Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah solidaritas, entah sampai ...

Sejumlah pilot garuda menyampaikan tuntutan mereka ke dpr, setelah pejabat tinggi dep. perhubungan dan pangkopkamtib turun tangan mereka dapat diatasi. (eb)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASING-MASING mereka biasanya hampir selalu sendiri di kursi depan kokpit pesawat. Praktis sepi, di tengah angkasa. Tak banyak berhubungan dengan orang ramai. Bahkan penumpang pun seakan tak menyadari kehadiran mereka. Tak heran bila agak sulit juga ketika tiba-tiba pekan lalu mereka harus bergerombol dalam jumlah besar. Para pilot itu, memang nampak kikuk untuk mengadakan suatu aksi bersama. Apalagi di antara mereka sendiri banyak yang tak saling kenal. Begitulah ketika Selasa pekan lalu mereka, 152 orang, datang ke DPR di Senayan, Jakarta. Rekan-rekan mereka diberhentikan Direksi Garuda tanpa alasan yang mereka anggap jelas, apalagi kesempatan untuk membela diri. Para pemuda yang umumnya masih di bawah 30 tahun itu tentu saja panas. Mereka menolak untuk terbang, dan di DPR mereka malah minta izin untuk menginap, sampai tuntutan mereka diselesaikan. Penggantian Wiwekokah yang mereka kehendaki? Atau pemulihan kembali pilot yang dipecat ke pekerjaan semula? Atau suatu peraturan baru, yang menjamin ketenangan kerja dan perbaikan sistem penggajian? Mungkin ketiga-tiganya. Meskipun demikian, belum jelas mana yang paling mendesak. Para pilot itu akhirnya bersedia untuk "tidak menginap" di gedung DPR. Tapi dari Senayan mereka tak langsung kembali ke rumah masing-masing. Mereka berpecah dalam tiga kelompok. Sebagian menginap di dua kompleks perumahan Garuda di dua tempat, sebagian lagi di rumah seorang pilot. "Untuk menjaga keamanan," kata salah seorang dari mereka. Mereka memang cemas bila ditangkap. "Soalnya kami tahu," ujar seorang ko-pilot F-28 yang masih muda, "hampir tiap ada anggapan pemogokan selalu ada saja orang yang ditangkap." Ia pun menunjukkan kasus pemogokan buruh di Pabrik Sepatu Bata dan beberapa tempat lain. Tapi (atau justru karena itu) mereka sendiri menyatakan diri "tidak mogok". Hanya "tidak mau terbang karena tidak siap mental". Malam Rabu itu kompleks perumahan Garuda di Pasar Minggu yang biasanya sepi jadi hangat sampai menjelang pagi. Begitu pula di perumahan Garuda di Pluit (sekitar 20 km dari Kali Bata) dan di rumah Kapten Penerbang F-28, Henry Sumolang di Cipulir (10 km dari Kali Bata). Bukan saja para pilot itu yang menghabiskan malam hari sambil berjaga-jaga di sana, tapi juga istri mereka. "Kami juga ikut berjuang," kata nyonya pilot yang rumahnya di Kali Bata dijadikan "dapur umum." Malam itu satu-satunya "rapat" terjadi setelah jam 21, ketika seorang pilot senior (sekitar 37 tahun) datang dan menyampaikan hasil pertemuannya dengan "pejabat tinggi di Departemen Perhubungan". Sang pejabat menghimbau agar para pilot bersedia terbang kembali tapi tak bisa menjamin tuntutan para pilot diselesaikan secepatnya. Bagaimana? Setelah perdebatan ramai dan agak kacau, disepakati: himbauan pak pejabat diterima baik, tapi pelaksanaannya "nanti dulu": Lalu mereka tidur. Rabu siangnya, ketiga kelompok yang berpencar di tiga tempat bergabung di kompleks Garuda di Pluit. Sejumlah pilot yang jadi pimpinan kelompok mengadakan kontak dengan "para pejabat". Hasilnya sejumlah ketidak-pastian, setelah diperdebatkan. Tanpa organisasi dan program yang jelas, suatu aksi memang biasanya mana tahan. Dua hari terakhir menjelang Sabtu pekan lalu, topik pembicaraan antara lain berbunyi Apa kita akan terus begini? Sampai kapan? Para istri, yang harus mengurus isi perut lebih 200 orang, mulai kecapekan. Beberapa pilot mulai bosan tinggal di darat -- tapi bertahan karena solider. Akhirnya berhasil dibentuk tim terdiri 4 orang, setelah ada undangan dari Panglima Laksusda Jaya Mayjen Norman Sasono. Tim itu berangkat dengan sebuah pernyataan, yang sebelumnya sudah diputuskan oleh rapat semua kelompok: mereka bersedia terbang, tapi tetap tidak mau mengisi formulir yang disediakan oleh Pangkopkamtib Sudomo. Formulir itu antara lain berisi janji bahwa mereka tidak akan melakukan kegiatan "yang dapat mengakibatkan terganggunya angkutan udara". Pers segera memuat pernyataan itu -- meskipun Senin siang pekan ini ada semacam ralat: mereka mau terbang lagi dengan syarat. Apa lagi? "Pernyataan yang dibacakan Sabtu malam itu kurang lengkap," kata Ari Singgih. Berbeda dengan pernyataan pertama yang rupanya tak keburu ditandatangani tim penerbang itu, maka pernyataan susulan yang dikeluarkan Senin siang itu disertai tandatangan kolektif 250 penerbang. Pernyataan susulan itu merasa perlu memberi mandat kepada suatu tim untuk "secara obyektif membantu menjembatani penyelesaian yang cepat, adil dan tuntas dengan pihak direksi PT GIA maupun pemerintah." Adapun anggota tim itu terdiri dari orang-orang beken, seperti ahli hukum Buyung Nasution dan Albert Hasibuan, Ketua Komisi V Ir. Haditirto, Ketua Harian YLK Permadi SH, di samping penerbang Garuda Kapten Pilot Sumolang. Pertanda apakah ini, masih perlu diselidiki. Tapi ada yang bilang itu pertanda persatuan para pilot mulai retak. Atau efektifitasnya akan berkurang-karena mendatangkan "orang luar" yang lebih sulit dalam berdialog dengan pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus