Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ratapan bapak angkat

PT Boma Bisma Indra (BBI) yang ditunjuk penyuplai alat pertanian departemen transmigrasi macet, sehingga stock menumpuk. Alasannya karena soal harga. (eb)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAPAK angkat perajin besi itu, PT Boma Bisma Indra (BBI), sedang bingung. Sekitar 115 ribu set alat pertanian, yang bernilai Rp 1,2 milyar, menumpuk di gudangnya di Pasuruan, Jawa Timur. Ini merupakan paket pesanan Departemen Transmigrasi tahun anggaran 1984-1985, yang seharusnya sudah didrop ke daerah transmigran, Oktober lalu. Mengapa macet? "Soalnya, surat perintah kerjanya belum turun," kata Ir. Anggodo, 38, kepala Unit Industri Tempa BBI, lesu. Maka, 2.000-an pandai besi yang tergabung dalam 19 koperasi pun terancam ikut lesu. Sebab sekitar 90 ribu dari stok yang menumpuk itu, yang bernilai Rp 800 juta, merupakan hasil karya mereka. Maklum, BBI Pasuruan sejak 1981 menjadi bapak angkat mereka. Kemacetan ini ternyata bukan yang pertama kali. Tahun anggaran 1981-1982, stok yang macet di gudang BBI sempat mencapai nilai Rp 1 rnilyar. Ketika itu, membanjirnya impor dari RRC, Taiwan, Muangthai, dan Inggris menyebabkan produk BBI tak laku di pasar. Beruntung pemerintah, lewat SK Menperdag 1983, turun tangan. Pintu impor untuk alat pertukangan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan praktis tertutup. Apalagi, atas desakan Setneg, proyek pengadaan alat perunian Departemen Transmigrasi tahun anggaran 1983-1984 diberikan juga pada BBI, melalui "penunjukan". Segala urusan berjalan lancar. Merasa di atas angin, BBI pun meningkatkan hubungan dengan anak angkat. Tahun lalu cangkul dibuat sendiri oleh BBI, tapi mulai tahun ini proses penempaan awal diserahkan pada pandai besi. BBI tinggal melakukn proses pematanannya. Memang tugas utama BBI sebenarnya adalah memproduksi barang tempaan suku cadang motor diesel. BBI Pusat di Surabaya ymg memproduksi motor dieselnya. anya, sebagai badan usaba milik negara, BBI diminta turut mengembangkan industri kecil di bidang keahliannya. Sebagai "bapak angkat", BBI memproses per baja bekas menjadi kepingan, yang dijual kepada perajin dengan harga Rp 600 per buah. Kepingan ini diolah menjadi sabit, parang, atau kapak dan dijual kembali pada BBI dengan harga Rp 2.100. Diperhitungkan, perajin mendapat keuntungan Rp 500 per buah, dengan pendapatan bersih sekitar Rp 2.000 per hari. "Tapi, sudah tiga bulan ini nasib mereka tak menentu," kata Anggodo. Stok yang menumpuk menyebabkan BBI repot. Tak heran jika pengadaan bahan baku untuk perajin pun tersendat-sendat. Upaya melempar ke pasar terbentur saingan. Harga cangkul BBI, mislnya, Rp 3.000 per buah, sedangkan yang buatan RRC cuma Rp 1.800. Mungkin, cangkul RRC itu berasal dari sisa impor awal 1983, yang sempat melebihi 600.000 buah dan bernilai lebih dari Rp 500 juta. Padahal, SPK mungkin tak akan turun. Surat BBI kepada Departemen Transmigrasi mengenai proyek pengadaan untuk 1984-1985, menurut Anggodo, sudah dikirim jauh sebelum Oktober. Balasannya ternyata datang bulan September, dan cuma menerangkan bahwa tender sudah berlangsung . . . Agustus. Tentu saja, Anggodo panik. "Kalau memang ada perubahan kebijaksanaan, BBI sanggup ikut tender, kok," katanya kesal. Ia segera mencari peluang lain, dan menyertakan BBI pada tender Kanwil Departemen Transmigrasi Jawa Timur. BBI menawarkan 26 ribu set garpu tarik, garpu tanah, dan linggis dengan harga Rp 229 juta, pada tender 25 Oktober lalu itu. "Tapi sampai sekarang belum ada jawabnya," kata Anggodo, minggu lalu. Menurut sumber TEMPO di Kanwil Departemen Transmigrasi Jawa Timur, ada 40 peserta tender dengan harga penawaran berkisar Rp 180 juta hingga Rp 400 juta. Lucunya, menurut sumber itu, "Pesertanya ada dari lembaga kursus dan EMKL." BBI? Itu dianggap jadi urusan pusat. Inspektur Jenderal Departemen Transmigrasi, Bambang Soemantri, merasa tak mengetahui persis perihal pesanan kepada BBI. "Soalnya, belum menjadi kasus, jadi belum masuk ke Irjen." Ia mengakui bahwa pada tahun anggaran 1983-1984, proses pengadaan peralatan dilakukan melalui penunjukan, untuk mempercepat proses pengadaan. "Tetapi, jika pesanan itu ternyata di bawah kualitas dan tidak digunakan, maka sementara waktu pihak yang dipesani itu disingkirkan dulu sampai ia mampu memenuhi kebutuhan," katanya menjelaskan. Namun ia menegaskan bahwa tidak mengetahui apakah BBI ini termasuk yang disingkirkan. Yang jelas, Anggodo yakin, "Produk kami memenuhi standar industri Indonesia." Mungkin, yang jadi masalah adalah soal harga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus