Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN bertambah di kompleks kilang Cilacap, Jalan M.T. Haryono, Jawa Tengah, menjelang akhir pekan lalu. Jumlah pekerja yang lalu-lalang meningkat. Alat-alat berat hilir-mudik mengangkut peralatan dan suku cadang baru. Unit Pengolahan IV PT Pertamina (Persero) itu sedang memasuki program perbaikan dan pemeliharaan kilang.
Rencananya, kegiatan tersebut berlangsung sebulan, mulai Sabtu pekan lalu. "Sekitar 5.000 pekerja akan terlibat," kata juru bicara Pertamina Cilacap, Musriyadi, Kamis pekan lalu. Ia menjelaskan, perbaikan akan dilakukan terhadap kilang yang juga menghasilkan produk non-bahan bakar minyak, yakni petrokimia, atau yang biasa disebut Kilang II. Bagian ini terakhir kali diperbaiki pada Juli 2010.
Berdasarkan situs resmi Pertamina, Kilang Minyak II berkapasitas 230 ribu barel per hari. Kilang ini mengolah minyak cocktail alias minyak campuran. Artinya, kilang ini mengolah minyak mentah produksi domestik dan impor. Hasilnya, selain bahan bakar minyak, ada nafta yang diolah lebih lanjut di kilang paraksilin menjadi petrokimia.
"Ini pemeliharaan rutin empat tahunan, karena kondisi kilang harus dikembalikan seperti semula," ujar Direktur Pengolahan Pertamina Chrisna Damayanto, Jumat pekan lalu.
Dampak dari program tersebut, kata Chrisna, pengolahan minyak mentah diatur kembali ke unit-unit lain, sesuai dengan kapasitas optimum. Pertamina juga mengurangi impor minyak mentah dan sedikit menambah impor produk minyak, yakni gasolin (bensin) dan solar.
Senior Vice President Pemasaran dan Distribusi BBM Suhartoko membenarkan. "Kalau ada perbaikan atau pemeliharaan, pasti ada tambahan impor. Kami hanya menunjukkan angka kebutuhan. Integrated Supply Chain yang mengatur," kata Suhartoko.
Program perbaikan dan pemeliharaan kilang itulah yang membuat Pertamina mengembalikan 2,21 juta barel minyak mentah bagian pemerintah kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Minyak tersebut seharusnya diolah di kilang Pertamina. Perusahaan energi milik negara ini merupakan penjual minyak mentah atau kondensat bagian negara untuk dipasok ke kilang domestik, sesuai dengan keputusan Kepala BP Migas-kini SKK Migas-pada 8 Oktober 2012.
Dalam suratnya kepada SKK Migas, 29 Agustus 2014, Pertamina menyebutkan operasi kilang Cilacap akan disetop selama 35 hari, pada September-Oktober 2014. Surat Vice President Integrated Supply Chain Pertamina Tafkir Husni itu ditujukan kepada Kepala Divisi Komersialisasi Minyak Bumi dan Kondensat SKK Migas.
Akibatnya, dalam surat disebutkan, rencana pengolahan minyak mentah ringan bagian pemerintah selama triwulan empat tahun ini kelebihan alokasi sebesar 2,21 juta barel. Selain ada perbaikan kilang, Pertamina beralasan, kemampuan menyimpan dan stok minyak mentah ringan di kilang yang masih menumpuk mengakibatkan perusahaan tidak bisa me-lifting produksi minyak pemerintah.
Berdasarkan hasil rapat optimalisasi lifting dan minimalisasi stok minyak di antara kedua lembaga tersebut di Bandung, Agustus lalu, Pertamina mendapat jatah untuk mengolah minyak mentah ringan sebanyak 11,84 juta barel pada triwulan keempat tahun ini-atau rata-rata 3,95 juta barel per bulan.
Tapi, kata Tafkir dalam surat, dengan mempertimbangkan ketersediaan kapal, kemampuan penyimpanan, dan penyerapan kilang, Pertamina mengembalikan 1 juta barel minyak mentah milik pemerintah kepada SKK Migas, untuk periode Oktober. Minyak mentah yang dikembalikan itu antara lain berasal dari lapangan Badak, Madura, Kerapu, dan kondensat Senipah.
Pertamina juga meminta pengurangan alokasi bulan November dan Desember masing-masing 650 ribu barel. Maka total minyak mentah pemerintah yang tidak akan diserap kilang Pertamina lebih dari 2 juta barel. Nilainya sekitar US$ 220 juta (lebih-kurang Rp 2,65 triliun) pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$ 100 per barel.
Tentu saja hal itu membuat SKK Migas mencak-mencak. Lembaga ini mempertanyakan kebijakan pengembalian minyak mentah milik pemerintah yang mendadak tersebut. Sebab, berdasarkan kesepakatan tata waktu penerimaan lifting, Pertamina harus menginformasikan adanya minyak negara yang tidak dapat diolah dua bulan sebelum bulan lifting. Untuk pengembalian atau pengurangan penyerapan minyak negara bulan Oktober, telah disepakati 45 hari sebelum bulan lifting, yakni 15 Agustus 2014.
Namun, faktanya, surat pemberitahuan Pertamina baru dilayangkan pada 29 Agustus. Karena itu, SKK Migas tetap mewajibkan Pertamina mengangkut kargo bulan Oktober sebesar 1 juta barel. Demikian pula alokasi minyak bulan November dan Desember, masing-masing 650 ribu barel, diminta tetap diangkut alias di-lifting.
Pertamina juga dinilai tidak konsisten karena perbaikan kilang Cilacap memakan waktu sampai 35 hari. Padahal, berdasarkan rapat koordinasi pengapalan kedua lembaga pada 26 Agustus, Pertamina menyampaikan bahwa perbaikan kilang Cilacap hanya 10 hari. Karena itu, perusahaan diminta merencanakan dan melaksanakan program perbaikan kilang secara lebih baik.
Kepala SKK Migas Widjonarko menegaskan kepada Pertamina bahwa minyak mentah bagian negara tersebut tetap harus diangkut. Sebab, bila dikembalikan, akan mempengaruhi target lifting nasional. Bagi SKK Migas, minyak mentah dan kondensat yang telah diproduksi belum bisa dihitung sebagai lifting jika belum memasuki tahap komersial. Salah satunya diambil untuk diolah di kilang Pertamina. "Kami sudah menjawab surat Pertamina," ujar Widjonarko kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Pertamina akhirnya sedikit menggeser kebijakan karena "menabrak" aturan tata waktu yang telah disepakati. Dalam suratnya kepada Kepala Divisi Komersialisasi Minyak Bumi dan Kondensat SKK Migas, 12 September 2014, Tafkir berjanji akan me-lifting seluruh minyak mentah ringan milik negara yang dinominasikan untuk Oktober.
Tapi, kata Tafkir dalam suratnya, stok minyak mentah ringan di kilang Pertamina akan semakin menumpuk, sehingga kilang tidak akan sanggup menyerap minyak mentah ringan jatah November sebesar 2 juta barel. Karena keterbatasan sarana dan fasilitas penampung minyak mentah ringan, Pertamina memutuskan menyerahkan kembali alokasi bulan November tersebut.
Sebagai jalan keluar, Pertamina mengusulkan dilakukan kajian atas mekanisme swap/exchange alias menukar minyak mentah milik pemerintah yang tersedia dengan kebutuhan kilang Pertamina pada Desember 2014.
Skema itu sebenarnya dimungkinkan. Merujuk pada surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, 1 September 2014, SKK Migas dalam menyelenggarakan fungsinya dapat menunjuk Pertamina untuk mengelola seluruh minyak mentah dan kondensat bagian negara-baik minyak yang dapat diolah di kilang Pertamina maupun yang tidak dapat diolah-melalui skema pengolahan kilang dalam negeri, ekspor, exchange/swap, dan/atau crude procession. Syaratnya: menguntungkan negara, sesuai dengan ketentuan, dan harga sekurang-kurangnya setara ICP.
Pejabat yang memahami persoalan itu menilai ada kejanggalan dalam kasus ini. Misalnya pemberitahuan mendadak dan program kilang yang tidak sesuai dengan informasi sebelumnya. "Baru kali ini terjadi, Pertamina tidak memenuhi aturan tata waktu pengembalian minyak negara," kata seorang pejabat yang mengetahui persoalan ini.
Ia menduga ada sesuatu di baliknya. Terutama karena kegiatan pemeliharaan atau perbaikan kilang selalu diikuti dengan penambahan volume impor produk bahan bakar minyak. Proses pengadaan bahan bakar minyak di perusahaan pelat merah itu dinilai sangat rawan penyimpangan. "Mungkin ada yang sedang membutuhkan dana besar supaya terpilih menjadi pejabat," ujarnya berkelakar.
Anggota Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral DPR, Satya Yudha, mengatakan Pertamina harus mempertanggungjawabkan kebijakan pemeliharaan kilang yang terkesan mendadak tersebut. "Harus diteliti mendalam, mengapa mendadak. Apakah ada sesuatu di balik itu semua?" kata anggota Fraksi Partai Golkar ini. Apalagi, ia menambahkan, pada akhir tahun seperti sekarang, yang bisa membuat impor bahan bakar minyak makin tinggi. Ujung-ujungnya, dia khawatir, keuangan negara semakin merugi.
SKK Migas pun berkukuh agar kargo-kargo minyak mentah negara yang telah diproduksi itu diangkut Pertamina. Perselisihan 2,21 juta barel minyak mentah negara itu akhirnya sampai juga ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rencananya, Senin pekan ini, Wakil Menteri Energi Susilo Siswoutomo mengundang Pertamina dan SKK Migas membicarakan masalah tersebut.
Jika Pertamina ngotot mengembalikan minyak dan tak mau mengolahnya, Indonesia mesti menaikkan impor bahan bakar minyak. Langkah itu mau tak mau harus dilakukan karena ketersediaan BBM sekarang ini memasuki masa genting, terutama karena pasokan BBM bersubsidi tak akan mencukupi sampai akhir tahun.
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiartie, Aris Andrianto (Cilacap)
Bergantung pada Kilang Tua
PEMENUHAN kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri diperoleh dari hasil produksi kilang Pertamina serta impor minyak dan BBM. Impor harus dilakukan karena kapasitas kilang kita hanya 1,1 juta barel per hari. Itu pun produksi minyak yang bisa diolah di enam unit kilang hanya 649 ribu barel per hari. Padahal konsumsi BBM Indonesia mencapai 1,5 juta barel per hari. Sedikit saja gangguan di kilang yang umumnya sudah tua, impor minyak dan BBM makin tinggi.
Profil
1. Kilang Dumai
2.Kilang Plaju
3. Kilang Cilacap
4. Kilang Balikpapan
5. Kilang Balongan
6. Kilang Kasim
Volume Impor Minyak dan BBM (juta kiloliter)
Volume | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | Realisasi TW I 2014*) | |
Premium | 12,43 | 15,29 | 17,52 | 18,39 | 4,46 | |
Solar | 8,41 | 9,67 | 8,13 | 6,4 | 1,48 | |
Minyak mentah | 103,58 | 97,61 | 98,21 | 122,72 | 34,32 | |
Nilai Impor Minyak dan BBM (US$ juta)
Nilai | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | Realisasi TW I 2014*) | |
Minyak mentah | 15,045 | 22,915 | 24,888 | 20,056 | 5,067 | |
Premium | 6,855 | 11,449 | 13,387 | 13,729 | 3,325 | |
Solar | 4,771 | 7,735 | 6,308 | 5,013 | 1,147 | |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo