Pak Harto tergolek sakit, tapi uangnya gentayangan ke mana-mana. Agaknya, itulah kesan yang muncul ketika pemerintah menyatakan bahwa sejumlah lembaga investasi luar negeri, yang didukung dana kroni Soeharto, tengah mengincar aset-aset yang kini disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). ''Mereka sangat agresif," kata Wakil Ketua BPPN, Eko Santoso Budianto. Sikap ini amat berlawanan dengan BPPN, yang tak ingin terburu-buru menjual aset.
Hingga hari ini, keterangan Eko memang belum bisa dirinci. Siapa saja kroni yang dimaksud, tak jelas betul. Begitu juga apa saja aset yang diincar dan sejauh mana manuver yang sudah mereka lakukan. Hanya, sebuah kantor berita luar negeri mengungkapkan adanya lembaga investasi Karibia yang tengah mengincar sebuah hotel milik seorang anak Soeharto. Tapi tak disebut-sebut apakah pengelola dana itu juga didukung oleh uang Soeharto.
Yang pasti, menurut seorang pejabat BPPN, hotel yang diincar pengelola investasi ini adalah Hotel Nikko Bali, yang kini memang sedang ditawarkan. Sebagian saham (10 persen) hotel itu memang dimiliki Sigit Hardjojudanto, anak sulung Pak Harto yang berkongsi bersama bankir Usman Admadjaja. Nikko disita BPPN sebagai salah satu jaminan bagi pinjaman Usman yang mencapai hampir Rp 13 triliun.
Selain Hotel Nikko, ''mutiara" yang sedang diincar kroni Soeharto adalah Bank Central Asia (BCA). Hingga Agustus tahun lalu, saham bank swasta terbesar Indonesia ini memang dikuasai Soeharto dan kroni-kroninya. Menurut laporan keuangan akhir tahun 1997, sebagian besar (70 persen) saham BCA dikuasai oleh Salim, sedangkan sisanya, 30 persen, oleh anak-anak Pak Harto.
Tapi, setelah Agustus, kepemilikan BCA berpindah tangan. Segera setelah bank dengan ribuan cabang itu menerima injeksi dana dari Bank Indonesia sebesar Rp 30 triliun tanpa bisa dibayar Salim, kepemilikan BCA 100 persen berada di tangan pemerintah. Tapi kepemilikan ini agaknya juga tak akan ditahan lama-lama. Menurut nota kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), bank dengan aset hampir Rp 90 triliun itu akan ditawarkan kepada publik sekitar enam bulan mendatang. ''Paling lambat awal tahun depan BCA sudah go public," kata seorang pejabat BPPN.
Itu artinya BCA bebas dibeli siapa saja, termasuk Soeharto dan kroni-kroninya. Dan kalau dilihat dari upaya kelompok Salim mempertahankan BCA, agaknya bisa dipastikan konglomerasi terbesar Indonesia ini akan come back dengan membeli saham BCA yang ditawarkan. Seorang pejabat keuangan di kantor Grup Salim mengakui bahwa konglomerasi itu memang masih menginginkan BCA. ''Kalau punya duit, mengapa tidak? BCA kan barang bagus?"
Bagi Salim, BCA lebih dari sekadar barang bagus. Jika saja BCA bisa kembali ke Salim, kelompok usaha yang dipimpin taipan Liem Sioe Liong ini bisa kembali menguasai bisnis keuangan dengan segera. Bayangkan saja, saat ini Salim memiliki utang kepada BCA senilai Rp 48 triliun. Utang sebesar itu kini telah diserahkan BCA kepada pemerintah melalui BPPN. Sebagai gantinya, BCA diinjeksi surat utang pemerintah.
Nah, berdasarkan kesepakatan dengan pemerintah, Salim berjanji melunasi utang sebesar itu dalam tempo empat tahun dengan bunga 30 persen setahun. Dan jika Salim bisa menguasai saham BCA, setiap pelunasan utang Salim kepada pemerintah bisa dipakai sebagai pembelian kembali (buy back) saham-saham BCA yang sudah dikuasai pemerintah.
Persoalannya: apakah Salim (dan Soeharto) boleh mengambil alih dan menguasai BCA lagi? Menurut pejabat di Departemen Keuangan, pemerintah sebenarnya tak peduli duit siapa atau dari mana yang akan memborong aset yang ditawarkan BPPN. Yang penting, katanya, uang rakyat yang sudah terperangkap di bank-bank bermasalah (yang kini ditangani BPPN) bisa segera kembali. Ia menegaskan, tugas BPPN bukanlah menyaring halal-haram dan asal-usul dana-dana investasi itu, melainkan mengurangi kerugian negara hingga sekecil mungkin. Jadi, penjualan aset ini pada akhirnya mirip lelang biasa. ''Kita serahkan aset kepada siapa pun yang memberikan penawaran tertinggi," katanya enteng.
Ia mengakui, sikap ini memang memberikan peluang kepada kroni Soeharto untuk ''mencuci" dana, yang diduga, hasil korupsi. Caranya, duit berlebih itu dipakai untuk membeli saham atau unit penyertaan sebuah reksadana di luar negeri. Reksadana inilah yang kemudian membeli aset-aset di BPPN. Pembelian bisa juga dilakukan melalui nominee (pembukuan saham atas nama bank atau lembaga keuangan yang lain), sehingga siapa pemilik aslinya sulit dilacak. Tapi ini semua tak bisa dibendung. Lagi pula, ini lazim terjadi dan tak melanggar hukum. ''Jadi, buat apa mesti pusing-pusing meneliti asal-usulnya segala?" katanya.
Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini