Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal 2019, cuma dalam 10 hari kalender, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menguat hingga 3 persen. Rumusan astrologi Tiongkok memang meyakini Tahun Babi akan datang beserta banyak keberuntungan dan rezeki.
Pertanyaan kuncinya sekarang: akankah nasib baik itu benar-benar hadir hingga akhir tahun kelak? Investor yang rasional sebaiknya cermat mengamati berbagai perkara yang lebih mempengaruhi naik-turunnya nilai rupiah ketimbang sekadar menimbang peruntungan Tahun Babi.
Melemahnya dolar jelas tak lepas dari penentu utama arah perdagangan di pasar uang: The Federal Reserve. Ada sinyal The Fed akan lebih berhati-hati dalam menetapkan kebijakan suku bunga selama 2019 dengan mempertimbangkan situasi pasar keuangan. Kenaikan bunga yang lebih lambat tentu meredakan tekanan pada pasar finansial di negara-negara berkembang. Dana investasi berpotensi kembali mengalir masuk dan tentu nilai rupiah terangkat.
Ada faktor lain juga. Analis kian khawatir akan nasib ekonomi Amerika Serikat karena pampatnya perundingan antara Presiden Donald Trump dan para pemimpin Partai Demokrat soal bujet pembangunan tembok pemisah di perbatasan Meksiko. Akibatnya, pemerintah federal Amerika harus menghentikan sebagian layanan publik. Jika berkepanjangan, penutupan itu tentu akan berdampak besar pada ekonomi Negeri Abang Sam karena terganggunya berbagai aktivitas ekonomi. Ini menambah sentimen negatif pada dolar Amerika.
Hal baik yang juga membuat rupiah menguat adalah perundingan dagang antara Cina dan Amerika yang berlangsung pekan lalu. Setidaknya tidak muncul letupan baru dalam perundingan para pejabat level menengah yang akan menyiapkan butir-butir pembahasan untuk pengambilan keputusan sebelum tenggat awal Maret nanti.
Jika perundingan itu berlangsung lancar dan perang dagang berskala penuh antara Cina dan Amerika tak jadi meletus, ekonomi banyak negara akan selamat dari kelesuan. Salah satu negara yang paling mendapat manfaat dari kembali normalnya perdagangan dunia tentu Tiongkok sendiri. Negosiasi tanpa gejolak pekan lalu itu langsung membuat yuan menguat ke titik tertinggi dalam lima bulan terakhir. Ekonomi Cina yang setahun terakhir ini melesu berpotensi lebih bergairah.
Indonesia pun akan turut menikmati perdamaian dagang itu. Nasib perekonomian Indonesia sebagai eksportir komoditas tak lepas dari pergerakan harga berbagai hasil alam. Pada saat yang sama, baik-buruknya ekonomi Cina sangat menentukan naik-turunnya harga komoditas. Konsekuensinya, pergerakan ekonomi Indonesia tak bisa lepas dari kinerja ekonomi Cina.
Demikian pula pergerakan nilai mata uangnya. Meski besarannya tentu tak persis sama, tren pergerakan naik-turunnya kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat selama 2018 cukup dekat mencerminkan pergerakan yuan terhadap dolar. Grafik di halaman ini menampakkan kemiripan tren naik-turun nilai dua mata uang itu terhadap dolar. Rupiah relatif senasib sepenanggungan dengan yuan.
Sepertinya ketergantungan nasib rupiah pada berbagai faktor eksternal itu akan berlanjut di 2019. Semua masih sangat mungkin bergolak. Meski mereda, perang dagang Amerika-Cina masih belum pasti akan berujung pada perdamaian. Dari The Fed juga ada sinyal lain. Kalau toh bunga tak naik cepat, program pemangkasan aset yang berujung pada mengetatnya likuiditas dolar di pasar global akan terus berlangsung. Dampak kebijakan ini pada rupiah sama saja dengan naiknya suku bunga.
Kesimpulannya: boleh kita optimistis menyambut rezeki Tahun Babi. Namun para pembuat kebijakan yang cermat tentu tak akan berpegang pada ramalan astrologi belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo