Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Rektor: ya sulit ya tidak

Wawancara dengan rektor ui prof. mahar mardjono tentang kepemimpinannya di ui, masalah pergolakan mahasiswa pengaruh sebagai rektor terhadap kehidupan keluarga, dst. (pdk)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

. . . Seorang rektor UI dituntut untuk menjadi administrator, diplomat, budayawan, perunding, dan dalam batas-batas tertentu terpaksa pula 'perantara politik' antara dunia kampus yang harus dijaganya dengan dunia politik nasional . . . (Dr. Juwono Sudarsono dalam Simposium 'Masyarakat dan Universitas Indonesia', Jumat pekan lalu). TAWA gegap-gempita meledak di lapangan bola Gelanggang Olahraga Sumantri Brojonegoro, ketika Prof. Dr. Mahar Mardjon jatuh terjegal lawannya. Selasa sore pekan lalu itu ada pertandingan bola UI melawan PARFI. Menyambut Dies Natalis Universitas Indonesia ke-30, ILUNI (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia) sejak Rabu pekan lalu memang mengadakan berbagai acara -- antara lain pekan olahraga, simposium, pameran foto -- sebelum puncak acara dies dengan pidato Rektor UI Sabtu 9 Februari. Bisa dipaham, sejak akhir Januari sampai minggu pertama Februari banyak hal yang membuat Prof. Mahar (Rektor UI sejak 5 Desember 1973) punya tambahan kesibukan. Sebagai pemimpin salah satu universitas kita yang selalu "bersuara", orang Jawa Timur yang lahir di Semarang ini -- 57 tahun lalu memang tak sepi dari masalah. Prof. Mahar, selama 6 tahun menjabat rektor, masa apakah yang anda anggap sebagai masa yang berat? Saya itu jadi orang kalau menghadapi masalah sulit kok malah senang. Bagaimana, ya? Mula-mula saya juga nggak sadar. Baru ketika orang-orang sekitar saya bilang ada kesulitan, saya kok malah gembira. Baru saya tahu. Tapi dianggap dari umum, masalah berat ialah kalau ada pertentangan antara universitas dengan pemerintah. Hasilnya waktu 'Malari' dulu. 'Malari', peristiwa 15 Januari 1974 -- dengan para mahasiswa yang turun ke jalan dan huru-hara yang timbul berbarengan -- memang mengakibatkan hal yang tak enak bagi UI. Seorang mahasiswa meninggal. Yang lain, bersama beberapa staf pengajar, ditahan. Dan tahun itu UI tak merayakan dies natalisnya, meski wisuda sarjana baru terap dilaksanakan. Jadi masalah mahasiswa anda anggap paling berat? Mahasiswa resah, itu kata orang luar. Orang yang tak pernah jadi mahasiswa tak akan mengerti bahwa itu inherent dengan kehidupan mahasiswa. Apalagi di Indonesia, yang tradisi mahasiswanya dari dulu selalu bergejolak. Buat saya yang berat, selalu saya itu dituduh menghasut atau mengipas mahasiswa. Seolah-olah UI menjadi oponen pemerintah. Itu berat buat saya, sebab kenyataannya tidak begitu. Justru kita itu sebagai pendidik harus mengerti. Bagaimana cara saya men-tackle itu tak selalu cocok dengan policy pemerintah, tapi tujuannya 'kan membantu pemerintah. Tapi sebetulnya berat sekali, ya tidak. Kalau dibanding universitas lain, kok saya' jadi malu. Sarana pendidikan di universitas kurang, itu hal yang berat sekali. Kalau UI mendapat 300 ribu buku misalnya, mungkin universitas lain kanya 10 ribu atau 50 ribu. Jadi soal berat itu relatif sekali. Saya tidak boleh mengeluh. Prof. Slamet Iman Santoso, alumnus tertua UI dan beberapa kali duduk sebagai pembantu rektor, menganggap Mahar sebagai Rektor UI (ke-7) yang paling banyak menghadapi pergolakan mahasiswa. Dan sampai dies UI ke-30 ini ia menilai kepemimpinan Mahar berhasil mengatasi pergolakan tersebut. Bekas Menteri P & K dr. Sjarif Thajeb, yang melantik Prof. Mahar sebagai Rektor UI untuk periode kedua (9 Januari 1978) pun mengakui keberhasilannya. Terutama karena "Pak Mahar dekat dengan staf pengajar dan mahasiswanya." Lantas ke atas, dengan pemerintah? "Rektor 'kan Presiden yang mengangkat. Sudah selayaknya kalau sudah diangkat artinya pemerintah percaya kepadanya. Dia 'kan wakil pemerintah di universitas." Juga Kepala Tata Usaha Sekretariat Rektorat UI, Dra. Mimi Pandam Guritno, menilai Prof. Mahar "lebih dekat kepada mahasiswa dibanding dua rektor yang mendahuluinya. Sedang Dekan Fak. Psikologi, Dr. Ny. Saparinah Sadli, menghargai pribadi Mahar yang sangat terbuka dan bukan seorang yang lekas mengadakan defensif. "Dia bukan seorang yang harus ditebak-tebak," katanya kepada wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi. Mahasiswa UI agaknya memang menaruh kepercayaan besar terhadap Mahar, rektornya. Lukman Hakim, bekas ketua DM-UI, berkomentar "Dia berhasil menjaga keseimbangan. Sebagai wakil pemerintah dan sebagai pendidik, peranannya sering berbenturan." Bahkan Biner Tobing, mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial yang ikut diskors dalam kasus Trienneal Intervarsity Games tahun lalu, menerima skors dengan penuh pengertian "sulitnya posisi Pak Mahar." Soal sulitnya kedudukan rektor dalam mengendalikan universitasnya, Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja punya cerita sendiri. Tujuh tahun (1969-76) menjadi rektor Institut Teknologi Bandung, dia menyimpulkan "Dalam situasi banyak keresahan dalam masyarakat, sering mahasiswa terdorong menyatakan pendapat." Kepada mahasiswa, Doddy yang kini Dirjen Pendidikan Tinggi itu selalu mengharapkan adanya "cara-cara ekspresi yang sejauh mungkin sesuai dengan hakekat perguruan tinggi." Sebaliknya, kepada pemerintah atau siapa saja yang kebetulan lagi kena sasaran, dimohon pengertian bahwa "Pendapat mahasiswa yang seharusnya dinyatakan dalam forum ilmiah itu, memang seringkali terjatuh dalam cara-cara (mungkin karena tak terkontrol) yang menyinggung perasaan. Padahal maksudnya bukan begit." "Kalau terjadi kesalahpahaman antam uniersitas dengan pemerintah, itu masalah berat bagi seorang rektor," katanya. Agaknya posisi rektor kini memang trrcabik-cabik antara "dua kutub". Seperti kata Mahmud Zakky M.Sc., Rektor Institut Teknologi Surabaya "Rektor harus melaksanakan peraturan atasan, dan mengayomi mahasiswa." Dan itu "sulit, ya sulit. Tidak, ya tidak," tambahnya -- sambil mengerutkan dahi. Tapi bagi Rektor Universitas Gajah Mada, terjepit atau tidaknya posisi rektor, "saya rasa cuma situasi sesaat saja." Tak dijelaskannya apa yang dimaksud. Sebagai rektor UI yang sering menghadapi pergolakan mahasiswa, apa yang anda harap dari pemerintah? Saya ingin saya ini dipercaya. Ini akan melancarkan kerja. Percaya itu artinya 100% -- apa pun yang terjadi. Jangan lupa, di negara berkembang banyak yang tak beres. Yang dianggap mahasiswa di matanya tak beres, itu mereka lawan, supaya beres. Apakah itu lalu langsung mencap pemerintah tidak beres, ya, tidak. O, ya, sembari mengelola UI, Prof. Mahar ternyata masih sempat praktek dokter. Selama 23 tahun ia dokter ahli neurologi di RS St. Carolus. "Kalau mau praktek di mana-mana, bisa juga. Tapi ini hanya untuk bisa hidup wajar saja," katanya. Gajinya sendiri di UI Rp 220 ribu plus tunjangan jabatan Rp 100 ribu. Putranya tiga orang, semuanya belum mentas. "Sebagai dosen, sebagai guru, benar-benar dedikasi dibutuhkan. Seharusnya gaji guru yang paling besar." Karena itu dia cukup paham kalau staf pengajarnya juga bekerja rangkap. Dan itu pula sebabnya Rektor UI ini susah ditemui di rumahnya di Kebayoran Baru. Acara rutinnya dimulai bangun pagi pukul lima atau paling lambat setengah enam. Lantas lari-lari kecil bersama istri keliling daerah seputar tempat tinggal mereka. Dulu juga suka menunggang kuda dan golf. Yang sempat sekali-sekali dilakukan, sekarang, hanya yang kedua itu. Pukul 06.30 telah siap makan pagi beramai-ramai -- termasuk Ari, putra pertama, mahasiswa antropologi Universitas Pajajaran Bandung yang kini sedang mengikuti kuliah di UI. Pukul 06.50 siap dengan tas hitam, langsung menuju mobil yang sudah di halaman. Dengan kemeja lengan pendek putih dan celana abu-abu, ia nampak rapi dan bersih. Pukul 07.30 mobil Prof. Mahar memasuki halaman RS St. Carolus. Tepat di depan pintu ruang kerjanya, mobil berhenti. Dengan langkah tegap dan cepat langsung menuju bagian penyakit saraf, sambll menyapa para perawat di situ. Begitu duduk di meja kerjanya para perawat pembantunya sibuk menyodorkan map-map laporan perkembangan kesehatan pasien yang terpaksa mondok, yang menjadi tanggungjawabnya. Prof. Mahar membaca semuanya. Lalu berkeliling memeriksa para pasien dan omong-omong seperlunya. Kadang berjabat tangan, kadang menyuntik. Setelah setengah jam, dan setelah mengisi absensi, Prof. Mahar cepat-cepat menuju ke mobil. "Pokoknya kalau sama Pak Mahar harus serba cepat. Ya, jalannya, ya periksanya, ya ngomongnya," kata Suster Tiurma, pembantunya. Menurut Ny. Mahar, kebiasaan Pak Mahar menengok pasien yang mondok di rumah sakit sudah sejak dulu -- sejak 23 tahun yang lalu. Jika pagi tak semplt, slang sepulang dari UI. Dan jika siang pun tak sempat, malam harinya sesudah praktek di situ. Untung jarak antara RS St. Carolus dengan kampus UI Salemba boleh dibilang tinggal dilangkahi. Pukul 08.00 mobil telah memasuki halaman UI. Dengan lift menuju lantai III. Ny. Mimi Pandam Guritno menyapanya dan menyodorkan surat-surat yang harus diperiksa. Ruang kerja rektor cukup lapang, dilengkapi satu set kursi duduk, sebuah meja tulis panjang dan sebuah lemari kaca yang penuh vandel. Meja tulisnya penuh buku kedokteran, map dan surat-surat. Begitu duduk lantas ditaruhnya cerutu cap Panher bikinan Yogya di meja tulisnya. Dan tak lama kemudian asap mengepul. "Sehari biasanya habis satu pak: Tapi kalau sedang sibuk, menulis, misalnya, lusa dua pak," katanya. Di kantor UI resminya sampai pukul 14.00. Tapi kalau ada rapat bisa mundur sampai pukul 16.00. Jadi kalau sibuk, dia tak sempat pulang -- langsung kembali ke St. Carolus, praktek. Biasanya tiba di rumah pukul 22.00, lantas makan malam. Sesudah itu membaca buku atau membuat pidato -- kalau ada acara yang memintanya menyambut. Pukul 01.00 tidur, bangun pukul 05.00. Dan mulai kembalilah acara rutinnya. Adakah pengaruh diangkatnya anda sebagai rektor terhadap kehidupan keluarga? Anak-anak saya suka marah kalau saya cerita kehiduhan pribadi keluarga saya. Anak pertama saya, Ari, nggak mau masuk UI. Kenapa? "Nanti kalau ada apa-apa, saya diskors, jawabnya. Tapi dia dulu ikut ujian masuk -- dan diterima. Katanya hanya untuk menunjukkan bahwa dia pun bisa. Padahal sudah diterima di Unpad. Anak saya yang nomor dua, Ira sekarang baru kelas tiga SMA, juga tak mau masuk UI. Katanya suka diejek teman-temannya ah, kau nggak usah ujian, langsung masuk saja. Malah katanya "rektornya sudah mentraktir dekan-dekannya supaya dia diterima." Anak itu agak bingung rupanya. Anak-anaknya, menurut Mahar. sebenarnya tak menyukai ayahnya jadi rektor. Mereka merasakan adanya tekanan sosial akibat jabatan ayahnya. Mereka agaknya juga tak ingin menjadi dokter seperti sang ayah. Ari kuliah di antropologi, Ira bercita-cita jadi arsitek dan Adi, si bungsu, kepingin jadi psikolog. Keluarga ini menyukai rekreasi piknik atau nonton film bersama. Prof. Mahar sendiri senang film perang, detektif atau koboi. Juga suka membaca buku saku. Orang yang nampaknya pendiam tapi tidak kaku ini, menyukai ikan dan udang goreng. Resminya Mahar masih akan memegang kepemimpinan UI dua tahun lagi. Menurut anda bagaimana sebetulnya rektor yang ideal itu? Universitas itu memerlukan seorang yang tidak takut tekanan. Yang leluasa, tapi juga tahu diri. Kalau orangnya ternyata mengacaukan pemerintah, ya, sebaiknya diganti Kalau sudah dipilih menjadi rektor yang dipercayai, dia supaya lebih mengembangkan ideide. Kalau membahayakan pemerintah, ya, pecat saja. Lalu apa yang anda harapkan dari sebuah universitas? Universitas itu asing, zaman Majapahit kita 'kan nggak punya universitas. Jadi masalahnya bagaimana universitas dapat menjadi bagian dari masyarakat kita. Harus mementingkan kebutuhan masyarakatnya. Tak hanya menghasilkan elite yang terasing, yang tak bisa menyesuaikan diri, yang hanya mau hidup di kota besar. Yang saya rasakan kurang, kita ini sudah lebih 30 tahun kok masih melarat saja. Masih ada ketidakadilan. hlosok universitas tak bisa menolong itu. Nah, 'kan saya jadi mikir kita yang dianggap intelektual apa tidak bisa memperkembangkan negara dan bangsa? Bukan membangun gedung-gedung. Tapi membangun manusianya. Itulah yang diimpikannya se|ak dia diangkat menggantikan Prof. Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro almarhum. Caranya menyiapkan satu pola pendidikan yang multi disipliner. Agar sarjana UI mempunyai wawasan luas, tak hanya tahu profesi. "Artinya universitas tak hanya memproduksi tukang-tukang saja. Misalnya dokter, ya yang tahu juga masalah sosial-budaya." Untuk latihannya ada beberapa pusat di UI: Pusat Pengembangan Pedesaan, Pusat Studi Lingkungan, Lembaga Demografi. Tapi itu baru usaha. Mahar sendiri belum yakin apakah semua itu bisa membentuk lulusan yang dicita-citakan. "Idealnya harus kerjasama dengan pemerintah. Misalnya, mengapa hanya dokter saja yang dikenakan wajib kerja. Saya pikir insinyur lebih penting," tambahnya. Dengan dahinya yang lebar, rambutnya yang sudah dua warna, wajahnya yang nampak selalu netral, memang Mahar memiliki sikap tenang seorang dokter: meyakinkan pasien bahwa penyakitnya hanya ringan saja. Sikapnya ini mungkln yang menolongnya membawa UI melewati berbagai kemelut. Tapi satu lagi tantangan masih dihadapinya dalam waktu-waktu dekat ini: masalah NKK/BKK belum selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus