Demokrasi jadi penting bukan karena dari sanalah bangkit sesuatu yang cemerlang. Seorang penulis Inggris pernah mengatakan bahwa demokrasi itu pemerintahan oleh orang-orang yang tak terdidik—dan aristokrasi pemerintahan oleh mereka yang terdidik secara buruk.
Tokoh dalam cerita kali ini kita panggil saja Suta, seorang anggota Parlemen yang tak pernah lulus SMA. Sebelum pemilihan umum 1999 ia tinggal di W, di dekat ibu kota provinsi, dan sehari-hari bekerja sebagai seorang wakil komandan satpam di sebuah toserba "M" yang megah di kota besar itu. Sejak dua pemilihan umum sebelum masa akhir "Orde Baru", ia sudah jadi seorang aktivis Partai X. Dan ia segera saja menonjol, karena ia bisa memimpin rapat dengan tertib, dan pandai menyiapkan pawai. Ia juga disukai orang karena ia ketua RT yang tak pernah gagal membantu para tetangga bila ada kematian dan sakit. Lebih-lebih lagi, tak jarang ia menolong anak-anak muda di kampung itu mendapatkan kerja sebagai pelayan restoran atau petugas pengepakan di sekitar toserba "M".
Setelah berakhir "Orde Baru", dan politik merambah masuk ke lapis paling bawah, Suta dengan segera naik dari ketua ranting menjadi ketua cabang. Suta tak tahu sebenarnya apa yang hendak diperjuangkan Partai X, kecuali yang dirumuskan dalam kalimat yang berkali-kali ia dengar: "keadilan untuk rakyat kecil". Ia sendiri tertarik masuk partai itu karena mengikuti teman-temannya dan ia merasa betah di sana karena ia tak merasa asing dengan para pengurusnya. Di sana ada seorang pemilik toko beras, seorang mandor bengkel mobil, seorang penjaga karcis bioskop, seorang pegawai bank, dan seorang guru SMP.
Dalam pemilihan 1999 partai X mendapatkan suara yang besar sekali di provinsi itu, dan ketika dengan tergopoh-gopoh satu daftar calon legislator disusun, nama Suta tercatat. Dan ia menjadi anggota DPR yang terpilih.
Apakah demokrasi bagi hidupnya? Pasti sesuatu yang tak layak dikeluhkan. Bukan saja ia mendapatkan fasilitas yang lebih enak sebagai legislator, tapi juga karena ia salah satu dari mereka yang tiba-tiba tak diabaikan, kalangan kelas bawah yang menemukan celah untuk naik ke lapisan elite. Di Senayan ia memang banyak diam. Ia gentar sebenarnya. Tapi ia merasa bangga ketika para legislator bersatu untuk menggunakan "hak interpelasi" (ia tak tahu pasti apa itu, tapi ia tahu pasti itu adalah bagian dari hak) dan menantang seorang presiden yang terkenal pandai tapi menganggap Parlemen sebagai "taman kanak-kanak".
Ia tahu, atau ia menduga, banyak yang bodoh dan busuk di antara para legislator di sekitarnya. Tapi ia selalu ingat seorang penjual bakso yang menjadi ketua pemilihan umum di RT-nya, yang pada saat penghitungan suara dengan suara bergetar mengatakan, "Bang Suta, kita jangan sampai disepelekan lagi." Tak seorang pun, juga seorang presiden, boleh menyepelekan apa yang dipilih rakyat.
Tapi nasib dari demokrasi ialah bahwa ia penting bukan karena dari sanalah bangkit sesuatu yang cemerlang. Di tahun 1830 seorang aristokrat Prancis datang untuk menyaksikan sebuah eksperimen besar: bagaimana demokrasi dipraktekkan, pertama kalinya, dalam sebuah wilayah luas dan di muka bumi modern: Amerika Serikat. Alexis de Tocqueville berkeliling di negeri baru itu, dan kemudian menuliskan observasinya yang cemerlang dalam sebuah karya klasik yang di tahun 1940 sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Democracy in America.
De Tocqueville punya simpati besar kepada eksperimen yang bermula sejak paruh kedua abad ke-18 itu. Tapi ia juga punya catatan perbandingan, yang agaknya berlaku buat Indonesia di hari ini: "Orang-orang yang dipercayai untuk mengarahkan perikehidupan publik di Amerika Serikat sering lebih rendah mutunya, baik dalam kapasitas maupun dalam moralitas, dibandingkan dengan mereka yang ditumbuhkan oleh lembaga-lembaga aristokratis." Soalnya bukan karena semata-mata rakyat tak mampu membedakan mana tokoh yang kepandaian dan mutu dan mana yang tidak, tapi juga karena mereka acuh tak acuh. Juga pemilihan umum menyebabkan sering terjadinya pergantian, apalagi jika para pemilih menghendaki variasi kepemimpinan.
Maka, tak ada karir dalam kehidupan politik. Tak ada tradisi. Tak ada pengetahuan yang sudah dihimpun oleh satu lapisan elite untuk dialihkan ke lapisan elite yang baru. Tiap habis pemilihan akan muncul sederet Suta baru. Mereka yang karena baru menduduki posisi itu, sering terbentur-bentur, dan karena sadar mereka tak akan selama-lamanya di sana (sebagai presiden atau sebagai anggota parlemen) akhirnya tak hendak memandang jauh ke depan. Kepentingan sepihak, sezaman, separtai, menjadi lebih utama ketimbang kepentingan yang lebih luas, lebih berjangka panjang.
Tapi yang menarik dari pengamatan de Tocqueville ialah bahwa semua itu tak perlu meniadakan pentingnya demokrasi. Demokrasi penting karena ia proses belajar bersama, yang tak habis-habis—proses yang bermula dari kesadaran bahwa presiden dan para legislator bisa salah, tapi toh kita semua bisa belajar dari tiap kesalahan.
Aristokrasi mungkin akan melahirkan elite yang punya tradisi memerintah, teknokrasi mungkin mampu membentuk kelas penguasa yang cerdas dan berencana. Tapi hidup yang berubah menyebabkan tradisi dan kecerdasan itu cepat aus dan lapuk—menjadi buruk. Sebaliknya demokrasi adalah sistem yang bermula dari kesadaran bahwa yang tak sempurna tak selamanya harus dikatakan sebagai sia-sia, dan ditenggelamkan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini