Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Denpasar - Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia (REI) Bali tengah mengkaji perumahan berupa hunian vertikal komersial, termasuk zonasi pembangunannya, agar tidak mengganggu sektor pertanian dan pariwisata. "Jangan sampai ada perumahan di kompleks perhotelan, itu kurang elok. Ini harus kami kaji untuk mencari zona tertentu, di mana bisa kami maksimalkan," kata Ketua DPD REI Bali Pande Agus Permana Widura di Denpasar, Bali, Kamis, 1 Maret 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Pande, lokasi yang potensial dibangun hunian vertikal atau rumah susun adalah di kabupaten penyangga Denpasar, di antaranya Kabupaten Gianyar, Tabanan, dan Badung Utara. Meski demikian, membangun kawasan hunian dengan konsep yang masih baru di Bali itu tidak mudah karena mempertimbangkan aturan daerah, adat, dan budaya setempat yang sangat kental. "Ini menjadi suatu kebutuhan, tetapi jangan sampai merusak budaya dan adat istiadat," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pengusaha muda itu, wacana pembangunan hunian vertikal di Bali merupakan salah satu solusi menyiasati harga lahan di Pulau Dewata, khususnya di Denpasar dan Badung, yang sangat mahal. Sedangkan saat ini masih banyak masyarakat di Bali yang belum memiliki rumah. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, backlog atau jumlah rumah yang dibutuhkan mencapai sekitar 300 ribu.
Pande mengatakan hampir setengah dari jumlah backlog itu berada di Kabupaten Badung dan sekitar 68 ribu di antaranya di Denpasar. Meski saat ini pemerintah memiliki program rumah subsidi skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) dengan harga Rp 141,7 juta untuk wilayah Bali tahun 2017, hal itu tidak bisa dilakukan merata di semua kabupaten di Pulau Dewata.
Harga lahan per are yang bahkan melebihi harga FLPP itu menjadi penyebab utama belum semua kabupaten di Bali bisa merealisasikan skema rumah itu. Saat ini, skema rumah subsidi itu baru bisa dilaksanakan daerah luar pusat kota di Kabupaten Buleleng, Jembrana, dan Karangasem.
Untuk menekan backlog dan menyiasati keterbatasan lahan, kata Pande, pihaknya juga mendorong pemerintah daerah merevisi aturan minimal luas lahan rumah, dari minimal 1,5 are menjadi 60 meter persegi, sesuai dengan aturan nasional.
Senada dengan Pande, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Bali I Ketut Artika mengatakan harus ada kajian mendalam mengenai hunian vertikal tersebut dengan mempertimbangkan aspek lokasi atau zonasi, sosial, dan budaya, termasuk kearifan lokal.
Selain itu, aspek aturan daerah yang mengatur ketinggian bangunan perumahan agar tidak melebihi 15 meter juga menjadi perhatian. "Jika hunian di bawah 15 meter, kenapa tidak? Sepanjang dikaji dari berbagai aspek dan sosialisasi," ucap Ketut. Dia menambahkan, saat ini belum ada regulasi yang mengatur hunian vertikal di Bali.
ANTARA