MASING-MASING mereka biasanya hampir selalu sendiri di kursi
depan kokpit pesawat. Praktis sepi, di tengah angkasa. Tak
banyak berhubungan dengan orang ramai. Bahkan penumpang pun
seakan tak menyadari kehadiran mereka. Tak heran bila agak sulit
juga ketika tiba-tiba pekan lalu mereka harus bergerombol dalam
jumlah besar. Para pilot itu, memang nampak kikuk untuk
mengadakan suatu aksi bersama. Apalagi di antara mereka sendiri
banyak yang tak saling kenal.
Begitulah ketika Selasa pekan lalu mereka, 152 orang, datang ke
DPR di Senayan, Jakarta. Rekan-rekan mereka diberhentikan
Direksi Garuda tanpa alasan yang mereka anggap jelas, apalagi
kesempatan untuk membela diri. Para pemuda yang umumnya masih di
bawah 30 tahun itu tentu saja panas. Mereka menolak untuk
terbang, dan di DPR mereka malah minta izin untuk menginap,
sampai tuntutan mereka diselesaikan.
Penggantian Wiwekokah yang mereka kehendaki? Atau pemulihan
kembali pilot yang dipecat ke pekerjaan semula? Atau suatu
peraturan baru, yang menjamin ketenangan kerja dan perbaikan
sistem penggajian? Mungkin ketiga-tiganya. Meskipun demikian,
belum jelas mana yang paling mendesak.
Para pilot itu akhirnya bersedia untuk "tidak menginap" di
gedung DPR. Tapi dari Senayan mereka tak langsung kembali ke
rumah masing-masing. Mereka berpecah dalam tiga kelompok.
Sebagian menginap di dua kompleks perumahan Garuda di dua
tempat, sebagian lagi di rumah seorang pilot. "Untuk menjaga
keamanan," kata salah seorang dari mereka.
Mereka memang cemas bila ditangkap. "Soalnya kami tahu," ujar
seorang ko-pilot F-28 yang masih muda, "hampir tiap ada anggapan
pemogokan selalu ada saja orang yang ditangkap." Ia pun
menunjukkan kasus pemogokan buruh di Pabrik Sepatu Bata dan
beberapa tempat lain. Tapi (atau justru karena itu) mereka
sendiri menyatakan diri "tidak mogok". Hanya "tidak mau terbang
karena tidak siap mental".
Malam Rabu itu kompleks perumahan Garuda di Pasar Minggu yang
biasanya sepi jadi hangat sampai menjelang pagi. Begitu pula di
perumahan Garuda di Pluit (sekitar 20 km dari Kali Bata) dan di
rumah Kapten Penerbang F-28, Henry Sumolang di Cipulir (10 km
dari Kali Bata). Bukan saja para pilot itu yang menghabiskan
malam hari sambil berjaga-jaga di sana, tapi juga istri mereka.
"Kami juga ikut berjuang," kata nyonya pilot yang rumahnya di
Kali Bata dijadikan "dapur umum."
Malam itu satu-satunya "rapat" terjadi setelah jam 21, ketika
seorang pilot senior (sekitar 37 tahun) datang dan menyampaikan
hasil pertemuannya dengan "pejabat tinggi di Departemen
Perhubungan". Sang pejabat menghimbau agar para pilot bersedia
terbang kembali tapi tak bisa menjamin tuntutan para pilot
diselesaikan secepatnya. Bagaimana? Setelah perdebatan ramai dan
agak kacau, disepakati: himbauan pak pejabat diterima baik, tapi
pelaksanaannya "nanti dulu": Lalu mereka tidur.
Rabu siangnya, ketiga kelompok yang berpencar di tiga tempat
bergabung di kompleks Garuda di Pluit. Sejumlah pilot yang jadi
pimpinan kelompok mengadakan kontak dengan "para pejabat".
Hasilnya sejumlah ketidak-pastian, setelah diperdebatkan.
Tanpa organisasi dan program yang jelas, suatu aksi memang
biasanya mana tahan. Dua hari terakhir menjelang Sabtu pekan
lalu, topik pembicaraan antara lain berbunyi Apa kita akan terus
begini? Sampai kapan? Para istri, yang harus mengurus isi perut
lebih 200 orang, mulai kecapekan. Beberapa pilot mulai bosan
tinggal di darat -- tapi bertahan karena solider.
Akhirnya berhasil dibentuk tim terdiri 4 orang, setelah ada
undangan dari Panglima Laksusda Jaya Mayjen Norman Sasono. Tim
itu berangkat dengan sebuah pernyataan, yang sebelumnya sudah
diputuskan oleh rapat semua kelompok: mereka bersedia terbang,
tapi tetap tidak mau mengisi formulir yang disediakan oleh
Pangkopkamtib Sudomo. Formulir itu antara lain berisi janji
bahwa mereka tidak akan melakukan kegiatan "yang dapat
mengakibatkan terganggunya angkutan udara".
Pers segera memuat pernyataan itu -- meskipun Senin siang pekan
ini ada semacam ralat: mereka mau terbang lagi dengan syarat.
Apa lagi? "Pernyataan yang dibacakan Sabtu malam itu kurang
lengkap," kata Ari Singgih. Berbeda dengan pernyataan pertama
yang rupanya tak keburu ditandatangani tim penerbang itu, maka
pernyataan susulan yang dikeluarkan Senin siang itu disertai
tandatangan kolektif 250 penerbang.
Pernyataan susulan itu merasa perlu memberi mandat kepada suatu
tim untuk "secara obyektif membantu menjembatani penyelesaian
yang cepat, adil dan tuntas dengan pihak direksi PT GIA maupun
pemerintah." Adapun anggota tim itu terdiri dari orang-orang
beken, seperti ahli hukum Buyung Nasution dan Albert Hasibuan,
Ketua Komisi V Ir. Haditirto, Ketua Harian YLK Permadi SH, di
samping penerbang Garuda Kapten Pilot Sumolang.
Pertanda apakah ini, masih perlu diselidiki. Tapi ada yang
bilang itu pertanda persatuan para pilot mulai retak. Atau
efektifitasnya akan berkurang-karena mendatangkan "orang luar"
yang lebih sulit dalam berdialog dengan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini