Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKALAHAN di Pengadilan Negeri Palembang pada pengujung tahun lalu tak menyurutkan langkah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan pembakar lahan ke pengadilan. Kali ini yang jadi target gugatan adalah PT National Sago Prima.
Kementerian menuding anak usaha Sampoerna Agro Tbk itu membakar 3.000 hektare lahan berstatus hutan tanaman industri di Tebing Tinggi, Meranti, Riau. Kementerian melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sesuai dengan domisili kantor pusat National Sago, yakni di Sampoerna Strategic Square, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. "Gugatan kali ini lebih jelas. Buktinya kuat. Kami optimistis menang," kata Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jasmin Ragil Utomo, Kamis pekan lalu.
Pekan ini gugatan perdata atas National Sago memasuki sidang ketiga. Sebelumnya, Kementerian dan National Sago sempat mengupayakan perdamaian. Namun jalur mediasi itu buntu. Penyebabnya, antara lain, tak ada kesepakatan soal jumlah ganti rugi. "Mereka ngotot tak ada kerusakan lahan karena masih bisa ditanami," ujar Ragil.
Di Pengadilan Negeri Palembang, pada 30 Desember 2015, Kementerian Lingkungan Hidup kalah melawan PT Bumi Mekar Hijau. Majelis hakim menolak tuntutan ganti rugi Kementerian sebesar Rp 7,9 triliun. Pertimbangan hakim, antara lain, juga menganggap pembakaran tak merusak lahan yang masih bisa ditanami.
Untuk melawan National Sago, Kementerian Lingkungan telah mengantongi amunisi tambahan. Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau, pada 19 Januari 2015 menghukum National Sago bersalah karena lalai mengendalikan kebakaran. "Putusan itu modal penting buat kami," kata Ragil.
Kuasa hukum National Sago, Harjon Sinaga, menyatakan keberatan atas gugatan Kementerian. Menurut dia, perusahaan malah dirugikan oleh kebakaran lahan tersebut. Perusahaan yang memproduksi sagu ini pun tak punya rencana membuka lahan baru. "Penanaman sagu itu tak membutuhkan pembakaran lahan. Kami justru rugi besar karenanya," ujar Harjon, Rabu pekan lalu.
KEBAKARAN di lahan PT National Sago Prima mulai terdeteksi pada 30 Januari 2014. Pencitraan satelit Terra-Aqua Modis menangkap tanda-tanda kebakaran untuk pertama kalinya. Satelit milik badan antariksa Amerika Serikat, NASA, itu mendeteksi kebakaran di 40 petak tanaman sagu belum produktif seluas 2.000 hektare dan di 25 petak tanaman sagu produktif seluas 1.000 hektare.
Kementerian Lingkungan Hidup meminta bantuan ahli kebakaran hutan dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, mengecek ke lapangan pada 9 Maret 2014. Sedangkan tim Kementerian menyusul ke lokasi kebakaran pada 22 Maret 2014. Menurut anggota tim Kementerian, Yose Rizal, di lahan National Sago, selain banyak pohon sagu yang terbakar, lapisan gambutnya rusak. "Kawasan konservasi yang membatasi sejumlah petak pun ikut terbakar," kata Yose.
Penelusuran oleh tim Kementerian juga menemukan alat-alat pengendali kebakaran di lahan National Sago tidak aktif. Akibatnya, api terus berkobar sejak Januari sampai waktu kedatangan tim Kementerian pada Maret tahun itu.
Temuan tim ahli Kementerian kala itu masuk Laporan Audit Kepatuhan Perusahaan Bidang Kehutanan 2014 yang dikeluarkan oleh Badan Pengelola REDD+ serta Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Laporan tersebut mencatat, National Sago tak memiliki sarana pengendali kebakaran yang memadai, seperti pompa air, sistem deteksi, dan sekat bakar.
Sarana sekat bakar di lahan National Sago, misalnya, hanya dibuat selebar 3-5 meter. Aturannya, lebar sekat bakar sekitar tiga kali tinggi pohon paling jangkung di suatu kawasan. Karena ketinggian tanaman sagu bisa mencapai 10 meter, lebar sekat pencegah kebakaran yang ideal semestinya sekitar 30 meter.
Tim Kementerian juga menemukan fakta minimnya menara pengawas. Dari yang direncanakan perusahaan sebanyak sepuluh menara, di lapangan hanya ada empat menara. Kelengkapannya pun berbeda-beda. Sementara ada menara pengawas yang memiliki teropong dan lampu sorot, menara lain hanya memiliki peta.
Penelusuran Kementerian juga menemukan PT National Sago tak mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Padahal dokumen amdal harus ada untuk penerbitan izin lingkungan hidup, yang menjadi syarat izin usaha. "National Sago masih memakai amdal perusahaan lama, yakni National Timber and Forest Product. Itu harus direvisi," ujar Yose Rizal.
Kementerian lantas meramu semua temuan itu untuk menyusun laporan pidana dan gugatan perdata. Perkara pidana ditangani Kepolisian Daerah Riau lebih awal. Di persidangan pidana, jaksa mendakwa National Sago melakukan empat pelanggaran: membuka lahan dengan membakar, sengaja membakar hutan, melakukan usaha tanpa seizin menteri, dan melakukan usaha tanpa amdal.
Jaksa menuntut National Sago dihukum denda Rp 5 miliar dan diminta membayar biaya pemulihan lingkungan hidup Rp 1,4 triliun. Jaksa pun menuntut manajer National Sago, Nowo Dwi Priyono, dihukum 18 bulan penjara dan didenda Rp 1 miliar.
Pada 19 Januari 2015, majelis hakim menyatakan National Sago bersalah. Menurut majelis, perusahaan lalai karena tak memiliki sarana yang layak untuk mengendalikan kebakaran. Akibat kebakaran yang tak terkendali, mutu baku lingkungan hidup di sekitar lahan National Sago pun terlampaui. Majelis hakim menghukum PT National Sago membayar denda Rp 2 miliar dan mewajibkan mereka melengkapi sarana pengendalian kebakaran. "Sekarang masih tahap kasasi," ucap Ragil.
Meski hukuman atas National Sago lebih ringan daripada tuntutan jaksa, menurut Ragil, putusan itu memperkuat dasar gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian mengklaim posisi mereka kali ini lebih kokoh dibandingkan dengan posisi ketika menggugat PT Bumi Mekar Hijau.
Di samping kemenangan di jalur pidana, Kementerian mendapat "bonus" amunisi dari National Sago sendiri. Pada 11 September 2014, perusahaan ini mengirimkan surat permintaan perlindungan dan pendapat hukum Kementerian untuk menghadapi perkara pidana di kepolisian. Dalam permohonan itu, National Sago juga mengakui telah terjadi kebakaran di lahan mereka plus menunjukkan data pendukungnya. "Sekarang data itu kami pakai untuk menggugat. Mereka membuat blunder," ujar Ragil.
Di jalur perdata, argumen gugatan Kementerian atas National Sago tak jauh berbeda dari dakwaan jaksa. Ada tiga hal yang mendapat penekanan: perusahaan ini merusak lingkungan, tidak mengantongi amdal, serta tidak punya sarana dan prasarana pemadam yang memadai. Di persidangan perdata, menurut Ragil, Kementerian akan merekomendasikan pencabutan izin usaha National Sago.
Kementerian menuntut National Sago membayar ganti rugi Rp 1,079 triliun. Menurut Ragil, Kementerian tak sembarangan menghitung kerusakan dan ganti rugi. Tingkat kerusakan dilihat dari sejumlah kriteria baku, seperti kerusakan tanah dan ekosistem. Misalnya gugatan menghitung kerusakan lahan gambut yang terbakar dan mengalami penurunan hingga 30 sentimeter.
Tuntutan ganti rugi juga didasarkan pada hebatnya kerusakan. Untuk kerusakan ekologis, Kementerian menghitung kerugian sekitar Rp 319,17 miliar. Adapun ongkos pemulihan lahan diperkirakan Rp 753,75 miliar. Termasuk dalam biaya pemulihan, misalnya, perbaikan penampungan air, yang diperkirakan memakan dana Rp 190,5 miliar.
Juru bicara National Sago Prima, Setio Budi Nugroho, mengatakan perusahaan siap mengikuti semua persidangan di pengadilan. Setio pun berkukuh bahwa perusahaan tak bersalah, baik dalam pembakaran lahan maupun perizinan. Menurut dia, tuduhan pemerintah bahwa perusahaan membakar hutan tidak benar. "Dalam putusan pidana kan disebutkan api dari lahan masyarakat," tutur Setio.
National Sago mengklaim telah melakukan tindakan tanggap darurat atas kebakaran, antara lain dengan mengerahkan 1 unit pompa air, 10 unit mesin robin, 1 unit ekskavator, dan 50 unit pemadam kebakaran pada 30 Januari 2014.
Ketika terjadi kebakaran, Setio mengakui bahwa sarana dan prasarana pemadam belum memadai. "Kami lalai akan hal tersebut," katanya. Kendati demikian, Setio mengklaim perusahaan sudah melengkapinya sesuai dengan amar putusan pidana. "Dengan begitu, kami berharap gugatan perdata tak dikabulkan hakim," ujarnya.
Istman M.P., Ryan Novitra (Riau)
PT National Sago Prima (NSP)
2014
30 Januari
Satelit NASA menangkap citra kebakaran. Awal titik api ditemukan di Petak K 26 pada pukul 19.45.
31 Januari
Api mendekat ke area tanaman sagu masyarakat. Upaya pemadaman berlangsung.
2-3 Februari
Kebakaran mencapai petak huruf U, V, W, dan X.
5-6 Maret
Area kebakaran sudah mencapai petak huruf N, P, dan O.
9-10 Maret
Penyidik Kepolisian Daerah Riau, Dinas Kehutanan Meranti, dan ahli dari Institut Pertanian Bogor mengambil sampel tanah bekas terbakar.
11 Maret
Luas area kebakaran mencapai 2.200 hektare dari total akhir 3.000 hektare.
22 Maret
Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan inspeksi ke area kebakaran.
7 April
Laboratorium Institut Pertanian Bogor menyimpulkan pembakaran dilakukan dengan sengaja dan sistematis.
November
Berkas perkara pidana dinyatakan lengkap oleh Polda Riau.
2 Desember
Dakwaan dibacakan jaksa penuntut umum.
2015
19 Januari
Majelis hakim pimpinan Sarah Louis menghukum National Sago Prima dengan denda Rp 2 miliar dan mewajibkan mereka melengkapi sarana-prasarana pengendali kebakaran. Jaksa mengajukan permohonan banding.
30 Oktober
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat National Sago Prima Rp 1,079 triliun.
November-Desember
Kementerian dan National Sago Prima menempuh upaya damai, tapi buntu.
2016
14 Januari
Gugatan perdata Kementerian memasuki sidang pokok perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo