Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU hampir setiap hari saya makan mi instan,” kata Venus terkekeh, ketika Tempo menanyakan penyebab penyakit ginjalnya. Kemudian perempuan 29 tahun itu menambahkan, ”Pokoknya, kebanyakan makan makanan instan dan juga fast food.” Venus, bukan nama sebenarnya, adalah mantan mahasiswi yang indekos di Bandung. Ia terpaksa mengkonsumsi mi cepat saji itu lantaran tak punya waktu untuk memasak.
Buntutnya gawat: Venus divonis dokter mengalami gagal ginjal, sehingga harus menjalani cuci darah sejak Juni 2007. Dari keterangan dokter yang merawatnya, diketahui pola makan tidak sehat dan kurang minum air putih membuat ginjalnya rusak. Kata dokter, ginjalnya terlalu banyak kemasukan toksin sehingga harus bekerja ekstrakeras, dan berujung gagal ginjal tadi.
Dampak mi instan bagi kesehatan kembali menjadi bahasan hangat setelah pemerintah Taiwan menarik salah satu produk Indomie dari pasar swalayan di sana. Alasannya, terdapat kandungan pengawet nipagin atau methyl para-hydroxybenzoat dalam kecap Indomie goreng. Bahan pengawet yang kerap terdapat pada bahan kosmetik itu dilarang beredar dalam makanan kemasan di Taiwan. Indonesia menetapkan ambang batas hingga 250 miligram per kilogram. Bahkan Codex Alimentarius Commission, badan pangan internasional, memperbolehkan hingga 1.000 miligram.
Ahli nutrisi makanan dari Institut Pertanian Bogor, Purwiyatno Hariadi, mengakui bahwa terlalu banyak mengkonsumsi pengawet nipagin bisa berakibat gagal ginjal. Namun, menurut Purwiyatno, kandungan nipagin dalam Indomie masih dalam batas yang aman. Tubuh manusia masih dapat mentoleransi nipagin hingga 10 miligram per satu kilogram berat badan per hari. Artinya, jika berat badan seseorang 60 kilogram, masih boleh mengkonsumsi nipagin hingga 600 miligram. ”Itu ambang batas tubuh manusia,” kata guru besar teknologi pangan ini.
Nipagin yang dipermasalahkan Taiwan terdapat dalam kecap Indomie goreng. Jumlahnya hanya sedikit. Jika kecap total memiliki berat 4 miligram, dengan aturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang memperbolehkan 250 miligram per kilogram, berarti kandungan nipagin hanya 1 gram. ”Standar yang ditetapkan BPOM sudah baik. Mestinya tidak ada yang perlu dicemaskan,” katanya. Apalagi, menurut Purwiyatno, Indomie yang diproduksi perusahaan besar semacam Indofood, kata dia, pasti melakukan olah pangan yang baik.
Kepala BPOM Kustantinah memastikan kandungan nipagin dalam kecap Indomie goreng masih dalam batas aman. ”Produk mi instan yang terdaftar di Indonesia memenuhi standar dan persyaratan yang ditetapkan aman untuk dikonsumsi,” ujarnya di Gedung DPR pekan lalu. Hal itu, kata dia, berdasarkan hasil pengujian BPOM terhadap mi instan dalam lima tahun terakhir. Karena tidak melanggar ketentuan, BPOM tidak bisa menindak Indofood.
Tapi ancaman kesehatan bukan cuma dari pengawet. Menurut ahli pangan Nuri Andarwulan, selain zat kimia seperti pengawet, dalam mi instan perlu diwaspadai kandungan lainnya, misalnya sodium atau garam. Menurut Nuri, kandungan garam dalam bumbu mi instan cukup tinggi. Hal itu berbahaya bagi penderita penyakit kardiovaskular, seperti darah tinggi. ”Mungkin bumbunya cukup dicampur setengah atau sepertiganya saja,” ujar sang doktor.
Selain itu, kalori yang dikandung mi instan terbilang tinggi. Bahan baku terigu, kata Nuri, memberikan pasokan kalori yang besar. Mi instan tidak selayaknya diperlakukan sebagai makanan pokok. Pada umumnya, masyarakat menjadikan mi instan sebagai makanan selingan. Hal ini akan berpengaruh jelek, karena keseimbangan gizi yang dibutuhkan tubuh tak terpenuhi. Sedangkan para penyantap makanan instan ini sudah merasa kenyang oleh kalori yang dikandung mi.
Nuri dan Purwiyatno sependapat bahwa produk mi instan aman dikonsumsi. Pasalnya, bahan yang ada di dalamnya sudah sesuai dengan standar kesehatan yang ditetapkan BPOM. Gangguan akan muncul manakala orang mengkonsumsinya secara berlebihan, terus-menerus, dan dalam jumlah besar. ”Intinya harus bisa menjaga keseimbangan gizi dengan variasi jenis makanan,” kata Purwiyatno.
Riani Susanto, dokter naturopati, mengingatkan segala bentuk makanan instan bisa membahayakan tubuh manusia. Menurut dia, sodium dalam bumbu mi instan sangat tinggi sehingga membuat rasanya gurih. Sodium yang terkandung dalam MSG (monosodium glutamate) kerap digunakan makanan instan kemasan untuk menciptakan rasa gurih. ”Seharusnya masyarakat yang berhati-hati dan mengerem kapan harus makan atau tidak,” kata Riani.
MSG, kata Riani, membuat konsumen ketagihan. Ciri-ciri makanan yang mengandung MSG tinggi adalah menimbulkan rasa haus yang tidak cepat hilang setelah menyantapnya. Sodium atau garam ini secara alami mengikat air, sehingga orang sering merasa haus setelah memakannya. ”Bagi yang bertekanan darah tinggi harus hati-hati,” kata dia.
Memang, bila dicoba memakan Indomie goreng, akibat yang dikatakan Riani benar-benar muncul. Haus melanda dan muncul keinginan untuk minum lebih banyak. Dalam bungkus atau kemasan Indomie memang disebut mengandung MSG dalam bumbu, tapi tak dijelaskan berapa kadarnya. Kemasan Indomie lebih banyak memaparkan informasi nilai gizi yang mengandung energi, lemak, vitamin, asam folat, hingga zat besi.
Seorang ahli gizi yang enggan disebut namanya mengatakan MSG ini dalam jangka panjang bisa berdampak buruk pada tubuh. Di antaranya memicu hipertensi, kanker, diabetes, hingga penurunan kecerdasan. Menurut dia, terdapat dua kategori MSG, yang alami dan buatan. ”Yang buatan itu yang sangat berbahaya,” katanya. Dalam berbagai jurnal kesehatan, disebutkan juga MSG sebaiknya dihindari oleh ibu hamil dan anak kecil.
Namun, menurut Nuri, jumlah monosodium yang ada dalam mi instan masih jauh lebih kecil dibanding makanan atau jajanan lainnya. Bakso, kata dia, mengandung unsur berbahaya ini berkali-kali lipat dibanding satu bungkus mi instan. Selain yang ditebar di mangkuk, zat ini terdapat dalam daging bakso dan kuahnya. ”Kalau kita minta tidak pakai vetsin, itu hanya mengurangi 20 persen dari total MSG-nya,” kata Nuri. Ambang batas MSG yang aman dikonsumsi manusia adalah 11 gram per hari. Bagi yang mengalami gangguan kesehatan, menurut Nuri, makanan yang mengandung zat gawat ini sebaiknya dihindari.
Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo