PADA suatu hari pemerintah menyebarkan suatu berita ajaib. Berita itu berbunyi bahwa kepada setiap pegawai negeri akan diberikan gaji ke-14. Seperti juga berita ajaib lainnya, berita ini menyebar dengan luasnya dan dengan cepatnya dan memberikan sentuhan yang ajaib pu]a kepada orang-orang. Pegawai negeri yang sedang pusing dan meriang seketika menjadi sembuh, Istri yang berprofesi tarik-muka cemberut jadi mengendurkan untuk sementara tarikan-urat-mukanya yang sering amat efektifnya dalam menteror suaminya itu, anak-anak pada membayangkan kenaikan mutu gizi jajanannya, para penagih utang pegawai-negeri meninjau kembali jadwal penagihannya dan para mertua buru-buru mengibarkan bendera perdamaian bagi menantunya yang pegawai negeri yang selama ini telah meleka nyatakan sebagai kasus yang hopeloos . . . Hatta, tanpa kecuali sentuhan ajaib itu menyentuh keluarga UK yang memang selama ini sudah ajaib. Mbak yang dalam waktu satu semester saja telah jadi mahasiswi yang bringas-trengginas dengan gesitnya menyodorkan satu usulan-proyek study-tour ke Bali. "Tiga puluh-lima ribu rupiah, pak! Murah, lho itu. Semuanya sudah termasuk, kecuali jajan dan oleh-oleh." "Mana usulannya?" Dengan sabetan Jackie Chen yang meyakinkan dua halaman ketikan yang kelihatannya juga meyakinkan disodorkan. Dengan mata profesional seorang dosen metodologi penelitian saya grayangilah kertas-kertas itu. Bagus sistematiknya. Meyakinkan angka-angkanya. Hem, boleh juga fakultas tempat Mbak ini berguru. Dalam waktu satu semester sudah bisa membuat usulan-proyek. Pasti MPBUMMRYP (Metoda Penalaran Baru Untuk Menyongsong Masyarakat Rasional Yang Pancasilais) telah dengan sukses ditrapkan di fakultas ini. Bahasanya pun rapi, jernih tanpa polusi kata-kata asing. Pakai mukadimah lagi . . . 'Bagus, oke. Tapi, lho Mbak . . . " "Apa?" "Ini yang mau di-study apa? Kok yang diceritakan dan dihitung di sini tour-nya melulu! Nusa Dua, Kuta, Denpasar, Sanur . . . Apanya yang mau di-study, Mbak?" "Nanti, deh. Ik tanya sama dosen pembimbing. Pokoknya UUUU setuju toch, pak? Tiga puluh lima ribu jreng dulu, pak!" "Lho, Mbak . . . " "Sudah, deh, pak. Tiga-puluh-lima-ribu jreng. 'Kan gaji ke-14 mau turun . . ." Astaga, tiga-puluh-lima-ribu rupiah jreng! Jreng-mu nduk! Si Gendut yang rupanya sejak sebelumnya 'ngintip di balik pintu tiba-tiba saja syooor, syooor, meluncur datang dengan sepatu-rodanya. Dengan putaran yang meyakinkan dari seorang pemain pro dia begitu saja sreet berhenti di tempat saya duduk. "Pak, kita juga jreng lima-belas-ribu rupiah. Baju renang kita sudah sesak. Entar lagi kita seleksi terus kompetisi, lho, pak!" "Kok cepet amat sesak baju itu. 'Kan baru enam bulan dibelikan? Jajan syomai juga sudah kagak pernah! " "Eh, sekarang bakwan Malang sama kembang tahu. Sedaaapp. Pokoknya sekarang lima-belas-ribu jreng. 'Kan bapak terima gaji ke-14?" Syoor, syoor si Gendut kabur mungkin mengejar bakwan Malang. Huuh, ini juga. Anak SD klas lima enak saja ngomong lima-belas-ribu jreng. Dan, ah, tentu saja ibunya anak-anak itu . . . Sreek, sreek, sreek bunyi sandalnya mengancam mendekati kursiku. Jreng apa lagi'? "Bulan ini tekor kita lebih banyak lagi. Entertainment keluarga akhir tahun, nombok makanan arisan tambahan sangu Mbak ke Bali, gaji pembantu yang kudu naik, harga-harga yang naik, kopling Datsun yang kudu didandanin lagi .." Suara itu, entah kenapa, kok kedengarannya seperti laporan intel yang diputar dari alat-perekam-tape rahasia yang diputar dalam salah satu kakus gedung bioskop yang mesum. Pada akhir kalimat saya berharap akan mendengar "dalam waktu lima detik sesudah laporan ini mesin ini akan meledak hancur . . . " Ah, ternyata tidak. Ya, Tuhan, lindungilah rumah-tanggaku yang modern ini... *** Kembali di Yogya. Musim hujan telah menyeringai. Beberapa hari yang lalu di Jakarta telah saya beresin post-gaji-14 syndrome saya. Total jendral delapan-puluh-tujuh-ribu-limaratus-enam-puluh-empat-rupiah. Jumlah itu saya kerahkan dari satu konsorsium kecil yang biasa saya himpun dari kawan-kawan yang masih loyal di Jakarta, pada saat-saat kritis semacam itu. Meskipun tanpa bunga, tapi toh seperti IGGI juga mereka menuntut kreativitas yang tak kunjung padam dari saya . . . Min, seorang pemuda drop-out S.D. di Pracimantoro di wilayah kidul Sala yang sekarang jadi "piaraan" saya, datang menghadap. Sebagai layaknya pemuda Sala, anak ini berwajah artistik, sopan, lengkap tata-kramanya. Tapi sebagai cowok masa-kini penampilannya pun masa-kini. Rambut kegondrongan (yang sebulan sekali dicukur bude-nya yang jadi pembantu di Sekip), kaos oblong bergambar tengkorak dibakar api menyala bertuliskan dangerous, kalung emas melilit lehernya, celana jeans belel yang dibeli di Pasar Kembang. "Bapak, mau matur!" "Yo! " "Saya dengar kabar Bapak bulan ini terima gaji ke 14?" "Yo. Terus kepriye?" Min menyeringai tersenyum halus, manis. "Hihihi, tidak apa-apa hanya nyuwun priksa . . . " Min mundur dengan sopan. Aku tersenyum. Jawa kowek lu, ya! Baiklah. I got the message. Min dan mbok aku putuskan untuk mendapat ekstra. Ayo, siapa lagi? Jreng, jreng jreng pumpung gaji ke-14 mau turun . . . Penjaja lincak bambu datang meyakinkan saya lincak bambu kudu diganti. Penjaja grabah Kasongan datang membawa binatang-binatang grabah baru yang akan bagus buat tambahan koleksiku. Beberapa mahasiswa datang mengingatkan saya bahwa sudah lama mereka tidak ditraktir di warung lele Muntilan. Pasar malam Sekaten sudah sekian minggu jalan . . . *** Uang konsorsium Jakarta yang seratus-ribu sudah lama habis. Sisa-sisa lainnya sudah menipis. Waktu aku akhirnya dipanggil ke fakultasku, fakultas yang menyimak primbon Betaljemur Adam Makna dan novel-novel Remy Silado, aku menghitung jumlah gaji ke-14-ku yang tujuh-puluh-empat-ribulima-ratus-dua-puluh-empat-rupiah dengan roso lego. Suaranya bukan sreg-sreg-sreg tetapi jreng-jreng-jreng. Akan uang konsorsium itu? Ah, itu nanti ditanggulangi Gaji ke-15.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini