Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Orang-ornag indo di tengah kita

Jakarta: balai pustaka, 1983 resensi oleh: sapardi djoko damono. (bk)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SASTRA HINDIA BELANDA DAN KITA Oleh: Subagio Sastroardoyo Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta, 1983, 207 halaman. APA sebenarnya yang dimaksud dengan sastra Indonesia? Dan apa sastra Hindia Belanda? Pendahuluan buku ini menjelaskan, "yang dimaksudkan dengan sastra Hindia Belanda di sini adalah rumpun kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda terutama dan oleh orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun yang keturunan bangsa Eropa lainnya." Selanjutnya Subagio mengakui,ada "duatiga" penulis "Indonesia" yang karangannya dapat dimasukkan ke dalam sastra Hindia Belanda. Misalnya, Soewarsih Djojopoespito dan Noto Soeroto. Kedua penulis ini tidak dibicarakan Subagio karena "tidak berada di tengah arus pokok perkembangan sastra. Apakah "tidak berada di tengah arus pokok" berarti mutunya rendah ? Tak ada penjelasan. Padahal, mungkin sekali karya penulis pribumi itu "diabaikan" karena menampilkan dunia dan pandangan yang berbeda dengan pengarang-pengarang Indo. Buku ini merupakan usaha untuk mengungkapkan dan menganalisa dunia - tokoh dan masyarakat - Indo dalam fiksi beberapa pengarang sejak Multatuli. Ada sembilan bab, di samping pendahuluan, dalam buku ini. Dua bab pertama dipergunakan Subagio untuk menyodorkan pelbagai segi Max Havelaar karya Multatuli. Dalam bab-bab itu, Subagio dengan jelas memamerkan kecenderungan kritiknya selama ini. Subagio berpendirian, nilai sastra suatu karya merupakan pokok pembicaraan terpenting dalam kritik sastra. Karena itu, karya sastra yang dibicarakan dalam buku ini dipilihnya berdasarkan mutu - bila dibandingkan dengan buku serumpun, tentunya. Dengan demikian, Du Perron, E. Breton de Nijs, Beb Vuyk, Maria Dermout, Willem Walraven, dan Tjalie Robinson dianggap telah menghasilkan karya terbaik di kalangan sastra Indo. Sebab, karya mereka itulah yang dibicarakan Subagio dalam buku ini. Meskipun nilai sastra penting, tujuan Subagio tampaknya adalah mengungkapkan dunia yang tercipta dalam fiksi itu. Tentu tidak bisa dihindari kaitan fiksi dengan kenyataan - dalam hal ini kenyataan bisa berupa riwayat hidup pengarang, fakta sejarah, dan lain- lain. Dan memang cara mengaitkan fiksi dengan fakta itulah yang ditempuh Subagio. Dalam pembicaraannya tentang Max Havelaar, sangat jelas usaha Subagio untuk menunjukkan kepada kita nilai sastra karya Multatuli itu. Bab II, "Max Havelaar sebagai Karya Sastra", merupakan usahanya menjelaskan struktur novel itu seca ra keseluruhan - terutama alurnya. Seperti diketahui, karya Multatuli ini memiliki beberapa kisah yang "tercampur aduk" dalam satu novel. Ini bisa menyebabkan kekacauan struktur dan sekaligus menunjukkan tiadanya rancangan artistik yang matang. Tapi Subagio membuktikan, susunan yang dipilih Multatuli itulah yang menyebabkan Max Havelaar bernilai sebagai karya sastra. Pada dasarnya, novel Max Havelaar merupakan cerita berbingkai dengan kisah Saijah dan Adinda sebagai intinya. Inti tersebut, menurut beberapa pembahas, memang merupakan bagian isah yang paling bagus. Pilihan susunan itu tentu menunjukkan kemampuan Multatuli dalam membuat rancangan artistik. Dan rupanya Subagio berpendapat, pola karangan yang memadukan beberapa cerita dengan sebuah cerita yang merangkumnya sehingga merupakan suatu kesatuan, menandakan rencana artistik yang sudah Jauh berkembang. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kritik Subagio selalu mempunyai kecenderungan ekstrinsik. Pembicaraannya tentang Max Havelaar sering tidak bisa dipisahkan dari pembicaraannya tentang Multatuli si pengarang. Dengan demikian riwayat dan lingkungan hidup Asisten Residen Lebak itu mendapat tempat terhormat dalam kritik Subagio, dan secara langsung atau tidak dianggap bisa membantu mengungkapkan nilai artistik suatu karya sastra. Cara ini diterapkan Subagio pada semua karya sastra yang dibicarakan. Ternyata kritik semacam ini bisa menghindarkan diri dari sifat "kering" yang sering terasa pada pendekatan intrinsik dan juga sifat "nonsastra" pada pendekatan ekstrinsik. Perlu disebut juga bahwa Bab IX membicarakan Atheis bukan karena novel itu termasuk sastra Hindia Belanda, tapi lantaran ada kaitan karya Achdiat itu dengan pokok pembicaraan Subagio. Sapardi Djoko Damono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus