Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Rini Soemarno: Tiga Tahun Lagi Minyak Nabati Gantikan Solar

Rini Soemarno mengatakan dalam tiga tahun lagi, minyak nabati bisa menggantikan bahan bakar solar

18 Februari 2019 | 17.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan dalam tiga tahun lagi, Indonesia ditargetkan bisa terus meningkatkan kandungan minyak nabati dalam bahan bakar solar sebagai salah satu sumber energi alternatif. Jika hari ini kandungannya masih 20 persen alias Biodiesel 20 (B20), maka di tahun 2022 solar akan sepenuhnya digantikan oleh minyak nabati dan menjadi B100.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sumbernya ga hanya berasal dari CPO (Crude Palm Oil alias minyak kelapa sawit), tapi bisa juga dari ampas tebu," kata Rini saat ditemui usai di Gedung Kementerian BUMN, Senin, 18 Februari 2019. Untuk mendukung rencana itu, unit kilang minyak tambahan yang akan memproses B20 menuju B100 ini tengah dibangun PT Pertamina (Persero) di Plaju, Palembang, Sumatera Selatan.

Pernyataan ini disampaikan Rini untuk menguatkan janji atasannya, Presiden Joko Widodo dalam Debat Capres pada Minggu malam, 17 Februari 2019 di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. “Kami ingin sedang menuju B100, agar 30 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia masuk ke biofuel, ini sudah rigid dan jelas agar kita tidak ketergantungan akan impor BBM (Bahan Bakar Minyak),” ujar Jokowi.

Kenyataannya, kebijakan ini dilakukan Jokowi di tengah banyaknya kritikan dari sejumlah pakar. Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyampaikan bahwa seharusnya Indonesia mulai bisa menghentikan ekonomi berbasis ekstraktif ini, baik sawit maupun batu bara. Tak hanya Leonard, selama ini beberapa organisasi lingkungan hidup juga terus mengkritik industri sawit yang dinilai menjadi penyebab banyaknya kerusakan lahan dan kebakaran hutan di Indonesia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa turut mempertanyakan efektifitas dari kebijakan ini untuk menekan impor BBM seperti yang dibayangkan Jokowi. Lantaran, lebih dari separuh konsumsi BBM Indonesia adalah bensin (premium, pertalite, dan pertamax), bukan solar.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi alias BPH Migas pernah melaporkan bahwa konsumsi BBM sepanjang tahun 2018 adalah sebesar 75 juta kiloliter (KL). 51,3 juta KL di antaranya adalah bensin dan hanya 16,2 juta solar plus minyak tanah. Nah, menurut Fabby, separuh dari konsumsi BBM nasional harus dipenuhi dari impor. "Jadi persoalan intinya yaitu bensin justru tidak tersentuh lewat B20 ini," kata dia.

Fabby juga sependapat bahwa kebijakan campuran minyak kelapa sawit dalam B20 saat ini diambil pemerintah lantaran harga sawit di pasar internasional yang sedang anjlok. Pola-pola seperti ini, kata dia, bukan hal baru dan telah berlangsung sejak 2005, serupa komoditas batu bara yang diberi kemudahan ekspor ketika harganya anjlok. "Jadi menurut saya kita harus punya strategi penyediaan energi secara jangka panjang, yang tidak responsif, kalau cuma fokusnya biodiesel, itu gak menjawab masalah impor BBM secara keseluruhan," ujarnya.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus