Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto waswas proyek Blok Masela kembali mundur.
Jika proyek Blok Masela mundur, pemerintah kehilangan potensi pendapatan US$ 5 miliar atau sekitar Rp 75 triliun setahun.
Pasar dianggap tak bakal menjadi masalah buat Inpex. Pasalnya, permintaan gas global dalam 10-15 tahun ke depan masih akan tinggi.
JAKARTA - Dua puluh tiga tahun sejak cadangan di Blok Masela ditemukan, belum setitik pun gas keluar dari ladang tersebut. Rencana eksekusi tersendat beragam tantangan hingga target produksi berulang kali mundur.
Salah satu alasan proyek ini molor adalah keputusan pemerintah mengubah rencana pengembangan Blok Masela. Pada 2008, pengembangan ladang direncanakan di lepas pantai. Namun pemerintah mengubah rencana tersebut pada 2016 dan memindahkan pabriknya ke darat. Keputusan ini memicu mitra Inpex, Shell Upstream Overseas Services Limited, memutuskan hengkang dari proyek gas alam cair tersebut pada 2020. Baru tahun ini proses pengalihan hak partisipasi perusahaan tersebut rampung dan dialihkan ke PT Pertamina Hulu Energi serta Petronas. Proyek LNG Abadi Masela sempat ditargetkan berproduksi pada 2027. Tapi rencana tersebut mundur menjadi 2029.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto waswas sejarah berulang. Dia mendesak timnya serta kontraktor Blok Masela berdisiplin mengikuti rencana pembangunan agar jadwal produksi tak lewat dari 2029. “Kalau bisa dipercepat,” ujarnya di kantor Inpex Corporation, Jakarta, Kamis, 28 Desember 2023.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dwi Soetjipto (tengah) memberikan keterangan seusai kegiatan Kick-Off PMT Proyek LNG Abadi di Jakarta, 28 Desember 2023. ANTARA/Adimas Raditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesan itu ia sampaikan saat membuka seremoni dimulainya proyek Masela. Di hadapannya berjejer pejabat di SKK Migas serta perwakilan kontraktor lapangan: Inpex Masela Ltd, PT Pertamina Hulu Energi Masela, dan Petronas Masela Sdn Bhd.
Dwi mengingatkan mereka mengenai kerugian yang muncul jika proyek dengan nilai investasi US$ 20,9 miliar itu kembali molor. “Dari sisi revenue, kita akan kehilangan potensi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 75 triliun setahun,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beban biaya juga bisa tergambar dari sisi modal. Dengan asumsi bunga pinjaman untuk mendanai investasi ini sebesar 5 persen, Dwi menyebutkan bakal ada tambahan ongkos proyek hingga US$ 1 miliar per tahun atau sekitar Rp 15 triliun. “Besaran cost overrun ini belum menghitung biaya untuk tenaga kerja.”
Risiko lain berkaitan dengan ketahanan energi. SKK Migas menargetkan kenaikan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari dan gas 12 miliar kaki kubik per hari pada 2030. Pasokan gas salah satunya berasal dari Blok Masela yang bakal menghasilkan total 10,5 mtpa, terdiri atas LNG sebanyak 9,5 mtpa dan gas pipa 150 MMSCFD, serta sekitar 35 ribu barel kondensat setara minyak per hari.
Infografis Masela
Percepatan Proyek di Blok Masela
Dwi mengatakan perkembangan proyek lapangan LNG Abadi sesuai dengan rencana sejauh ini. Namun dia menyoroti satu hal: akuisisi lahan. Dalam rencana aktivitas pengembangan Blok Masela, Inpex menargetkan akuisisi lahan di kawasan hutan yang bisa dikonversi seluas 770 hektare pada 2025. Dia berharap prosesnya bisa beres lebih awal. Terlebih proyek ini memegang status proyek strategis nasional. “Kalau seandainya ini bisa kita akselerasi dan selesai pada 2024, betapa besar pengaruhnya kelonggaran waktu yang kita punya untuk mengerjakan yang lain.”
Senior Vice President Asia Project Inpex Corporation Akihiro Watanabe menuturkan pihaknya berkomitmen memenuhi seluruh rencana pembangunan yang telah disetujui pemerintah. Pada 28 November lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberi lampu hijau untuk revisi kedua Plan of Development Blok Masela.
Seusai persetujuan tersebut, perusahaan mulai tahun depan berfokus pada pelaksanaan Front-End Engineering Design (FEED). Targetnya, tahapan ini bisa rampung pada 2025 sehingga keputusan final investasi bisa rampung pada 2026. Setelah itu, fase Engineering, Procurement, and Construction (EPC) bisa langsung dimulai.
Watanabe menuturkan proses FEED normalnya membutuhkan waktu sekitar tiga tahun dan EPC hingga lima tahun. “Tapi kami memangkas prosesnya sehingga kita bisa mulai produksi gas pada 2030,” tuturnya.
Pengeboran proyek LNG Abadi Masela. Dok. INPEX
Di tengah proses-proses tersebut, Inpex bersama mitranya aktif mencari pembeli gas dari Blok Masela. Watanabe mengatakan perusahaan aktif menemui para calon pembeli domestik dan internasional. Sejumlah letter of interest serta nota kesepahaman yang tidak mengikat telah dikantongi perusahaan, menunjukkan minat yang tinggi terhadap gas dari ladang di perairan Laut Arafuru, Maluku, tersebut. “Volumenya lebih tinggi dari kapasitas produksi kami sehingga kami percaya diri gas kami akan diserap oleh banyak pembeli di masa mendatang,” katanya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan Bisman Bachtiar memperkirakan pasar tak menjadi masalah buat Inpex. Pasalnya, permintaan gas global dalam 10-15 tahun ke depan masih akan tinggi. Ekonomi yang tumbuh akan mendorong kebutuhan energi. Di tengah tren transisi energi, gas yang volumenya berlimpah di dalam negeri bisa menjadi primadona.
Untuk memanfaatkan momentum tersebut, pengembangan Blok Masela perlu dipercepat. Alasan lain melakukan akselerasi adalah ketahanan energi nasional. “Gas existing Indonesia sebagian besar diekspor karena kontrak-kontrak jangka panjang sebelumnya sehingga pasokan energi dalam negeri dari gas berharap banyak dari Masela,” katanya. Bisman berharap perusahaan mengalokasikan 50-60 persen produksi mereka nanti untuk kebutuhan domestik.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan produksi Blok Masela yang mundur lagi akan merugikan banyak pihak. Inpex akan menjadi yang paling menderita karena sudah menggelontorkan modal. Pemerintah sendiri akan mengalami kehilangan pendapatan. “Pemerintah seharusnya sudah dua tahun menikmati pendapatan negara. Tapi, karena (proyek) molor, belum ada penerimaan yang masuk,” katanya. Komaidi berharap pemerintah kali ini konsisten mendukung realisasi Blok Masela.
VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo