BICARA soal koperasi batik, seperti tak ada cerita lain, tentu kisah tentang kemalangan. Rapat tahunan anggota induk koperasinya, GKBI, yang sedianya dilangsungkan Sabtu pekan lalu, dibatalkan dengan berbagai alasan. Nur Basya, salah seorang ketua gabungan sekitar 40 koperasi batik primer itu, mengemukakan alasan, "Banyak hal belum siap - biaya rapat anggota 'kan tidak sedikit." Tapi pejabat GKBI yang lain menyatakan bahwa pembatalan rapat tersebut ada hubungannya dengan pemeriksaan Departemen Koperasi terhadap beberapa primer. Salah satu primer, kata sumber di GKBI tersebut, adalah Koperasi Mitra Batik (KMB), Tasikmalaya, Jawa Barat, yang belakangan kekisruhannya sampai masuk koran. Terjadi tuduh-menuduh mengenai siapa yang menyebabkan ambruknya usaha - yang sebenarnya juga terjadi di hampir semua primer. Di hari Koperasi, 12 Juli lalu, koperasi ini diberitakan terpaksa menjual sebagian kekayaannya untuk melunasi cicilan utangnya. Dari penjualan sebagian kekayaan koperasi itu, di antaranya "gedung bersejarah" berlantai dua, pengurus berharap bisa memperoleh uang Rp 1 milyar. Jumlah ini pun belum mencukupi mengingat utangnya kepada BNI 1946 Rp 2.271 juta. Menurut pengakuan Wiwi Nachrawi, ketua II KMB, sejak awal 1985 ini koperasi itu sesungguhnya praktis tidak bisa memenuhi kewajibannya mencicil utang. "Kami sedang memohon kepada BNI 1946 agar kami diperbolehkan menangguhkan cicilan," ujar Nachrawi. Gedung bersejarah, yang pemakaiannya diresmikan Bapak Koperasi Bung Hatta pada 6 September 1956 itu, terpaksa dijual setelah penjualan kain mori yang dihasilkan pabriknya belakangan seret. Tahun lalu, hasil penjualan kotor hanya meliputi Rp 2,9 milyar, sedangkan setiap bulan KMB harus mencicil utang pokoknya saja Rp 11 juta dan menutup biaya rutin Rp 10 juta. Sisanya kemudian digunakan membeli bahan baku. Memasuki tahun 1985, penjualan kain putih makin payah. Dari 460 anggota KMB, yang masih membatik dan membeli bahan kain dari pabrik itu hanya 10 sampai 15 orang. Tidak semua dari mereka pun mau membeli kain koperasi yang dijual Rp 23 ribu sampai Rp 25 ribu per pis. Akibatnya, dari 540 mesin, yang jalan sekarang hanya 250, dan itu pun boleh dikatakan hanya untuk melayani order. Padahal, di masa jayanya, pabrik cambrics yang didirikan dengan kredit BNI 1946 ini bisa menghasilkan kain 21 ribu pis dalam tempo 24 jam. Wajar kalau kemudian sejumlah anggota KMB dan beberapa pejabat angkat bicara. Kata Ending Machpudin, kepala kantor koperasi Kabupaten Tasikmalaya, kelumpuhan koperasi terjadi karena pengurus KMB juga merangkap manajer pabrik. Perangkapan itu dianggapnya tidak sehat. "Kalau manajemen pabrik diserahkan pada orang yang profesional, barangkali keadaannya tidak akan separah sekarang," katanya, seperti menyesali. Wiwi Nachrawi, pengurus KMB, menyangkal anggapan itu. Menurut dia, penyebab utama seretnya penjualan adalah karena pasar batik memang sedang loyo. Tidak salah memang. KMB hanya salah satu dari sekitar 40 koperasi batik primer dan 23 pabriknya yang memang payah keadaannya. Hanya pabrik penghasil bahan baku semacam PT Dan Liris di Solo, Jawa Tengah, yang punya pasar ekspor, yang sampai sekarang masih hidup dengan baik. Untuk mengatasi kesulitan semacam yang dialami KMB itu, seorang anggota koperasi menyarankan agar pabrik besar seperti Dan Liris jadi bapak angkat. Tapi, dalam keadaan pasar batik sekarang, payah juga mencari bapak angkat yang murah hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini