LANGKAH-langkah konservatif Bank Sentral di bidang moneter, termasuk devaluasi, ternyata dipuji oleh Asian Finance. Buktinya: Gubernur BI Arifin Siregar secara mengejutkan dipilih oleh majalah perbankan terbitan Hong Kong itu, sebagai satu dari dua bankir terbaik di Asia untuk tahun 186. Arifin Siregar, 53, dinilai sebagai ahli ekonomi yang masih berwajah segar dan bankir yang arif untuk bekerja sama dengan para tokoh politik. Ia pun populer di kalangan pengusaha, sebagai tokoh yang menjanjikan terobosan bagi pengusaha setelah devaluasi September 1986. Arifin, konon, adalah pejabat terakhir yang menandatangani devaluasi 12 September, kedua kalinya sejak ia menjadi Gubernur Bank Sentral. Doktor ekonomi lulusan Universitas Munster, Jerman Barat, dengan predikat summa cum laude pada 1960 itu ternyata mengaku bahwa devaluasi Maret 1983 dan September 1986 didukungnya secara penuh, minimal secara teoretis. Devaluasi itu adalah salah satu jalan untuk mencegah neraca pembayaran bertambah buruk. Namun, sebelum ikut menandatangani kebijaksanaan devaluasi yang terakhir, konon, Arifin telah mengajukan syarat yang meyakinkan pemerintah, bahwa devaluasi itu harus segera diikuti dengan deregulasi dalam tata niaga, fiskal ekspor-impor, dan industri, sebagaimana BI telah melakukannya dalam perbankan pada 1 Juni 1983. Ternyata, langkah-langkah deregulasi itu baru mulai ditelurkan pemerintah 49 hari kemudian, dalam kebijaksanaan deregulasi 25 Oktober 1986. Dalam Asian Finance edisi pertengahan Januari lalu itu, Arifin mengatakan masih akan ada langkah lanjutan. Terbukti, 15 Januari 1987 pemerintah memberikan kebebasan lebih luas lagi dalam tata niaga dan fiskal, dan 3 Februari lalu muncul deregulasi dalam perindustrian. Sementara itu, pemerintah telah mencanangkan akan menciutkan birokratisasi bagi urusan pengusaha. Tetapi Gubernur Bank Sentral itu merasa terlalu dibesar-besarkan kalau kebijaksanaan pemerintah mengandung unsur vested interest. "Kalangan pengusaha terlalu menonjolkan hambatan-hambatan ekonomi, tetapi tidak memanfaatkan peluang-peluang di mana sistem kuota sudah dihapuskan dan liberalisasi sudah diberikan," katanya. Ia juga tidak setuju dengan kalangan pengusaha yang mengharapkan supaya pemerintah tetap berperan sebagai lokomotif. Itu tidak mungkin dalam situasi ekonomi sekarang, kecuali kalau harga minyak mengepul kembali. Arifin dikenal sebagai penganut teori-teori pasca-Keyneslan. Tetapi ia berpendapat bahwa dalam situasi ekonomi Indonesia sekarang, ia tidak setuju dengan suara-suara sebagian ekonom dan politikus yang menganjurkan agar pemerintah meningkatkan agregat permintaan dengan cara deficit financing. "Jika defisit anggaran pemerintah dibiayai dengan pinjaman bank sentral, atau dengan menjual obligasi, itu akan menjadi suatu kegemaran ber-periculoso," kata Arifin. Bila pertumbuhan ekonomi hendak dipacu dengan cara pelonggaran uang beredar, itu hanya akan memperbanyak uang yang tumpah ke luar negeri. Akibatnya, neraca pembayaran yang sudah buruk jadi tambah parah. Karena itu, Gubernur BI mendukung kebijaksanaan anggaran pemerintah yang dirancang berdasarkan perhitungan realistis. Ternyata, untuk anggaran yang dirancang pemerintah untuk 1987-1988, masih realistis juga, karena disusun berdasarkan harga minyak yang berlaku, yakni sekitar US$ 14 per barel. Dengan demikian, andai kata harga minyak naik menjadi US$ 18 per barel, anggaran pemerintah bisa disesuaikan secara nominal, tidak menurut perhitungan yang disesuaikan inflasi. Sikap konsistensi terhadap akademika serta keluwesannya berhubungan dengan para pejabat, ekonom, dan pengusaha kepcmimpinan BI selama ini telah mengagumkan kalangan perbankan internasional. Tangannya yang satu kukuh mengendalikan inflasi, tetapi tangan yang satu lagi menangkis tekanan - baik dari kalangan politikus maupun lainnya - yang meminta kelonggaran peredaran uang. Arifin Siregar dinilai juga sebagai pemimpin yang gesit memantau penerimaan serta keuangan pemerintah, kemudian memporkas apa yang perlu dikembangkan sesuai dengan gejala perubahan ekonomi. Antara lain, setelah membaca bahwa neraca pembayaran bakal merosot akibat jatuhnya harga minyak, sedangkan pinjaman luar semakin meningkat, BI sejak dini telah menyiapkan cadangan devisa dengan melakukan pinjaman siaga dari luar negeri. Alhasil, sampai akhir tahun 1987 yang sulit ini, beban utang luar negeri (debt service ratio) Indonesia bisa bertahan sekitar 30%. Orang Nomor 1 BI itu, yang senang dengan kata "aturan permainan", tampaknya belum sampai menuntut agar otoritas Gubernur BI diberikan sepenuhnya menurut yurisdiksi bank sentral. Tetapi ia yakin bahwa pemeliharaan stabilitas moneter serta tugas membina kepercayaan masyarakat atas rupiah seharusnya lebih banyak diberikan pada bank sentral. Arifin merasa bahwa BI belumlah seberapa berperanan, dibandingkan misalnya bank sentral Malaysia yang sudah berfungsi secara lebih konsisten sejak Malaysia merdeka dua dasawarsa lalu. Tetapi Arifin, ternyata, tidak menyukai, bahkan mengkritik, kebijaksanaan moneter di negara-negara maju, yang cenderung membela kepentingan ekonomi dan politik negara dengan menomorduakan prinsip "aturan permainan". AS, misalnya, kendati sudah dalam keadaan defisit, tidak melakukan deregulasi yang diperlukan. Sebaliknya, Jerman Barat dan Jepang, yang sudah kebanjiran surplus perdagangan, juga diam saja. Tentang krisis utang negara-negara berkembang, menurut Arifin, Bank Dunia dan IMF tidak memihak kepentingan bank-bank komersial pemberi pinjaman ataupun negara-negara berkembang. Konon, kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah akhir-akhir ini banyak dipengaruhi Bank Dunia dan IMF. Wajar kalau kedua lembaga itu terus memuji. Arifin, yang pernah bekerja di IMF, mengakui bahwa cukup alasan bagi Indonesia untuk berterima kasih kepada kedua lembaga itu. Tetapi langkah-langkah pemerintah yang dipuji mereka itu, menurut Arifin, masih perlu dipertanyakan, "Apakah itu sudah mencapai inti persoalan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini