DIR-UT Garuda Wiweko Supono tak bersedia diwawancarai. Juga
pimpinan Garuda yang lain. Tapi dalam kesibukan krisis pekan
lalu Sugiri, Dirjen Perhubungan Udara, sempat meluangkan waktu
untuk sebuah tanya-jawab dengan wartawan TEMPO, A. Margana.
Sugiri, 51, perwira tinggi TNI-AU, bekas Sekretaris Militer
Presiden diangkat sebagai Dirjen menggantikan Marsekal Muda
Kardono, sejak Juli 1979. Berikut ini petikan wawancara itu.
Sejauh apa kemajuan yang dicapai Garuda?
Kebutuhan masyarakat akan angkutan udara dipenuhi Garuda dengan
menambah sebanyak mungkin jumlah pesawat. Frekuensi penerbangan
selalu ditambah mengikuti kebutuhan masyarakat. Contohnya.
Sekiranya Garuda tak dapat mengembangkan armadanya, penerbangan
Jakarta-Surabaya tak bisa dilakukan 10 kali sehari, dan
Jakarta-Medan 5 kali sehari, seperti sekarang.
Untuk itu, Garuda berusaha menekan cost (biaya). Dalam hal ini,
kalau diminta gaji crew sama dengan penerbang asing, jelas tidak
mungkin. Di samping untuk mengembangkan armada sendiri, juga
untuk menjaga keseimbangan di dalam negeri. Warga Garuda tak
lepas dari masyarakat Indonesia.
Yang dipermasalahkan karyawan 'kan bukan besarnya gaji, tapi
struktur dan sistem penggajian.
Tidak benar demikian. Menurut yang mereka ajukan tertulis,
mereka minta gaji pokok diselaraskan dengan pegawai negeri, tapi
tunjangannya sebesar Garuda sekarang. Hasilnya akan besar
sekali. Jadi yang mereka kemukakan di depan umum untuk menarik
simpati, tidak sama dengan apa yang tertulis.
Lalu bagaimana mengatasi tuntutan karyawan untuk perbaikan
struktur gaji yang kelihatannya akan diperjuangkan terus?
Kalau masalah kesejahteraan, setiap kali sudah dipertimbangkan.
Setiap tahun ada perhitungan dan pengkajian. Sehingga setiap
tahun ada kenaikan. Sebelum ada gaji ke-13 pegawai negeri,
karyawan Garuda sudah mengenal yang namanya "uang bangku" --
maksimum Rp 100 ribu untuk membantu anak-anak mereka yang
bersekolah. Kalau ini disangkal, 'kan tidak wajar?
Para karyawan menilai, pimpinan Garuda menganut sistem "habis
manis sepah dibuang". Setelah tak bekerja, mereka hanya dapat
imbalan sangat kecil. Mereka minta perbaikan.
Kenapa tak diungkapkan, bahwa mereka setelah 20 tahun bekerja
mendapat tunai Rp 3 juta. Dengan pemikiran pimpinan Garuda,
mereka melakukan deposito. Ini tak perlu diambil karena mereka
masih bekerja 5 tahun kemudian. Diperhitungkan, setelah 5 tahun
itu, mereka akan mendapat lagi Rp 6 juta. Jadi kalau Rp 3 juta
didepositokan, 5 tahun kemudian diakumulasi, jadi Rp 5,5 juta,
ditambah Rp 6 juta, jadi Rp 11,5 juta.
Itu didepositokan lagi, dengan mendapat Rp 100.000 Iebih tiap
bulan. Kalau mereka masih bekerja 5 tahun, mereka mendapat Rp 6
juta lagi dari Garuda. Jumlahnya bisa menjadi hampir Rp 22 juta,
bila diakumulasikan dengan bunga. Jadi karyawan Garuda pada saat
itu kalau sudah tak bekerja lagi sudah punya Rp 22 juta. Ini
'kan menguntungkan? Kenapa ini tak pcrnah dikemukakan oleh
mereka?
Sampai sekarang, para pilot yang dipecat belum tahu pasti apa
alasan pemecatan itu. Apa sebenarnya?
Tindakan indisipliner. Kalau kita penerbang hendaknya kita
bekerja dan berperilaku sebagai penerbang. Tidak bertindak atau
berpikir sebagai anggota direksi, mau ikut mengatur sistem
manajemen dan sebagainya. Masing-masing punya peran sendiri
sesuai dengan kedudukannya. Kalau di kalangan pers para wartawan
minta ikut menentukan policy direksi bagaimana?
Dalam menyelesaikan soal tuntutan karyawan sudah dibentuk
Panitia Lima. Apa hasilnya?
Mereka mengajukan saran tertulis. Tapi tidak bisa mereka
memaksakan agar seluruh sarannya diterima. Siapa saja tidak bisa
main paksa. Saran yang diterima, diproses dan tuntutan mereka
akan ditanggapi kalau sudah siap semuanya. Ini makan waktu. Tak
bisa siap satu atau dua minggu.
Manajemen sekarang dilahirkan dan dipimpin oleh Wiweko. Apakah
aksi para pilot itu dinilai ke arah penggantian Wiweko?
Pada akhirnya, kalau kita analisa, arahnya ke sana. Ini yang
tidak benar. Mereka tidak menyadari. Seandainya Garuda tidak
dikelola menurut policy yang dijalankan Wiweko sekarang,
anak-anak itu belum akan jadi penerbang Garuda. Sebab seandainya
demikian, kemajuan Garuda tak akan sepesat sekarang, tak akan
bisa memiliki 430 penerbang. Paling cuma butuh 200 penerbang.
Karena armada jadi sebesar sekarang, pilot-pilot itu diambil,
dididik diberi kesempatan belajar, dibiayai Garuda, dijadikan
penerbang dengan fasilitas seperti itu. Kalau mereka mau
pembayaran yang besar, mungkin Garuda tak berkembang seperti
sekarang.
Atau kalau itu yang kini dituntut, oke. Tapi Garuda harus
menjual pesawat lagi. Kalau F-28 misalnya dijual lagi, berapa
tenaga harus dihentikan.
Penyelesaian yang dilakukan sekarang, akan bisa tuntas?
Kalau mereka berpendirian seperti sekarang, ya memang belum.
Yang kita harapkan, mereka sadar. Lihat penerbang TNI-AU. Mereka
setiap saat sanggup terbang untuk apa saja. Menghadapi perang
pun siap. Kalau seorang penerbang menghadapi persoalan kecil
saja sudah tidak siap mental, mau apa lagi? Prajurit tak ada
yang mengatakan, saya belum siap mati, pak.
Kenapa pihak Direksi Garuda selama ini hanya diam?
Pepatah Belanda mengatakan, bicara adalah perak, diam adalah
emas. Selama ini direksi Garuda memang tak banyak bicara, tidak
memberi penjelasan mengenai manajemen dan perkembangan
perusahaan. Tapi di sini yang berlaku rupanya "Kecap nomor satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini