Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menganggap pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih lebih baik ketimbang negara-negara lain. Hingga kemarin, rupiah melemah di atas Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Selama periode 2022 hingga hari ini, nilai tukar beberapa mata uang terhadap dolar Amerika mengalami koreksi yang sangat tajam," ujar Sri di gedung DPR, Jakarta, Kamis, 29 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah yang diperdagangkan antarbank berada di level Rp 15.247 per dolar Amerika hingga pada Kamis, 29 September 2022. Rupiah loyo dibandingkan hari sebelumnya yang berada di posisi Rp 15.243.
Sri Mulyani menjabarkan, sejak awal tahun ini hingga kemarin, yen Jepang sudah terdepresiasi 25,8 persen. Kemudian, renminbi Cina 12,9 persen dan Lira Turki mengalami depresiasi 38,6 persen terhadap mata uang dolar Amerika Serikat.
Tak berbeda dengan negara tetangga, mata uang mereka juga melemah. Ringgit Malaysia, misalnya, terdepresiasi 10,7 persen. Kemudian baht Thailand melemah 14,1 persen serta peso Filipina 15,7 persen. Di antara negara-negara itu, Sri Mulyani mengatakan depresiasi rupiah masih lebih rendah, yakni 6,1 persen.
"Dalam periode yang sama nilai tukar rupiah depresiasi 6,1 persen, jauh lebih rendah dari berbagai mata uang tadi," ujar bendahara negara.
Dengan besaran pelemahan nilai tukar tersebut, Sri Mulyani juga mengungkapkan, inflasi di negara-negara maju yang sebelumnya selalu single digit atau mendekati 0 persen dalam 40 tahun terakhir, sekarang melonjak mencapai dua digit. Bahkan, inflasi di Turki mencapai 80,2 persen dan di Argentina 78,5 persen.
Inflasi yang sangat tinggi ini mendorong bank sentral Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa lainnya menaikkan suku bunga dengan sangat agresif. Kondisi tersebut menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan arus modal keluar atau capital outflow dari negara-negara berkembang.
"Dari emerging market keluar hingga mencapai US$ 9,9 billion atau setara Rp 148,1 triliun year to date sampai dengan 22 September 2022. Hal ini menyebabkan tekanan pada nilai tukar di berbagai negara emerging," kata Sri Mulyani.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.