HONG Kong, pusat perdagangan Asia yang terkenal itu, lagi
gundah. Penduduk di koloni Inggris itu hampir tiap hari menyerbu
berbagai pusat perbelanjaan, memborong barang sejadi-jadinya.
"Suasananya bagaikan besok ada perang saja," kata seorang bankir
dari The Hong Kong and Shanghai Banking Corporation. "Padahal,
stok barang lebih dari cukup." Berbagai bank juga sibuk melayani
para nasabahnya yang setiap pagi antre untuk mencairkan
simpanannya, atau menukarkan dalam mata uang doilar AS.
Suasana panik itu, yang mirip isu akan adanya tindakan sanering
di Indonesia tempo hari, makin terasa ketika dollar Hong Kong
anjlok dengan 9,2% terhadap satu dollar AS pada 24 September
lalu. Guncangan itu hanya dalam waktu tiga jam. Gubernur Hong
Kong, Sir Edward Youde, pekan lalu mencoba menenangkan suasana,
tapi masyarakat rupanya masih belum hilang dari kagetnya.
Kabar burung, seperti biasa, cepat menjalar bagaikan penyakit
menular: banyak toko yang mulai menolak menerima dollar
Hon Kon. Sebuah surat kabar setempat malah memberitakan para
penjual ayam di Kow-loon hanya mau menerima dollar AS. Beberapa
toko memang sudah memasang harga dalam dollar Amerika.
Melihat gelagat yang tak baik itu, pemerintah terpaksa
mengeluarkan pengumuman "Barang siapa menolak menerima
pembayaran dalam dollar Hong Kong, masyarakat diharap segera
melaporkannya ke polisi." Tapi bagi masyarakat koloni Inggris
yang secara praktis itu, mereka tentu tak suka dianggap menjadi
informan.
Soalnya, para pedagang merasa tak pasti kalau harus memasang
harga dalam dollar Hong Kong. "Karena harga-harga bisa berubah
setiap saat," kata seorang pemilik toko. Ketidakpastian itu
bermula ketika tersiar kabar bahwa daerah seluas 1.000 kilometer
persegi, dan berpenduduk lima setengah juta orang, itu akan
jatuh ke tangan RRC pada 1 Juli 1997, saat habisnya masa sewa
koloni Inggris itu.
Rakyat di Hong Kong sendiri kabarnya sudah pasrah menunggu saat
diturunkannya bendera Inggris, Union Jack, 14 tahun lagi. Tidak
demikian dengan 30.000 penduduknya - para bankir, industrialis,
dan kaum pedagang - yang sudah merasa kerasan dengan sistem
perekonomian yang bebas.
Sistem perekonomian kapitalis, yang hampir-hampir murni berjalan
di Hong Kong, tadinya telah membuat banyak pemilik modal dari
Singapura hijrah ke sana, ketika pemerintahan Lee Kuan Yew
mulai berkuasa. Di bawah sistem itu pula Hong Kong, yang dulunya
pulau karang, kemudian menonjol sebagai pusat keuangan No. 3 di
dunia. Dan sekalipun dollarnya lagi lembek, adalah Hong Kong
yang sampai sekarang merupakan partner dagang penting AS.
Sebanyak 40% ekspornya masuk ke AS, yang sekarang mulai membaik
ekonominya.
Bagi para pedagang di Indonesia, suasana Hong Kong sekarang
tentunya tak mereka biarkan lewat begitu saja. Mengimpor barang
dari Hong Kong dengan sendirinya lebih murah. "Harga-harga dari
sana sekarang lebih miring," kata seorang importir di Jakarta.
Harga jual satu dollar Hong Kong ditempat penukaran valuta asing
pada 24 September lalu masih bertahan RP 124. Tapi dua hari
sesudah shock 24 September, orang bisa memperoleh Rp 117 untuk
satu dollar Hong Kong.
Pada 3 Oktober lalu, pasaran dollar Hong Kong di Jakarta kembali
pulih. Tapi Senin lalu harga jual dollar Hong Kong di money
changer PT Ayumas Gunun Agung, Jakarta, turun lagi menjadi
Rp 117, sedangkan harga belinya Rp 107. Bisa jadi dollar Hong
Kong akan tambah merosot. Dan gerakan melarikan modal ke luar
koloni Inggris itu semakin dahsyat. Tapi seorang anggota
Politbiro RRC, Xu Zhongxun, yakin suasana hiruk-pikuk itu cuma
gejala sementara. "Apa pun yang terjadi, Hong Kong bakal terus
berkembang. Baik uang maupun manusia (yang pergi) akan kembali.
Mereka yang merasa waswas boleh saja pergi. Mereka boleh kembali
lagi kelak," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini