. . . Seorang rektor UI dituntut untuk menjadi administrator,
diplomat, budayawan, perunding, dan dalam batas-batas tertentu
terpaksa pula 'perantara politik' antara dunia kampus yang
harus dijaganya dengan dunia politik nasional . . .
(Dr. Juwono Sudarsono dalam Simposium 'Masyarakat dan
Universitas Indonesia', Jumat pekan lalu).
TAWA gegap-gempita meledak di lapangan bola Gelanggang Olahraga
Sumantri Brojonegoro, ketika Prof. Dr. Mahar Mardjon jatuh
terjegal lawannya. Selasa sore pekan lalu itu ada pertandingan
bola UI melawan PARFI. Menyambut Dies Natalis Universitas
Indonesia ke-30, ILUNI (Ikatan Lulusan Universitas Indonesia)
sejak Rabu pekan lalu memang mengadakan berbagai acara -- antara
lain pekan olahraga, simposium, pameran foto -- sebelum puncak
acara dies dengan pidato Rektor UI Sabtu 9 Februari.
Bisa dipaham, sejak akhir Januari sampai minggu pertama Februari
banyak hal yang membuat Prof. Mahar (Rektor UI sejak 5 Desember
1973) punya tambahan kesibukan. Sebagai pemimpin salah satu
universitas kita yang selalu "bersuara", orang Jawa Timur yang
lahir di Semarang ini -- 57 tahun lalu memang tak sepi dari
masalah.
Prof. Mahar, selama 6 tahun menjabat rektor, masa apakah yang
anda anggap sebagai masa yang berat?
Saya itu jadi orang kalau menghadapi masalah sulit kok malah
senang. Bagaimana, ya? Mula-mula saya juga nggak sadar. Baru
ketika orang-orang sekitar saya bilang ada kesulitan, saya kok
malah gembira. Baru saya tahu. Tapi dianggap dari umum, masalah
berat ialah kalau ada pertentangan antara universitas dengan
pemerintah. Hasilnya waktu 'Malari' dulu.
'Malari', peristiwa 15 Januari 1974 -- dengan para mahasiswa
yang turun ke jalan dan huru-hara yang timbul berbarengan --
memang mengakibatkan hal yang tak enak bagi UI. Seorang
mahasiswa meninggal. Yang lain, bersama beberapa staf pengajar,
ditahan. Dan tahun itu UI tak merayakan dies natalisnya, meski
wisuda sarjana baru terap dilaksanakan.
Jadi masalah mahasiswa anda anggap paling berat?
Mahasiswa resah, itu kata orang luar. Orang yang tak pernah jadi
mahasiswa tak akan mengerti bahwa itu inherent dengan kehidupan
mahasiswa. Apalagi di Indonesia, yang tradisi mahasiswanya dari
dulu selalu bergejolak.
Buat saya yang berat, selalu saya itu dituduh menghasut atau
mengipas mahasiswa. Seolah-olah UI menjadi oponen pemerintah.
Itu berat buat saya, sebab kenyataannya tidak begitu. Justru
kita itu sebagai pendidik harus mengerti. Bagaimana cara saya
men-tackle itu tak selalu cocok dengan policy pemerintah, tapi
tujuannya 'kan membantu pemerintah.
Tapi sebetulnya berat sekali, ya tidak. Kalau dibanding
universitas lain, kok saya' jadi malu. Sarana pendidikan di
universitas kurang, itu hal yang berat sekali. Kalau UI mendapat
300 ribu buku misalnya, mungkin universitas lain kanya 10 ribu
atau 50 ribu. Jadi soal berat itu relatif sekali. Saya tidak
boleh mengeluh.
Prof. Slamet Iman Santoso, alumnus tertua UI dan beberapa kali
duduk sebagai pembantu rektor, menganggap Mahar sebagai Rektor
UI (ke-7) yang paling banyak menghadapi pergolakan mahasiswa.
Dan sampai dies UI ke-30 ini ia menilai kepemimpinan Mahar
berhasil mengatasi pergolakan tersebut.
Bekas Menteri P & K dr. Sjarif Thajeb, yang melantik Prof. Mahar
sebagai Rektor UI untuk periode kedua (9 Januari 1978) pun
mengakui keberhasilannya. Terutama karena "Pak Mahar dekat
dengan staf pengajar dan mahasiswanya." Lantas ke atas, dengan
pemerintah? "Rektor 'kan Presiden yang mengangkat. Sudah
selayaknya kalau sudah diangkat artinya pemerintah percaya
kepadanya. Dia 'kan wakil pemerintah di universitas."
Juga Kepala Tata Usaha Sekretariat Rektorat UI, Dra. Mimi
Pandam Guritno, menilai Prof. Mahar "lebih dekat kepada
mahasiswa dibanding dua rektor yang mendahuluinya. Sedang Dekan
Fak. Psikologi, Dr. Ny. Saparinah Sadli, menghargai pribadi
Mahar yang sangat terbuka dan bukan seorang yang lekas
mengadakan defensif. "Dia bukan seorang yang harus
ditebak-tebak," katanya kepada wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi.
Mahasiswa UI agaknya memang menaruh kepercayaan besar terhadap
Mahar, rektornya. Lukman Hakim, bekas ketua DM-UI, berkomentar
"Dia berhasil menjaga keseimbangan. Sebagai wakil pemerintah dan
sebagai pendidik, peranannya sering berbenturan." Bahkan Biner
Tobing, mahasiswa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial yang ikut diskors
dalam kasus Trienneal Intervarsity Games tahun lalu, menerima
skors dengan penuh pengertian "sulitnya posisi Pak Mahar."
Soal sulitnya kedudukan rektor dalam mengendalikan
universitasnya, Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja punya cerita
sendiri. Tujuh tahun (1969-76) menjadi rektor Institut Teknologi
Bandung, dia menyimpulkan "Dalam situasi banyak keresahan dalam
masyarakat, sering mahasiswa terdorong menyatakan pendapat."
Kepada mahasiswa, Doddy yang kini Dirjen Pendidikan Tinggi itu
selalu mengharapkan adanya "cara-cara ekspresi yang sejauh
mungkin sesuai dengan hakekat perguruan tinggi."
Sebaliknya, kepada pemerintah atau siapa saja yang kebetulan
lagi kena sasaran, dimohon pengertian bahwa "Pendapat mahasiswa
yang seharusnya dinyatakan dalam forum ilmiah itu, memang
seringkali terjatuh dalam cara-cara (mungkin karena tak
terkontrol) yang menyinggung perasaan. Padahal maksudnya bukan
begit."
"Kalau terjadi kesalahpahaman antam uniersitas dengan
pemerintah, itu masalah berat bagi seorang rektor," katanya.
Agaknya posisi rektor kini memang trrcabik-cabik antara "dua
kutub". Seperti kata Mahmud Zakky M.Sc., Rektor Institut
Teknologi Surabaya "Rektor harus melaksanakan peraturan atasan,
dan mengayomi mahasiswa." Dan itu "sulit, ya sulit. Tidak, ya
tidak," tambahnya -- sambil mengerutkan dahi.
Tapi bagi Rektor Universitas Gajah Mada, terjepit atau tidaknya
posisi rektor, "saya rasa cuma situasi sesaat saja." Tak
dijelaskannya apa yang dimaksud.
Sebagai rektor UI yang sering menghadapi pergolakan mahasiswa,
apa yang anda harap dari pemerintah?
Saya ingin saya ini dipercaya. Ini akan melancarkan kerja.
Percaya itu artinya 100% -- apa pun yang terjadi. Jangan lupa,
di negara berkembang banyak yang tak beres. Yang dianggap
mahasiswa di matanya tak beres, itu mereka lawan, supaya beres.
Apakah itu lalu langsung mencap pemerintah tidak beres, ya,
tidak.
O, ya, sembari mengelola UI, Prof. Mahar ternyata masih sempat
praktek dokter. Selama 23 tahun ia dokter ahli neurologi di RS
St. Carolus. "Kalau mau praktek di mana-mana, bisa juga. Tapi
ini hanya untuk bisa hidup wajar saja," katanya. Gajinya sendiri
di UI Rp 220 ribu plus tunjangan jabatan Rp 100 ribu. Putranya
tiga orang, semuanya belum mentas. "Sebagai dosen, sebagai guru,
benar-benar dedikasi dibutuhkan. Seharusnya gaji guru yang
paling besar." Karena itu dia cukup paham kalau staf pengajarnya
juga bekerja rangkap.
Dan itu pula sebabnya Rektor UI ini susah ditemui di rumahnya di
Kebayoran Baru. Acara rutinnya dimulai bangun pagi pukul lima
atau paling lambat setengah enam. Lantas lari-lari kecil bersama
istri keliling daerah seputar tempat tinggal mereka. Dulu juga
suka menunggang kuda dan golf. Yang sempat sekali-sekali
dilakukan, sekarang, hanya yang kedua itu. Pukul 06.30 telah
siap makan pagi beramai-ramai -- termasuk Ari, putra pertama,
mahasiswa antropologi Universitas Pajajaran Bandung yang kini
sedang mengikuti kuliah di UI.
Pukul 06.50 siap dengan tas hitam, langsung menuju mobil yang
sudah di halaman. Dengan kemeja lengan pendek putih dan celana
abu-abu, ia nampak rapi dan bersih.
Pukul 07.30 mobil Prof. Mahar memasuki halaman RS St. Carolus.
Tepat di depan pintu ruang kerjanya, mobil berhenti. Dengan
langkah tegap dan cepat langsung menuju bagian penyakit saraf,
sambll menyapa para perawat di situ. Begitu duduk di meja
kerjanya para perawat pembantunya sibuk menyodorkan map-map
laporan perkembangan kesehatan pasien yang terpaksa mondok, yang
menjadi tanggungjawabnya. Prof. Mahar membaca semuanya.
Lalu berkeliling memeriksa para pasien dan omong-omong
seperlunya. Kadang berjabat tangan, kadang menyuntik. Setelah
setengah jam, dan setelah mengisi absensi, Prof. Mahar
cepat-cepat menuju ke mobil. "Pokoknya kalau sama Pak Mahar
harus serba cepat. Ya, jalannya, ya periksanya, ya ngomongnya,"
kata Suster Tiurma, pembantunya.
Menurut Ny. Mahar, kebiasaan Pak Mahar menengok pasien yang
mondok di rumah sakit sudah sejak dulu -- sejak 23 tahun yang
lalu. Jika pagi tak semplt, slang sepulang dari UI. Dan jika
siang pun tak sempat, malam harinya sesudah praktek di situ.
Untung jarak antara RS St. Carolus dengan kampus UI Salemba
boleh dibilang tinggal dilangkahi. Pukul 08.00 mobil telah
memasuki halaman UI. Dengan lift menuju lantai III. Ny. Mimi
Pandam Guritno menyapanya dan menyodorkan surat-surat yang harus
diperiksa. Ruang kerja rektor cukup lapang, dilengkapi satu set
kursi duduk, sebuah meja tulis panjang dan sebuah lemari kaca
yang penuh vandel. Meja tulisnya penuh buku kedokteran, map dan
surat-surat. Begitu duduk lantas ditaruhnya cerutu cap Panher
bikinan Yogya di meja tulisnya. Dan tak lama kemudian asap
mengepul. "Sehari biasanya habis satu pak: Tapi kalau sedang
sibuk, menulis, misalnya, lusa dua pak," katanya.
Di kantor UI resminya sampai pukul 14.00. Tapi kalau ada rapat
bisa mundur sampai pukul 16.00. Jadi kalau sibuk, dia tak sempat
pulang -- langsung kembali ke St. Carolus, praktek. Biasanya
tiba di rumah pukul 22.00, lantas makan malam.
Sesudah itu membaca buku atau membuat pidato -- kalau ada acara
yang memintanya menyambut. Pukul 01.00 tidur, bangun pukul
05.00. Dan mulai kembalilah acara rutinnya.
Adakah pengaruh diangkatnya anda sebagai rektor terhadap
kehidupan keluarga?
Anak-anak saya suka marah kalau saya cerita kehiduhan pribadi
keluarga saya. Anak pertama saya, Ari, nggak mau masuk UI.
Kenapa? "Nanti kalau ada apa-apa, saya diskors, jawabnya. Tapi
dia dulu ikut ujian masuk -- dan diterima. Katanya hanya untuk
menunjukkan bahwa dia pun bisa. Padahal sudah diterima di
Unpad. Anak saya yang nomor dua, Ira sekarang baru kelas tiga
SMA, juga tak mau masuk UI. Katanya suka diejek teman-temannya
ah, kau nggak usah ujian, langsung masuk saja. Malah katanya
"rektornya sudah mentraktir dekan-dekannya supaya dia diterima."
Anak itu agak bingung rupanya.
Anak-anaknya, menurut Mahar. sebenarnya tak menyukai ayahnya
jadi rektor. Mereka merasakan adanya tekanan sosial akibat
jabatan ayahnya. Mereka agaknya juga tak ingin menjadi dokter
seperti sang ayah. Ari kuliah di antropologi, Ira bercita-cita
jadi arsitek dan Adi, si bungsu, kepingin jadi psikolog.
Keluarga ini menyukai rekreasi piknik atau nonton film bersama.
Prof. Mahar sendiri senang film perang, detektif atau koboi.
Juga suka membaca buku saku. Orang yang nampaknya pendiam tapi
tidak kaku ini, menyukai ikan dan udang goreng.
Resminya Mahar masih akan memegang kepemimpinan UI dua tahun
lagi.
Menurut anda bagaimana sebetulnya rektor yang ideal itu?
Universitas itu memerlukan seorang yang tidak takut tekanan.
Yang leluasa, tapi juga tahu diri. Kalau orangnya ternyata
mengacaukan pemerintah, ya, sebaiknya diganti Kalau sudah
dipilih menjadi rektor yang dipercayai, dia supaya lebih
mengembangkan ideide. Kalau membahayakan pemerintah, ya, pecat
saja.
Lalu apa yang anda harapkan dari sebuah universitas?
Universitas itu asing, zaman Majapahit kita 'kan nggak punya
universitas. Jadi masalahnya bagaimana universitas dapat menjadi
bagian dari masyarakat kita. Harus mementingkan kebutuhan
masyarakatnya. Tak hanya menghasilkan elite yang terasing, yang
tak bisa menyesuaikan diri, yang hanya mau hidup di kota besar.
Yang saya rasakan kurang, kita ini sudah lebih 30 tahun kok
masih melarat saja. Masih ada ketidakadilan. hlosok universitas
tak bisa menolong itu. Nah, 'kan saya jadi mikir kita yang
dianggap intelektual apa tidak bisa memperkembangkan negara dan
bangsa? Bukan membangun gedung-gedung. Tapi membangun
manusianya.
Itulah yang diimpikannya se|ak dia diangkat menggantikan Prof.
Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro almarhum. Caranya menyiapkan satu
pola pendidikan yang multi disipliner. Agar sarjana UI mempunyai
wawasan luas, tak hanya tahu profesi. "Artinya universitas tak
hanya memproduksi tukang-tukang saja. Misalnya dokter, ya yang
tahu juga masalah sosial-budaya." Untuk latihannya ada beberapa
pusat di UI: Pusat Pengembangan Pedesaan, Pusat Studi
Lingkungan, Lembaga Demografi.
Tapi itu baru usaha. Mahar sendiri belum yakin apakah semua itu
bisa membentuk lulusan yang dicita-citakan. "Idealnya harus
kerjasama dengan pemerintah. Misalnya, mengapa hanya dokter saja
yang dikenakan wajib kerja. Saya pikir insinyur lebih penting,"
tambahnya.
Dengan dahinya yang lebar, rambutnya yang sudah dua warna,
wajahnya yang nampak selalu netral, memang Mahar memiliki sikap
tenang seorang dokter: meyakinkan pasien bahwa penyakitnya
hanya ringan saja. Sikapnya ini mungkln yang menolongnya membawa
UI melewati berbagai kemelut. Tapi satu lagi tantangan masih
dihadapinya dalam waktu-waktu dekat ini: masalah NKK/BKK belum
selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini