Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGELUARAN untuk subsidi BBM (bahan bakar minyak), boleh jadi, bakal bisa banyak dihemat. Realisasi subsidi BBM, tahun anggaran ini, diperkirakan hanya Rp 577 milyar. Jika angka ini sampai Maret tahun depan tidak berubah banyak, maka subsidi itu berarti hanya separuh dari anggaran yang Rp 1.147 milyar. Penghematan bisa dilakukan karena Pertamina, "Bisa meningkatkan efisiensi pengolahan BBM," ujar Menteri Keuangan Radius Prawiro. Beberapa hari kemudian, di awal bulan ini, direksi Pertamina memberikan penjelasan secara lebih terinci kepada DPR. Kata F. Abda'oe, direktur keuangan Pertamina, penghematan bisa dilakukan sesudah biaya pokok rata-rata BBM dapat ditekan dari rencana yang Rp 258 menjadi Rp 236 per liter. Penghematan biaya pokok produksi Rp 22 ini tentu cukup lumayan, mengingat konsumsi BBM tahun anggaran ini diperkirakan lebih dari 22 milyar liter. Selain itu, katanya, biaya penyediaan bisa ditekan, karena BBM impor bisa dikurangi sesudah kilang lokal beroperasi. Penampilan tiga kilang baru di Cilacap, Balikpapan, dan Dumai, setelah ngadat beberapa kali, rupanya tak mengecewakan. Jumlah minyak yang digunakan sebagai bahan bakar dalam pengilangan, yang lazim dikenal sebagai refinery fuel and loss (RF and L), bisa dihemat dari rencana 10% menjadi 6%. Dengan demikian, tahun anggaran ini, minyak yang digunakan untuk RF and L itu hanya akan meliputi sekitar 36 ribu barel. Kata Indrawan Akman, direktur produksi Pertamina, tingkat RF and L itu harus tetap dipertahankan sekitar 6%. "Kalau lebih, berarti kita harus membayar kelebihan itu kepada pemerintah," ujarnya kepada Budi Kesumah dari TEMPO. Menurut direktur produksi itu, kilang minyak Cilacap, yang dioperasikan sejak Agustus 1983, bahkan pernah berproduksi 125% di atas kapasitas terpasang. Karena produksi di atas kapasitas itu dikhawatirkan justru bisa merusakkan instalasi, maka tindakan itu tak bisa dilakukan secara terus-menerus. Hasil produk BBM, menurut Indrawan, juga cukup baik, karena unit hydrocracker Balikpapan dan Dumai, yang mengolah minyak berat, sudah agak sehat. Hambatan memang masih sering muncul. "Karena itu, kami minta bantuan kontraktor. Mereka selalu punya ide untuk mengatasi kesulitan di kilang," tambahnya. Secara tidak langsung, Pertamina masih memerlukan jasa baik para kontraktor untuk menangani teknologi tinggi pengilangan minyak itu kendati perusahaan negara ini sudah melatih sejumlah karyawannya. Menurut dirut Pertamina, A.R. Ramly, adalah tidak fair jika kilang minyak yang baru beroperasi dituntut mencapai tingkat optimum dalam waktu enam bulan "Bahkan, di Amerika sendiri kilang hydrocracke baru bisa mencapai produksi optimum setelah tiga tahun," katanya. Ramly tampaknya ingin menjelaskan adanya kritik terhadap ketidaklancaran pengoperasian unit hydrocracker Balikpapan dan Dumai. Di DPR itu ia juga membantah bahwa Pertamina telah mengilangkan 100 ribu barel minyak mentahnya di Singapura. Kata Indrawan, selama tahun 1984 ini, pengilangan insidentil pernah sekali dilakukan di sana, Mei lalu, ketika kilang di sini mengalami gangguan. Sesudah itu, tak dilakukan lagi. "Sebab, mengolah minyak di Singapura tidak lebih murah - ongkosnya US$ 0,70 per barel," ujarnya. Kenaikan gaji pegawai dan restrukturisasi pada pengilangan negeri itu tampaknya berpengaruh besar dalam menaikkan biaya pengolahan. Situasinya kini memang jauh berbeda dengan taksiran Bank Dunia, yang memperkirakan harga rata-rata BBM eks kilang Singapura, Desember 1983 lalu, masih Rp 209. Sedang BBM eks pengilangan Pertamina, ketika itu, rata-rata ditaksir Rp 239,5 per liter. Bank Dunia dalam laporannya April lalu masih merasa belum jelas, komponen apa saja yang dimasukkan Pertamina untuk menghasilkan setiap liter BBM itu. Dari kedelapan komponen BBM, memang masih ada empat komponen yang memakan subsidi cukup besar, antara lain minyak tanah dan minyak solar. Ketidakjelasan di mata Bank Dunia itu agaknya akibat sikap tertutup Pertamina pada masa sebelum Ramly.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo