Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT dua pekan lalu menjadi hari yang paling padat bagi Iswandi Said. Sebagai Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour (Persero), orang nomor satu di hotel pelat merah ini sejak pagi sibuk bertemu dengan sejumlah orang untuk membicarakan bisnis perusahaannya. Salah satunya dengan Badan Pemeriksa Keuangan.
"Kami dipanggil ke kantor mereka untuk membicarakan hasil audit," kata Iswandi saat ditemui di kantornya, Kamis pekan lalu. Semua anggota staf direksi dan komisaris menemani Iswandi. Sesampai di sana, mereka disambut oleh anggota VII BPK, Achsanul Qosasi, beserta tim auditor.
Pertemuan digelar pukul 09.30 WIB. Agendanya: penyerahan laporan hasil pemeriksaan BPK atas pendapatan dan kerja sama Hotel Indonesia dengan pihak ketiga. Termasuk soal pengelolaan bangun-guna-serah atau build-operate-transfer (BOT) antara Hotel Indonesia, PT Cipta Karya Bumi Indah, dan PT Grand Indonesia.
PT Grand Indonesia adalah perusahaan yang dibentuk oleh PT Cipta Karya Bumi Indah untuk mengelola bisnis bersama Hotel Indonesia. Cipta Karya memenangi tender BOT Hotel Indonesia. Dibuka oleh pemerintah sejak 2002, hasil tender diteken pada 2004.
Setelah menyerahkan laporan audit, BPK memberikan wejangan kepada Iswandi apa yang harus dilakukan ke depan. "Mereka minta kami mengoptimalisasi aset yang sedang diperjanjikan dan menekankan sinergi ke depan," ujar Iswandi.
Apa yang disampaikan Achsanul Qosasi kepada direksi Hotel Indonesia tak segalak isi audit. Dalam berkas setebal 52 halaman dengan tambahan 4 lampiran yang diperoleh Tempo, BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,29 triliun akibat pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan perjanjian. BPK juga menyebutkan perpanjangan perjanjian tidak mempertimbangkan umur ekonomis bangunan karena disewakan hingga 50 tahun. "Atas temuan itu, BPK minta agar Hotel Indonesia mengambil langkah yang diperlukan. Salah satunya renegosiasi," ucap seorang pejabat pelat merah yang mengetahui perkara ini.
Rekomendasi ini menghilang saat pertemuan berlangsung. Alih-alih menyinggung soal renegosiasi, Achsanul meminta direksi berfokus menjalankan bisnis. Achsanul, kata pejabat tadi, malah meminta agar kontrak tak diotak-atik lagi. "Alasannya sudah mengikat, padahal ini masalah aset negara," ucapnya.
Iswandi membenarkan hal tersebut. Di mata BPK, kata Iswandi, yang terjadi pada kontrak dengan Grand Indonesia adalah "kecelakaan" yang dilakukan direksi pendahulu. "BPK berpesan, kalau putus kontrak, citra di mata investor bisa jelek, jadi diminta supaya cari peluang ke depan," ujarnya.
Achsanul tak menampik jika disebut ada persoalan di dalam perjanjian sewa itu. Ia menyebutkan perjanjian antara Hotel Indonesia dan Grand Indonesia memang kurang menguntungkan. Tapi, kata dia, jatuh temponya masih sangat lama. "Jadi BPK minta Grand Indonesia memberikan peluang bagi HIN (Hotel Indonesa Natour) agar dapat memanfaatkan kerja sama dalam bentuk lain," ucapnya.
POTENSI kerugian negara muncul setelah PT Cipta Karya Bumi Indah dua kali merevisi proposal saat tender berlangsung. Dalam proposal terakhir inilah perusahaan yang juga mengelola WTC Mangga Dua itu banyak mencantumkan--sekaligus tidak mencantumkan--hal-hal yang di kemudian hari merugikan Hotel Indonesia. Salah satunya pencantuman jangka waktu sewa yang semula hanya 30 tahun menjadi bisa diperpanjang 20 tahun.
Adapun yang tidak dicantumkan dalam perjanjian, menurut hasil temuan BPK, adalah soal kelebihan penggunaan fasilitas. Audit menyebutkan perjanjian BOT hanya mencantumkan pembangunan hotel, pusat belanja I dan II, serta fasilitas parkir. Sedangkan hasil pengamatan fisik ditemukan dua bangunan lain yang tak sesuai dengan perjanjian, yakni Menara BCA dan Apartemen Kempinski.
Padahal nilai sewa Menara BCA tidak main-main. Dari laporan keterbukaan Bank BCA pada 2006, nilai sewanya mencapai US$ 33,6 juta untuk 2007-2035. Begitu pula Apartemen Kempinski, yang memiliki 263 unit kamar. Tarif sewa unit satu kamar minimal US$ 3.000 per bulan. Tapi, karena tidak masuk perjanjian, Hotel Indonesia tidak mendapat kompensasi apa-apa dari pemanfaatan lahan.
Iswandi menyayangkan hilangnya potensi ini. Ia tengah mempelajari perjanjian yang diteken oleh pendahulunya 12 tahun lalu. "Saya juga baru dua bulan di sini, jadi mesti kami lihat dulu kontraknya."
Temuan BPK juga menyebutkan harga sewa lahan perjanjian dan kompensasi terlalu rendah. Menurut Iswandi, kompensasi yang diberikan oleh Grand Indonesia kepada Hotel Indonesia Natour sudah dikunci setiap tahun. "Kompensasi hingga 2020 jumlahnya Rp 11 miliar per tahun," katanya.
Iswandi mengakui nilai ini tergolong kecil bila dibandingkan dengan penerimaan yang bisa dikumpulkan Grand Indonesia dari bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah negara. Dari hotel, dua pusat belanja, lahan parkir, apartemen, sampai perkantoran.
Secara keseluruhan, kompensasi yang diterima Hotel Indonesia Natour untuk perjanjian yang berakhir pada 2035 ini hanya Rp 385 miliar. Angka perhitungan ini menggunakan formula 25 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP) saat perpanjangan kontrak pada 2010.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi mengkritik skema kerja sama ini. Ia menjelaskan bahwa NJOP tanah di Jakarta akan bergerak naik setiap tahun. Berdasarkan hitungan BPK, jika hak opsi perpanjangan diteken pada 2014, Hotel Indonesia berpeluang mendapatkan kompensasi hingga 2035 sebesar Rp 1,6 triliun. "Kalau NJOP-nya tidak dikunci dan dibuat progresif, bisa lebih besar lagi yang didapatkan negara," ucapnya.
Ia mengatakan skema seperti ini adalah permainan klasik dari pengusaha untuk memeras keuntungan dari aset negara. Ia menyarankan agar hasil audit BPK ini bisa dilanjutkan ke tahap hukum, semisal melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. "Apalagi KPK juga sedang berfokus menangani masalah aset negara."
Grand Indonesia belum memberi tanggapan apa pun terkait dengan persoalan ini. Panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirim kepada Direktur Keuangan Grand Indonesia Harry Koesnadi belum dijawab.
PT Cipta Karya Bumi Indah juga tidak mau menjawab pertanyaan. Rusmanto, salah satu pegawai Cipta Karya, menyarankan pertanyaan langsung disampaikan ke Grand Indonesia. "Sebab, saat ini Grand Indonesia yang mengelola penuh aset tersebut," katanya.
BCA juga tidak banyak berbicara. Sekretaris Korporat BCA Inge Setiawati mengatakan masih belum bisa memberi komentar terkait dengan hal ini. "Kami harus memastikan dulu masalah ini ke bagian legal," ujarnya.
Iswandi melihat masalah ini sebagai pembelajaran. Ia akan mengajak direksi Grand Indonesia membicarakan soal kemungkinan perubahan perjanjian dengan skema bisnis yang lebih baik. Ia juga akan meminta Grand Indonesia melibatkan Hotel Indonesia Natour dalam pengelolaan hotel pada 2019 setelah kontrak Kempinski habis. "Kami akan berupaya agar nama Hotel Indonesia jangan tersisa sebagai nama bunderan saja," katanya.
Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo