Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengatan sinar matahari di atas ubun-ubun tak membuat Samian lelah bekerja. Senin siang pekan lalu, kakek 60 tahun itu dengan semangat terus memanen garam di ladangnya yang terletak di Desa Pangarengan, Kabupaten Sampang, Madura.
Bagi petani garam, terik matahari Agustus menjadi berkah. Air laut yang masuk ke tambak bisa cepat mengering dan menyisakan garam. Kualitas garam yang bisa dipanen pun semakin bagus alias kualitas satu. "Garam kualitas bagus mudah menjualnya," kata Samian.
Ukuran garam kualitas satu rata-rata tiga sentimeter. Warnanya putih bersih, tak berlumpur, dan mengkilat bila terkena sinar matahari. Harga jual garam kualitas nomor wahid ini cukup lumayan buat para petani garam. Menurut ketentuan pemerintah, harga satu kilogram garam kualitas terbaik Rp 750 dan garam kualitas dua hanya Rp 550.
Namun Samian tak bisa menikmati seluruh keuntungan panen garamnya. Sebagai petani penggarap, hasil kerja berpanas-panas di tambak garam seluas satu hektare itu harus dibagi dengan Haji Hisyam, pemilik tambak garam. Samian hanya mendapat sepertiga, dan juragannya mendapat sisanya. Dari penjualan satu ton garam Rp 750 ribu, kata dia, "Majikan saya dapat Rp 500 ribu. Saya cuma dapat Rp 250 ribu."
Nasib Samian sebenarnya lebih baik ketimbang Jiman. Petani garam di desa yang sama itu menyewa lahan dan menggunakan irigasi milik PT Garam. Mau tak mau, Jiman menjual garamnya ke perusahaan milik negara tersebut. Menurut Jiman, garam kualitas satu dijual ke perusahaan itu Rp 550 per kilogram. Garam kualitas dua dihargai Rp 450. "Kalau dijual ke perusahaan swasta bisa dapat Rp 750 per kilogram," katanya. Walhasil, lelaki paruh baya itu sekarang tak memikirkan lagi kualitas garam. Prinsipnya, panen sebanyak-banyaknya. "Yang penting bisa jadi uang," ujar Jiman.
Periode Agustus sampai akhir Oktober nanti merupakan masa panen raya garam di Indonesia, termasuk di Madura. Panen pertama garam seharusnya sudah dimulai pada Mei lalu. Tapi, lantaran terpengaruh perubahan iklim global, panen garam mundur hampir tiga bulan. Menurut Hisyam, anomali cuaca dan serangan penyakit cacing dan belut di ladang garam membuat waktu penggarapan tambak lebih lama dari biasanya. Bahkan sekitar 90 persen lahan garam seluas 642 hektare di Kecamatan Pangarengan terserang cacing. "Saya mulai menggarap lahan sejak Mei. Mestinya Juni panen, tapi ternyata baru mulai panen akhir Juli," kata Hisyam pekan lalu.
Jangan kaget, kata Hisyam lagi, panen garam bulan ini belum optimal. Di Sampang, kata Ketua Presidium Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia itu, sampai 8 Agustus lalu produksi baru mencapai 16 ribu ton. "Stok garam Sampang tinggal 3.000 ton," ujarnya.
Masa panen raya seharusnya menjadi rezeki petani garam. Tapi pendapatan mereka malah terancam berkurang lantaran banjir garam impor dari India dan Australia. Harga garam berpotensi anjlok. Pemerintah memang sudah bergerak cepat melarang impor garam dari Agustus sampai Maret 2012.
Namun, menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia Syaiful Rahman, harga garam telanjur turun menjadi Rp 500 per kilogram untuk garam kualitas satu dan Rp 350 per kilogram garam kualitas dua. Larangan impor garam belum menyelesaikan semua persoalan. Harga garam yang diserap importir, kata dia, sering tak sesuai dengan harapan.
Direktur PT Garam Yulian Lintang menjamin perusahaannya akan menyerap garam rakyat sesuai dengan ketentuan pemerintah. Tiga pekan lalu, perusahaan itu sudah menandatangani kontrak pembelian 50 ribu ton garam dengan Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia. "Ini kerja sama saling menguntungkan," ujarnya.
Musthofa Bisri (Madura), Padjar Iswara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo