UNTUK meningkatkan efisiensi, Pertamina membutuhkan biaya cukup besar. Contohnya, modernisasi pabrik kilang Musi II di Palembang, yang diresmikan Presiden Soeharto awal pekan lalu. Proyek ini menghabiskan dana US$ 235,7 juta atau hampir Rp 500 miliar. Biaya yang sebagian besar utang dari sebuah konsorsium bank Jepang (Far East Investment Co. Ltd.) ini akan dibayar dengan produk LSWR (low sulphure waxy residue) dari kilang ini selama 10 tahun. Tentu saja dari investasi ini Pertamina boleh mengharapkan laba besar. Menurut Direktur Pengolahan Pertamina, G. Attihuta, BUMN ini telah berhasil meningkatkan kapasitas produksi dari tiga jenis produk. Pertama, kapasitas produksi fluid catalytic cracking unit (FCCU), atau bahan baku minyak solar, dari 14,5 juta naik menjadi 20,5 juta barel standar per hari. Kedua, kapasitas produksi bahan baku avtur meningkat dari 14.520 TPA (telephatic pure acid) menjadi 39.600 TPA. Yang ketiga adalah kapasitas produksi polypropylene (bahan baku plastik) naik dari 6.000 ton menjadi 45.000 ton per tahun. Proyek ini juga meningkatkan kapasitas bahan bakar gas (LPG) dari 54.450 ton menjadi 91.400 ton per tahun. Meningkatnya kapasitas pengolahan, "Secara keseluruhan akan menurunkan biaya produksi per barel yang diolah," ujar Attihuta kepada Kukuh Karsadi dari TEMPO. Di tambahkannya, proyek ini juga memberikan nilai tambah dalam penghasilan migas dan polypropylene. Namun, seberapa efisiennya proyek ini ketimbang proyek pengilangan di negara tetangga, sulit dibandingkan. Alasannya, kilang Petronas (di Malaysia), dan yang di Singapura, tak memiliki FCCU. "Tapi secara umum dapat dikatakan, biaya operasi kilang Pertamina cukup kompetitif ketimbang kilang luar negeri," ujar Attihuta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini