suara. Yang diberi selamat adalah Herman Herry, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Kamis malam itu, sebagian besar anggota Komisi Hukum sudah berbusana rapi jali. Padahal dua jam sebelumnya, sebelum magrib, mereka baru merampungkan uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Yudisial. Di sela sela itu, setiap fraksi menggelar rapat untuk menentukan tujuh nama yang dipilih. Menurut sumber Tempo di Komisi Hukum, setiap fraksi hanya butuh satu jam menentukan pilihan. Nama yang dipilih sudah ditulis di kartu suara saat rapat fraksi. Benar saja, ketika pemilihan dimulai, anggota Komisi langsung menaruh kertas di kotak suara.
Di lantai 12 gedung Nusantara 1, misalnya. Fraksi Golkar tidak mengalami kesulitan memutuskan pilihan. Dari tujuh orang, fraksi meminta empat orang diprioritaskan. Sehari sebelumnya, Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto memberikan ”petunjuk” lewat SMS kepada anggotanya agar memilih empat nama versi Golkar. SMS itu sempat salah kirim dan masuk telepon seluler seorang wartawan. Setya sendiri kemudian buru buru meralat SMS itu. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo dan Dewi Asmara, membantah jika dikatakan ada petunjuk khusus dari fraksi. ”Anggota bebas memilih,” kata Bambang.
Di kubu Fraksi PDI Perjuangan justru berkembang arahan agar memprioritaskan Abbas. Menurut sumber Tempo, pilihan ini juga berkaitan dengan posisi Farhat Abbas yang duduk di divisi hukum partai itu. Di luar nama Abbas, menurut sumber Tempo, ada nama Ibrahim dan Jaja Ahmad Jayus yang dianggap satu paket. Soal paket ini dibantah anggota Komisi Hukum dari Fraksi PDI Perjuangan, Topane Gayus Lumbuun. Menurut Gayus, setiap fraksi punya kepentingan memilih calon. ”Tapi anggotanya juga berhak menentukan pilihan.”
Kubu Demokrat lain lagi. Menurut sumber Tempo, sebelumnya di DPR, yang beredar adalah lima calon yang mesti dipilih ”partai biru” ini. Di saat saat akhir, paket ini ”pecah” karena instruksi petinggi partai. Satu nama yang tidak boleh dipilih adalah Abbas. Ditanya soal ini, Benny menggeleng. Dia menegaskan tak ada paket paketan di fraksinya. ”Kami diberi kebebasan memilih,” katanya. Pemilihan Abbas, kata dia, karena ia hakim agung yang tidak disukai internal MA sehingga dianggap bagus kalau masuk Komisi Yudisial. ”Selain itu, undang undang mensyaratkan adanya unsur hakim dalam keanggotaan Komisi Yudisial,” ujarnya.
Benny mengakui, secara kualitas, hanya lima orang yang layak menjadi komisioner. Selebihnya, kata dia, tidak layak karena tidak memahami Komisi Yudisial. Karena undang undang mewajibkan DPR memilih tujuh orang, kata Benny, tidak ada pilihan, Komisi harus memilih tujuh nama.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, juga mengakui calon yang diajukan ke DPR banyak yang bermutu rendah. Seharusnya, kata dia, calon bermasalah disaring di panitia seleksi. ”Baik atau buruk calon itu, kami harus memilih tujuh,” katanya.
Wakil Ketua Panitia Seleksi Indrianto Seno Adjie menyatakan calon yang lolos adalah pilihan terbaik. Ia menunjuk Abbas Said yang mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Sejumlah LSM, kata Indrianto, memberikan masukan bahwa Abbas hakim malas, yang memiliki banyak tunggakan perkara. ”Setelah dicek ke Mahkamah Agung, itu tidak benar,” katanya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo