SEHARI sebelum TEMPO 24 Agustus beredar, dan dalam Kiat saya menulis bahwa Pepsi memang selalu memanfaatkan kesempatan untuk berbeda pendapat dengan Coca-Cola, di 25 negara Pepsi-Cola memuat iklan sehalaman dengan judul: Sebuah surat terbuka dari Pepsi kepada Coke. "Pesaing yang terhormat, marilah kita melakukan gencatan senjata hari ini saja." Begitu pembukaan surat itu. "Tentu ada saat-saat tertentu, bagi kita yang terlibat dalam Perang Cola ini, ketika kita harus melupakan sejenak segala perbedaan pendapat demi sebuah peringatan." Hari itu, di 25 hegara, Pepsi-Cola tidak hanya melancarkan iklan surat terbuka, tetapi juga menyelenggarakan konperensi pers untuk menjelaskan kepada para wartawan mengapa Coca-Cola mengubah formulanya dan bagaimana masyarakat Amerika bereaksi terhadap perubahan formula itu. Itu memang bukan gencatan senjata seperti yang dikatakan Pepsi. Mungkin malah akan memperkeras genderang perang. Apalagi karena dalam akhir surat itu Pepsi mengatakan, "Marilah kita mengangkat toast untuk perayaan ini. Anda dengan New Coke. Kami dengan Pepsi - rasa yang terlalu baik untuk kami ubah." Demikianlah persaingan dagang. Bila satu produk menghadapi kesulitan, produk yang lain akan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Tetapi, benarkah Coca-Cola sedang dalam kesulitan? Coca-Cola Classic, yaitu reinkarnasi Coca-Cola formula lama, kini telah beredar pada 80% kedai pengecer di Amerika Serikat. Dampaknya terhadap angka penjualan pun belum tampak. Siasat memasarkan dua jenis Coca-Cola ini masih akan diuji dalam bulan-bulan yang akan datang. Dan itu sepenuhnya bergantung pada selera masyarakat. Coca-Cola Sendiri belum mengubah pandangannya untuk menempatkan New Coke sebagai flagship. McDonald, penjual hamburger terbesar di dunia yang hanya menyajikan Coca-Cola di seluruh kedainya, pun tidak ragu-ragu dalam menyajikan hanya New Coke. Ia tentu akan berpendapat lain bila ternyata hal itu sudah mendampak pada penjualan hamburgernya. Penyediaan kembali Coca-Cola formula lama tampaknya hanya untuk meyakinkan konsumen bahwa perusahaan memperhatikan kehendak masyarakat. Cara pemasaran Coca-Cola Classic pun dibuat low-profile agar tak terjadi kanibalisasi terhadap New Coke. New Coke, malangnya, sejak peluncurannya April yang lalu di Amerika Serikat memang banyak mendapat publisitas buruk. Pepsi-Co bahkan tidak segan ikut meramaikan kontroversi ini dengan mengutip pendapat orang bahwa New Coke rasanya seperti Pepsi-Cola yang sudah dibuka tutupnya dan dibiarkan beberapa saat di bawah terik matahari. Para pengamat bisnis menduga bahwa kali ini Coke kejeblos dalam mempercayai hasil riset. Riset pemasaran memang ampuh tetapi manfaatnya terbatas. Riset hingga kini belum sepenuhnya dapat menggantikan fungsi naluri dan penalaran. Karena itu, riset tak bisa digunakan secara optimum tanpa mengikutsertakan kedua fungsi itu. Riset pasar dapat dengan baik menjelaskan mengapa pasar melakukan respons tertentu terhadap suatu jenis perangsangan tertentu. Tetapi, riset yang sama akan menjumpai kesulitan untuk menduga bagaimana respons pasar terhadap suatu rangsangan yang belum dilakukan. Lebih-lebih, harus diingat, dalam riset pertanyaan yang salah akan memperoleh jawaban yang salah juga. Para eksekutif di Columbia, sebuah perusahaan film, pernah melakukan riset yang menemukan kesimpulan bahwa masyarakat tidak menyukai film tentang seorang anak muda berteman dengan seorang makhluk asing yang buruk. Dan Columbia lantas kehilangan Steven Spielberg yang bersama Universal telah membuat E.T. sebuah film yang larisnya kelewatan. Tetapi, siapa tahu bahwa Coca-Cola tidak sebodoh yang kita duga? Bukan tidak mungkin bahwa semua ini merupakan skenario yang sempurna dari Coca-Cola sendiri? Seorang pembaca menulis kepada redaksi Fortune bahwa semua itu jelas pokal-nya Coca-Cola. Pertama, karena mereka ingin menarik formula lama dari pasar dan menggantikannya dengan yang baru. Bila konsumen menyukainya, mereka akan terus menggenjot produk baru ini. Kedua, kalau ternyata konsumen tidak menyukainya, mereka sudah siap untuk melakukan reintroduksi formula lama. Hasilnya? Anda sendiri sudah merasakannya. Bukan hanya iklannya saja yang besar. Media massa ribut mempersoalkan masalah ini. Tidak sedikit yang menempatkannya di halaman depan. Selama enam bulan masyarakat Amerika, juga di beberapa negara lain, terus-menerus mendengar dan membaca kontroversi tentang New Coke melalui media massa. Bayangkan, berapa harganya bila dikonversikan dalam nilai iklan? Dan untuk itu semua Coca-Cola tidak perlu menyelenggarakan konperensi pers segala. Bahkan reaksi yang dilakukan pesaingnya, Pepsi-Cola, hanya menambah bobot pembicaraan dan pemberitaan tentang Coca-Cola. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini