SASTRA HINDIA BELANDA DAN KITA
Oleh: Subagio Sastroardoyo
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 207 halaman.
APA sebenarnya yang dimaksud dengan sastra Indonesia? Dan apa
sastra Hindia Belanda? Pendahuluan buku ini menjelaskan, "yang
dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun
kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada
kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh
orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik
yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa
lainnya."
Selanjutnya Subagio mengakui,ada "duatiga" penulis "Indonesia"
yang karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia
Belanda. Misalnya, Soewarsih Djojopoespito dan Noto Soeroto.
Kedua penulis ini tidak dibicarakan Subagio karena "tidak berada
di tengah arus pokok perkembangan sastra. Apakah "tidak berada
di tengah arus pokok" berarti mutunya rendah ? Tak ada
penjelasan. Padahal, mungkin sekali karya penulis pribumi itu
"diabaikan" karena menampilkan dunia dan pandangan yang berbeda
dengan pengarang-pengarang Indo.
Buku ini merupakan usaha untuk mengungkapkan dan menganalisa
dunia - tokoh dan masyarakat - Indo dalam fiksi beberapa
pengarang sejak Multatuli. Ada sembilan bab, di samping
pendahuluan, dalam buku ini. Dua bab pertama dipergunakan
Subagio untuk menyodorkan pelbagai segi Max Havelaar karya
Multatuli. Dalam bab-bab itu, Subagio dengan jelas memamerkan
kecenderungan kritiknya selama ini.
Subagio berpendirian, nilai sastra suatu karya merupakan pokok
pembicaraan terpenting dalam kritik sastra. Karena itu, karya
sastra yang dibicarakan dalam buku ini dipilihnya berdasarkan
mutu - bila dibandingkan dengan buku serumpun, tentunya. Dengan
demikian, Du Perron, E. Breton de Nijs, Beb Vuyk, Maria Dermout,
Willem Walraven, dan Tjalie Robinson dianggap telah menghasilkan
karya terbaik di kalangan sastra Indo. Sebab, karya mereka
itulah yang dibicarakan Subagio dalam buku ini.
Meskipun nilai sastra penting, tujuan Subagio tampaknya adalah
mengungkapkan dunia yang tercipta dalam fiksi itu. Tentu tidak
bisa dihindari kaitan fiksi dengan kenyataan - dalam hal ini
kenyataan bisa berupa riwayat hidup pengarang, fakta sejarah,
dan lain- lain. Dan memang cara mengaitkan fiksi dengan fakta
itulah yang ditempuh Subagio.
Dalam pembicaraannya tentang Max Havelaar, sangat jelas usaha
Subagio untuk menunjukkan kepada kita nilai sastra karya
Multatuli itu. Bab II, "Max Havelaar sebagai Karya Sastra",
merupakan usahanya menjelaskan struktur novel itu seca
ra keseluruhan - terutama alurnya. Seperti diketahui, karya
Multatuli ini memiliki beberapa kisah yang "tercampur aduk"
dalam satu novel. Ini bisa menyebabkan kekacauan struktur dan
sekaligus menunjukkan tiadanya rancangan artistik yang matang.
Tapi Subagio membuktikan, susunan yang dipilih Multatuli itulah
yang menyebabkan Max Havelaar bernilai sebagai karya sastra.
Pada dasarnya, novel Max Havelaar merupakan cerita berbingkai
dengan kisah Saijah dan Adinda sebagai intinya. Inti tersebut,
menurut beberapa pembahas, memang merupakan bagian isah yang
paling bagus. Pilihan susunan itu tentu menunjukkan kemampuan
Multatuli dalam membuat rancangan artistik. Dan rupanya Subagio
berpendapat, pola karangan yang memadukan beberapa cerita dengan
sebuah cerita yang merangkumnya sehingga merupakan suatu
kesatuan, menandakan rencana artistik yang sudah Jauh
berkembang.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, kritik Subagio selalu
mempunyai kecenderungan ekstrinsik. Pembicaraannya tentang Max
Havelaar sering tidak bisa dipisahkan dari pembicaraannya
tentang Multatuli si pengarang. Dengan demikian riwayat dan
lingkungan hidup Asisten Residen Lebak itu mendapat tempat
terhormat dalam kritik Subagio, dan secara langsung atau tidak
dianggap bisa membantu mengungkapkan nilai artistik suatu karya
sastra.
Cara ini diterapkan Subagio pada semua karya sastra yang
dibicarakan. Ternyata kritik semacam ini bisa menghindarkan diri
dari sifat "kering" yang sering terasa pada pendekatan intrinsik
dan juga sifat "nonsastra" pada pendekatan ekstrinsik. Perlu
disebut juga bahwa Bab IX membicarakan Atheis bukan karena novel
itu termasuk sastra Hindia Belanda, tapi lantaran ada kaitan
karya Achdiat itu dengan pokok pembicaraan Subagio.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini