Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sembako Masuk Barang Kena Pajak, Stafsus Sri Mulyani: Tak Berarti Dikenai Pajak

Penjelasan Stafsus Sri Mulyani ini disampaikan di antaranya merespons ramainya pemberitaan soal rencana pengenaan PPN Sembako belakangan ini.

12 Juni 2021 | 12.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana penjualan bahan pokok dan sayur mayur di Pasar Tebet, Jakarta, Kamis, 10 Juni 2021. Wacana tersebut tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, menjelaskan ihwal draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Penjelasan ini disampaikan di antaranya merespons ramainya pemberitaan soal rencana pengenaan PPN Sembako belakangan ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prastowo menjelaskan, di Pasal 4A beleid tersebut, bahan kebutuhan pokok atau sembako akan dikeluarkan dari barang-barang yang dikecualikan dari pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Adanya revisi pasal tentang barang kena pajak atau BKP ini tak berarti membuat pemerintah serta-merta akan mengenakan tarif pajak untuk sembako.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apalagi untuk bahan-bahan pokok yang dijual di pasar guna memenuhi kebutuhan hidup orang banyak. “Menjadi barang kena pajak tidak lantas berarti dia dikenai pajak,” ujar Prastowo dalam diskusi bersama Trijaya FM, Sabtu, 12 Juni 2021.

Prastowo menjelaskan, klausul itu akan memberikan ruang pengenaan pajak hanya untuk bahan-bahan dasar premium, seperti beras premium, telur premium, dan daging impor. Upaya ini dilakukan guna memenuhi asas keadilan.

Musababnya selama ini, barang-barang seperti daging wagyu yang dijual di supermarket tidak dipungut pajak, sama dengan daging segar yang dijual di pasar.

Menurut Prastowo, pemerintah ingin mendesain agar RUU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif. Lewat skema penerapan PPN yang bersifat multitarif, kebijakan tersebut memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas dikenakan pajak lebih besar, misalnya 15-20 persen.  

Namun realisasinya tidak akan dilakukan bila masa krisis pandemi Covid-19 masih terus berlangsung. “Kelak ketika ekonomi membaik, daya beli meningkat, lalu akan dikenai (PPN), ruangnya sudah ada. Jadi tidak perlu dibuat undang-udang lagi,” ujarnya.

Prastowo menampik bila pemerintah mengusulkan revisi klausul pajak sembako ini untuk menutup defisit APBN. Ia memastikan saat ini anggaran pemerintah masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Ia pun menyebut spekulasi yang beredar di masyarakat tentang pengenaan PPN sembako miskomunikasi. Musababnya, draf RUU KUP kadung bocor dan poin-poin di dalamnya beredar sepotong-sepotong.

Lebih lanjut, Prastowo mengungkapkan pemerintah tidak ada niat untuk membebani rakyat, misalnya dengan memungut PPN Sembako. “Kami harus akui fakta bahwa kita harus punya anitisipasi ke depannya. APBN ini harus jadi instrumen, termasuk pajak kita siapkan ke depannya,” ujar Prastowo.

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus