Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DISKUSI baru berjalan 15 menit ketika kegaduhan terjadi. Sepuluh pria kekar tiba-tiba maju ke tengah arena forum diskusi. Satu di antaranya berseragam loreng hijau kuning, bersepatu bot hitam, dan berbaret hijau muda laiknya tentara. Yang lain rata-rata berjaket kulit warna gelap. Moderator diskusi buru-buru menahan mereka. Adu mulut pun pecah. Satu orang merebut pengeras suara. ”Bubar! Acara ini kami bubarkan!”
Pemberangusan diskusi bertema ”Gerakan Marxist Internasional Kontemporer: Perkembangan dan Masa Depan Gerakan Marxist di Dunia, dan Sekilas tentang Organisasi dan Gerakan Buruh di Kanada” di Toko Buku Ultimus, Bandung, Jawa Barat, Kamis dua pekan lalu, itu mengejutkan banyak orang. Dua hari sebelumnya, peringatan Hari Hak Asasi Manusia di Surabaya bernasib serupa.
Dua insiden itu, plus dua kali pembubaran paksa acara kumpul-kumpul eks tahanan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) di Blitar, Jawa Timur, Maret lalu, dan di Bandung (Mei), membuat orang lalu menduga-duga: siapa di balik aksi-aksi ini.
Melacaknya sesungguhnya tidak terlalu sulit. Pria pe-rampas mikrofon di Bandung itu bernama Adang Supriyadi, 49 tahun. Ketua Persatuan Masyarakat Anti Komunis (Permak) ini mengaku tindakannya berlatar dendam. ”Ayah dan kakek saya dibunuh PKI,” katanya.
Mereka merazia orang berkaus palu-arit dan memasang 40 spanduk antikomunisme di Bandung. Mereka juga yang membubarkan pertemuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan eks tapol/napol di Bandung, Mei lalu.
Permak sesungguhnya baru berdiri pada 1 Oktober lalu. Motornya adalah Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI/Polri (FKPPI) dan Angkatan Muda Siliwangi. Adang kini sekretaris FKPPI Bandung. ”Meski saya anak tentara, kami tak pakai TNI atau polisi,” katanya.
Pelaku pembubaran diskusi di Surabaya agak berbeda karakter. Mereka menamakan diri Syarikat Penanggulangan Komunisme Gaya Baru. Koordinatornya Arukat Djaswadi, aktivis Front Anti Komunisme Surabaya.
September lalu, bersama KH Yusuf Hasyim, pemimpin Pesantren Tebuireng, Jombang, dia mengajukan uji materiil UU Nomor 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka keberatan jika eks tahanan politik PKI berpeluang mendapat kompensasi dan rehabilitasi. Awal Desember, Mahkamah membatalkan undang-undang itu.
Syarikat Penanggulangan Komunisme sejatinya baru akan dideklarasikan Januari tahun depan. ”Aksi kemarin masih embrio,” kata Arukat. Pendukung kelompok ini antara lain Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahiddin Indonesia, dan Majelis Ulama Indonesia.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, tak yakin gerakan antikomunisme yang marak setahun ini murni dari masyarakat. ”Ini sistematis sekali,” ujarnya. ”Fobia komunisme dibangkitkan untuk menghalangi agenda reformasi, yakni klarifikasi sejarah soal apa yang terjadi pada September 1965,” katanya.
Dia lalu menunjukkan dokumen briefing intelijen di lingkungan komando teritorial TNI yang ditemukan Kontras. Dokumen itu meminta militer mewaspadai ”gerakan komunisme yang kini berlindung di balik isu prodemokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia”. Tapi sinyalemen itu dibantah. ”Jangan semuanya dikait-kaitkan dengan militer,” kata Kepala Penerangan Kodam V/ Brawijaya, Letnan Kolonel CHK A.S. Harahap.
Masalah ini mestinya tak perlu berlarut-larut. Menurut anggota Komisi Hukum DPR RI, Eva Kusuma Sundari, kunci untuk menghentikannya ada di tangan pemerintah. “Pemerintah harus tegas, mau menjamin hak politik rakyat atau tidak?” Tanpa ketegasan itu, politisi PDI Perjuangan ini khawatir proses rekonsiliasi tak kunjung selesai.
Wahyu Dhyatmika, Ahmad Fikri (Bandung), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo