PARA pemilik uang (rupiah atau asin) kini boleh berhitung. Soalnya, akhir-akhir ini terbuka peluang mendapatkan keuntungan: sejumlah bank mulai menawarkan bunga cukup menarik jika Anda mau menyimpan rupiah di bank-bank mereka. Perkembangan baru ini - setelah terjadi rush, orang ramai-ramai menubruk dolar Amerika akhir tahun lalu - dimulai Citibank, Jakarta. Awal bulan ini, bank asing terkemuka ini malah memasang iklan cukup besar. Isinya, tawaran bagi pemilik rupiah untuk memanfaatkan sertifikat yang mereka keluarkan berbunga 18% setahun. Tak tanggung-tanggung, bank yang baru pindah kantor ke Gedung Land Mark di Jalan Sudirman, Jakarta, itu malah langsung menyebut jumlah keuntungan yang bisa diperoleh para pemilik duit. "Tak perlu mensetor Rp 5 juta, jika Anda membeli sertifikat bernilai Rp 5 juta. Cukup Rp 4.237.288. Juga tak perlu menyetor Rp 25 juta untuk mendapatkan sertifikat berharga Rp 25 juta. Bayar saja Rp 21.184.841." "Bunga langsung bayar di muka, dan sejumlah hadiah tambahan," itulah kalimat-kalimat lain menyertai iklan bank asing ini. Belum jelas benar bagaimana hasil iklan itu. Namun, iklan gencar ini ternyata berefek. Hanya sepekan setelah itu, beberapa bank swasta di Jakarta mulai pula menaikkan suku bunga deposito mereka. Besarnya bervarisasi, 0,5 - 2 point dari bebas bunga sebelumnya terutama untuk deposito berjangka pendek 1-3 bulan. Di beberapa bank besar, kenaikan itu memang belum mencolok. Bank Duta, misalnya, menaikkan deposito per bulan dari 13,5%, menjadi 14%. Dan untuk jangka waktu tiga bulan, dari 13,5% menjadi 14,5%. Kenaikan 0,5 -- 1 poin itu juga terlihat di Bank Central Asia dan Bank Niaga. Tetapi di bank yang lebih kecil, misalnya Danamon, Tani Nasional dan Rama, kenaikan suku bunga itu cukup tajam. Tani Nasional berani menawarkan bunga 17,25% untuk deposito tiga bulan. Sedangkan Bank Pasar Nugraha, Jakarta, bahkan muncul dengan iming-iming bunga 18% tawaran bunga deposito tertinggi dalam beberapa bulan terakhir. Apa yang terjadi sebenarnya hingga bank-bank kini seperti bersaing mendapatkan deposito dalam rupiah ? Jusuf Wantah, Dirut PT Bank Arta Pusara, menyebut sedikitnya ada tiga penyebab. Pertama, karena sejak Januari hingga sekitar Juni biasanya uang beredar memang seret. Sebab, 31 Maret proyek-proyek pemerintah tutup tahun anggaran. Ini rutin. Paling cepat, proyek baru dimulai sekitar Juni. Karena itu, "Banyak bank menyiapkan bunga yang menarik untuk deposito sampai tiga bulan," kata Jusuf Wantah pada Max Wangkar dari TEMPO. Kedua, hanyak rupiah yang lari ke pelbagai mata uang asing tahun lalu belum seluruhnya kembali. "Untuk menarik rupiah itu kembali ke ibu pertiwi, ya, bunga di sini harus diusahakan menarik. Paling tidak di atas bunga dolar di luar negeri yang 6% hingga 7%, setahun," tutur Wantah. Ketiga, dan ini dibenarkan beberapa bankir, ada indikasi permintaan (kredit) rupiah dari kalangan pengusaha mulai naik belakangan ini. Ini mungkin karena adanya kenaikan ongkos tarif yang meminta tambahan modal kerja baru. Ditambah dengan gencarnya pemerintah mengeluarkan ketentuan deregulasi belakangan ini - yang secara tak langsung ikut menaikkan minat berusaha. Mereka pun mulai menghubungi bank untuk mendapatkan kredit. Bisa jadi tak mudah, karena bank-bank sendiri kini seperti kesulitan rupiah. Benarkah ? Syahrial, Kepala Urusan Pasar Uang dan Modal BI, membantah. "Bukan kesulitan, mereka hanya berjaga-jaga," katanya. Buktinya tingkat suku pinjaman antarbank kini stabil, antara 13,5% dan 14%. Yang terang, banyak kalangan menyebut, belum kembalinya semua uang yang dulu lari ke dolar Amerika itu ikut mempengaruhi likuiditas rupiah. Maklum, penjualan dolar di bulan Desember 1986 mencapai US$ 1,5 milyar lebih. Dengan kurs sekitar Rp 1.657 per dolar. Sedangkan arus balik tak begitu besar. "Belum bisa dihitung berapa persis seluruhnya rupiah yang sudah kembali. Sebab, pengembaliannya tak hanya lewat BI, tapi juga lewat bank-bank devisa lainnya," kata Syahrizal pada TEMPO. Memang, sejak devaluasi September lalu, orang masih lebih merasa aman memegang dolar. Dan itu juga didorong oleh terus menguatnya dolar terhadap rupiah sampai akhir Desember. Baru belakangan, kurs itu menurun hingga terakhir sampai Sabtu pekan lalu berkisar Rp 1.638 per dolar. Ini juga mungkin yang menyebabkan banyak pemegang dolar -- hasil pembelian dengan rupiah yang lalu -- masih bertahan, menunggu naiknya kurs itu lagi. Padahal, nilai dolar sendiri tak sekuat yang diduga. Kursnya cenderung merosot terus, terutama terhadap yen dan mark (lihat Di Hadapan Devalasi Dolar). Dan ini membuka kesempatan produsen di sini untuk mengekspor produk mereka ke beberapa negara - menggantikan perusahaan induknya di Jepang. Terlebih, mereka juga didukung serangkaian kebijaksanaan baru pemerintah, yang memungkinkan para pengusaha itu bersaing di luar negeri. Iklim usaha pelan-pelan memang membaik. Cuma, tentu, kurang modal. Dan modal itu sumbernya, ya, di bank. Bankbank ini pula yang belakangan ini bersaing menghadapi permintaan para pengusaha itu. Baik dalam menyediakan bunga deposito maupun kredit modal kerja dan investasi. "Ya, apa boleh buat, bunga deposito terpaksa kami naikkkan agar nasabah kami tak lari ke bank lain,' kata T.A. Soetanto, Dirut Bank Pacific. Marah Sakti, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini