Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Monolog dan dialog

Budaya dialog ditancapkan raja erlangga melalui sikap teladan membagi kerajaannya dengan adil menjadi kediri dan jenggala, tapi jayabaya justru memilih budaya monolog dengan kesatuan yang kokoh.(kl)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Monolog dan dialog
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
IMPIAN Jayabaya membangun Kerajaan Kediri menjadi mata rantai utama kurun zaman di Jawa ternyata membuahkan berbagai dilema. Wasiat Erlangga untuk menghormati kedaulatan sesama saudara ternyata sulit dilaksanakan. Jayabaya menggempur Jenggala, belahan lain Kerajaan Kahuripan, yang telah dibagi dua secara adil oleh Erlangga. Semangat berbagi dan hidup penuh toleransi ternyata lebih mudah disemboyankan daripada diamalkan. Jayabaya raja perkasa. Ia memilih persatuan kembali antara Kediri dan Jenggala. Hanya dengan kesatuan yang kukuh, menurut Jayabaya, kemantapan kehidupan Kerajaan dapat dijamin. Lebih dari itu, Jayabaya merumuskan misi sucinya untuk membangun landasan budaya tanah Jawa. Cerdik pandai dan pujangga Keraton diperintahkan merumuskan pedoman hidup dan keyakinan yang harus dihayati semua kawula. Maka, Mahabarata pun disadur. Naskah itu direka-reka agar cocok dengan keadaan tanah Jawa serta mewadahi alam pikiran dan impian sang Jayabaya. Peristiwa perang saudara antara Kediri dan Jenggala itu ditulis dalam kitab Baratayudha, yang merupakan bagian inti kitab Mahabarata. Jayabaya pun dengan sigap dan tekun memasyarakatkan cerita Mahabarata versi Kediri itu. Dibuatnya wayang beber, dibibitkannya dalang-dalang pembawa narasi. Bahkan diciptakan irama tetabuhan untuk memasyarakatkan Mahabarata dan memperMahabarata-kan masyarakat. Mungkin itulah akar kebudayaan Jawa yang monolog. Tontonan narasi, memantrakan ungkapan-ungkapan bersayap dan menyakralkan pola pembagian zaman rekaan Empu Sedah dan Empu Panuluh. Sebagian besar amalan budaya monolog itu dilakukan tanpa diketahui maknanya. Cuma, semua yakin itulah yang terbaik, itulah yang paling benar, hanya karena sang Jayabaya berkata demikian. Tidaklah mengherankan bila kelak raja Kediri ini menjadi tersohor karena ramalan-ramalannya. Jongko Joyoboyo selama berabad-abad berhasil memabukkan alam pikir masyarakat Jawa, dalam sikap pasrahnya pada suratan nasib. Tidak mengherankan pula bahwa akhirnya naskah ramalan itu banyak didukuni oleh pewarta berbagai kurun, menurut selera zaman dan kepentingannya. Mendompleng wibawa Jongko Joyoboyo, untuk menjual ideologi dan gagasan kepada masyarakat yang sudah telanjur terlena oleh ramalan. Untuk mewujudkan Kediri sebagai pusat budaya Jawa, Jayabaya perlu waktu cukup untuk menyelesaikan tugas sejarahnya. Jayabaya tidak bisa dikungkung dengan sebuah bingkai waktu, sementara ia harus merampungkan tugas mewujudkan gagasan muhanya. Jayabaya merasa harus bisa menjamin kesinambungan antara tiga zaman yang diramalkannya bakal meliput kehidupan di tanah Jawa: zaman Kali Swara, zaman Kali Yoga, dan zaman Kali Sangara. Peralihan dari zaman ke zaman itu haruslah berjalan dalam suasana teratur, tenteram mengikuti irama putaran Cakra Manggilingan. Berlainan dengan Jayabaya, Erlangga mengakhiri tugas sejarahnya tanpa beban. Raja Pandita ini begitu besar percaya dirinya sehingga dengan tegar menyerahkan tongkat estafet sejarah pada penerusnya. Erlangga rupanya tidak berilusi membuat cetak biru bagi generasi tanah Jawa, zaman apa pun namanya di kemudian hari. Ia yakin, tiap generasi akan ditempa dan dibesarkan oleh tantangan zamannya. Dengan sikap teladan yang ditanamkannya, Erlangga merasa telah memenuhi panggilan sejarahnya. Tatanan masyarakat era berikutnya akan terbangup kukuh bila bertumpu pada norma dan nilai yang relevan dengan zamannya - zaman purna- Erlangga. Erlangga mengaku sepenuhnya akan hak sejarah generasi penerusnya. Bangunan kelembagaan dan teladan yang ditancapkan Raja Erlangga ialah budaya dialog, budaya berbagi, budaya saling mengakomodasi, bahkan budaya saling menghormati. Waktu raja bijaksanaini membagi kerajaannya dengan adil menjadi Kediri dan Jenggala kepada kedua keturunannya, Erlangga bereksperimen dengan bangunan kelembagaannya itu. Dengan membangun dua kedaulatan yang bersaudara, Erlangga percaya akan kemampuan keturunannya menerapkan etika dialog, budaya berbagi, dan budaya saling mengakomodasi. Ideologi Erlangga rupanya berangkat dari sebuah keyakinan budaya. Perbedaan pendapat mengenai soal kenegaraan, pemerintahan, bahkan kemasyarakatan, merupakan bagian sah dinamika kebudayaan mana pun. Karena itu, perlu dilembagakan kemampuan dan etika membangun konsensus guna mengatasi konflik. Alangkah berat beban penyelenggaraan negara dan mereka yang peduli pada konduk kenegaraan bila konflik selalu diselesaikan dengan sikap budaya "lni dadaku. Mana dadamu". Alangkah pedihnya bila lembaga penyelesaian untuk pendapat berbeda adalah medan sengketa. Kenapa mesti kehormatan, harga diri bahkan jiwa dan Paga taruhannya, bila itu bisa diselesalkan dengan dialog, atas dasar semangat saling mengakomodasi, saling menghargai, dan saling mengakui wilayah kedaulatan, untuk akhirnya sampai pada konsensus? Bukankah itu gejala keterbelakangan budaya? Monolog dan dialog adalah dua alur budaya pilihan. Jayabaya memilih monolog. Erlangga rupanya memilih dialog. Anda memilih yang mana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus