MENYAKSIKAN turunnya nilai dolar hari-hari ini bagaikan menonton sobat kita belajar di angkasa dengan pesawat peluncur. Dari New York, Rio, Tokyo, (dan tentu saja Jakarta) orang berharap: semoga tidak celaka. Yang tampaknya agak pasti, proses turun tetap terjadi. Senin pekan ini hal itu terbukti lagi, setelah pekan lalu para pedagang mata uang menjual si surat kertas hijau itu dengan harga lebih tinggi. Dan bila tendensi ini kian menukik, seluruh dunia harap siap. Indonesia, misalnya, akan terkena cukup keras. Ekspor minyak Indonesia ke Jepang, misalnya, dihargakan dengan dolar AS. Jika dolar lebih kurus nilainya dibanding yen, seperti yang terjadi sejak 1986, berarti penghasilan Rl akan lebih kecil, apalagi bila buat membeli barang-barang Jepang yang dihargakan dengan yen. Ini juga yang dikemukakan tokoh ekonomi Widjojo Nitisastro, bekas menko ekuin, dalam pertemuan pemimpin redaksi se-Indonesia di Jakarta pekan lalu. Turunnya harga dolar dengan deras juga akan memukul ekonomi Jepang dan Jerman Barat, yang sangat bersandar pada hasil ekspor - terutama ekspor ke AS. Ongkos produksi mereka (dalam yen atau mark) akan relatif lebih tinggi dibanding dengan perolehan mereka (dalam dolar) yang tak akan cukup gemuk lagi. Akibat dari sini dapat mengenai AS sendiri. Washington selama ini berharap, pulihnya kembali ekspor AS bergantung pada sehatnya perekonomian dunia. Dan bila keadaan ekonomi Jepang dan Jerman berat, siapa yang akan mampu membeli barang AS? Dolar yang mengalami devaluasi juga dikhawatirkan akan mendorong inflasi. Di samping itu, bank sentral AS akan terpaksa menaikkan tingkat bunga, guna menarik para investor luar negeri menyimpan uang mereka dalam dolar, dan memberi jalan bagi Departemen Keuangan untuk memperoleh dana. Anggaran belanja AS yang defisit memang selama ini memerlukan banyak dana dari situ. Tapi jika suku bunga dinaikkan, investasi di AS sendiri akan melembek dan ekonominya bisa kian seret. Tak mengherankan bila Kepala Dewan Cadangan Federal, Paul A. Volcker, waswas memandang adanya "kebijaksanaan" untuk mendorong nilai dolar ke bawah terus. Ia, tentu saja, agak menyindir Menteri Keuangan AS, James A. Baker III, yang justru senang melihat turunnya dolar - karena dengan demikian ekspor AS akan lebih mampu bersaing, dengan barang-barang produksi Jepang dan Jerman Barat. Pemerintah AS memang tampak yakin, nilai dolar yang murah merupakan satu-satunya cara efektif guna mengurangi defisit perdagangan AS tahun lalu mencapai US$ 170 milyar. "Kenyataan bahwa harga dolar turun dengan cara yang tertib dan tak gegabah sudah dan akan berakibat baik bagi ekonomi AS," kata Menteri Baker sebagaimana dikutip Reuters awal pekan ini. Tapi tentu saja cukup meresahkan negeri seperti Jepang. Meskipun yang dipikirkannya pertama kali pasti nasib ekspor Jepang, Gubernur Bank Sentral Jepang Satoshi Sumita memperingatkan awal pekan ini bahwa dolar yang terjun bebas akan membuat jeri orang Jepang yang selama ini praktis menomboki defisit anggaran pemerintah AS dengan membeli obligasi Departemen Keuangan AS. Di tahun 1986 saja, diperkirakan US$ 60 milyar dana yang datang dari para investor Jepang untuk itu. Maka, Sumita pun menyatakan: segera akan ada lagi pertemuan "G-5" (AS, Inggris, Prancis, Jerman Barat, Jepang) buat menyelesaikan nilai tukar yang terguncang-guncang itu. Sebenarnya ia cuma mengharapkan. Di Washington, Baker menyatakan belum melihat keberhasilan pertemuan macam itu. Ia memang sebelumnya pernah bersepakat dengan Menteri Keuangan Jepang Miyazawa, tapi hasilnya akhirnya tak ada. Lagi pula, di Washington orang tahu, strategi Baker adalah yang kini terbaik bagi AS: menurunkan dolar sambil berharap, insya Allah, tak akan terjadi inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini