Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA yang berubah dalam situs Cipaganti Group di Internet. Di bagian atas laman perusahaan itu muncul foto-foto para penambang, lengkap dengan peralatan beratnya. Di bagian depan terpampang, dalam huruf besar: coal mining—pertambangan batu bara. Perubahan dalam situs Cipaganti itu muncul setelah perusahaan yang berkantor pusat di Bandung ini secara resmi mulai merambah bisnis batu bara.
Kamis pekan lalu, Presiden Direktur Cipaganti Andianto Setiabudi meresmikan produksi perdana batu bara milik anak usahanya, PT Cipaganti Inti Resources, di Penajam, satu di antara lima tambangnya di Kalimantan Timur. ”Target produksinya 80 ribu ton per bulan,” kata Andianto kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Empat tambang lainnya terletak di Dumai, Kutai Barat, dan sudah siap berproduksi. Tiga tambang di Bentian Besar, Kutai Barat; Sandaran, Kutai Timur; dan Bongan, Kutai Barat, masih dalam tahap eksplorasi. Total cadangan batu bara di semua ladang mencapai 223 juta ton. Manajemen Cipaganti memproyeksikan, dalam tiga tahun mendatang produksi mencapai tiga juta ton per tahun. Dalam lima tahun ke depan, produksi ditargetkan naik menjadi 12 juta ton per tahun.
Cipaganti Group sejatinya perusahaan jasa transportasi. Perusahaan ini menguasai bisnis antar-jemput penumpang sampai tempat tujuan (travel), penyewaan kendaraan, jasa taksi, jasa kargo, penyedia bus turis, serta penyewaan alat-alat berat pertambangan. Pada 2008, Andianto mendapat kuasa pertambangan batu bara di Kalimantan Timur. Tapi bisnis ini tak dikembangkan karena harga batu bara sedang terlibas krisis global.
Setelah krisis agak melemah, Andianto berubah pikiran. ”Tiba saatnya kami memulai bisnis ini,” ia mengenang. Naluri bisnis Andianto ternyata lumayan tepat. Menurut analis dari BNI Securities, Norico Gaman, prospek industri batu bara sampai puluhan tahun mendatang masih cerah.
Harga batu bara biasanya mengikuti harga minyak dunia. Sekarang harga si ”emas hitam” naik ke level US$ 80 per barel. Adapun harga batu bara di pasar global sekarang pada kisaran US$ 80-120 per ton, tergantung kalorinya. ”Tahun depan harga batu bara bisa naik sepuluh lima belas persen karena harga minyak dunia akan terus melonjak di atas US$ 80,” katanya.
Naiknya harga batu bara juga tak lepas dari besarnya kebutuhan beberapa negara terhadap produk energi ini. Salah satunya Cina. Kebutuhan batu bara Negeri Panda akan melonjak dua sampai tiga kali lipat dari tahun ini. Belum lagi India, yang pada 2011-2013 membutuhkan batu bara lebih dari 150 juta ton setahun.
India memerlukan batu bara guna memenuhi kebutuhan industri dan pembangkit listriknya. ”Kebutuhan kedua negara itu akan melampaui Jepang, importir terbesar batu bara selama ini,” kata Ketua Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia Bob Kamandanu kepada Tempo. Negeri Sakura mengimpor batu bara dari Indonesia sekitar 65 juta ton setahun, tapi nilainya konstan dari tahun ke tahun.
Pasar batu bara di dalam negeri juga sangat cerah. Menurut Norico, konsumsi batu bara domestik rata-rata tumbuh 25-30 persen per tahun. Melonjaknya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan mendorong kebutuhan terhadap batu bara. ”Pertumbuhan konsumsi batu bara nasional bisa mencapai lima puluh persen per tahun di masa mendatang,” kata Norico.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memproyeksikan produksi batu bara nasional mencapai 326 juta ton pada 2011. Dari target produksi itu, 76 persen atau sekitar 248 juta ton akan diekspor, dan sisanya yang 79 juta ton untuk memenuhi kebutuhan industri domestik. Di dalam negeri, batu bara itu akan memenuhi kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap 66,3 juta ton, industri metalurgi 0,34 juta ton, dan industri semen, pupuk, pulp, serta tekstil 12,35 juta ton.
Sejauh ini ada empat pemain besar: PT Adaro Indonesia dengan rata-rata produksi 34,7 juta ton per tahun; PT Kaltim Prima Coal dengan rata-rata produksi 34,2 juta ton per tahun; PT Kideco Jaya Agung dengan rata-rata produksi 21,1 juta ton per tahun; dan PT Arutmin Indonesia sekitar 20 juta ton per tahun. ”Dalam kurun waktu itu, belum ada pemain baru yang produksinya bisa menyamai mereka,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Witoro Soelarno pekan lalu.
Tingginya kebutuhan dalam negeri tentu kabar bagus buat produsen batu bara. Salah satu yang akan berekspansi dan meningkatkan produksi adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam. Produsen batu bara milik pemerintah ini akan menggenjot produksi tahun ini sampai 14-15 juta ton. Tahun depan Bukit Asam memproyeksikan produksi naik 15-20 persen. ”Salah satunya dengan cara mengakuisisi perusahaan lain,” kata Sekretaris Perusahaan Achmad Sudarto kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Toh, meningkatkan produksi batu bara tak semudah membalik telapak tangan. Banyak kendala menghadang. Bob Kamandanu antara lain mengingatkan masalah payung hukum industri pertambangan dan batu bara. Beberapa regulasi pemerintah pusat masih bertabrakan dengan pemerintah daerah, terutama dalam hal eksplorasi di lahan hutan lindung.
Minimnya fasilitas infrastruktur juga masih menjadi hambatan besar bagi perusahaan batu bara yang lokasi tambangnya jauh di pedalaman atau di tengah hutan. Tanpa infrastruktur memadai, sulit bagi produsen batu bara menggenjot produksi dan memasarkannya. ”Indonesia bisa kehilangan momentum bagus bila kendala-kendala itu tak segera diatasi,” Bob mengingatkan. Produksi Batu Bara Tahun 2005-2009 dan Rencana 2010-2011 (Juta Ton)
Domestik | Ekspor | Produksi | |
2005 | 41 | 11 | 154 |
2006 | 48 | 145 | 193 |
2007 | 54 | 163 | 217 |
2008 | 49 | 191 | 240 |
2009 | 56 | 198 | 256 |
2010 | 64 | 206 | 270 |
2011 | 78 | 248 | 326 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo