Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI SEBUAH hipermarket di kawasan bundaran Senayan, Maria berbaur dengan puluhan pengunjung lain. Tangan perempuan 28 tahun itu cekatan memilih apel Fuji dari lemari pendingin. Selesai urusan si bulat merah, karyawan swasta itu kembali mendorong kereta belanja menyusuri lorong lorong pasar yang ditata apik.
Tak berselang lama, troli belanjanya hampir penuh oleh susu balita, popok, sabun, odol, berbagai peralatan rumah tangga, hingga karpet Belgia. "Barangnya lengkap. Sekali datang, bisa beli sayur, peralatan rumah tangga, dan kosmetik," ujarnya.
Dalam sebulan, Maria dua kali mengunjungi toko modern di dekat kantornya itu. Pengunjung lainnya, Nurjanah, 24 tahun, juga mengaku rutin dua tiga kali sebulan berbelanja di hipermarket. Alasannya, selain tempatnya nyaman dan lengkap, pembayaran bisa dilakukan dengan kartu debit.
Kian maraknya pembukaan hipermarket di pelbagai kota menunjukkan bahwa bisnis retail memasuki masa pemulihan pada tahun ini. Setelah dihajar kelesuan bisnis pada 2009, yang membuat pertumbuhan retail hanya 5 persen, pada 2010 sektor ini diprediksi tumbuh 12 persen.
Direktur Retailer Services Nielsen Yongky Susilo menyebutkan bahwa tahun depan bahkan bakal menjadi periode terbaik pertumbuhan bisnis ini. Besarannya mencapai kondisi sebelum krisis keuangan dunia 2008, yaitu 15 18 persen.
"Bagi retail modern, pertumbuhan bisa tercapai hanya dari faktor alami," ujar Pelaksana Harian Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia Tutum Rahanta. Artinya, sekalipun pengusaha tak menggenjot pertumbuhan bisnisnya, retail modern tetap akan tumbuh dengan sendirinya karena dorongan inflasi dan kenaikan biaya lain.
Tutum mengungkapkan retail modern akan lebih melambung lagi jika diciptakan pasar baru, misalnya dengan menyelenggarakan program wisata belanja. Jika program itu disertakan, omzet penjualan retail modern akan melonjak dari Rp 100 triliun pada 2010 menjadi Rp 120 triliun tahun depan.
Cerahnya langit bisnis retail modern juga diramalkan sang pemimpin pasar, Carrefour. Setelah 40 persen sahamnya dibeli Transcorp, anak usaha Grup Para milik konglomerat Chairul Tanjung, senilai lebih dari US$ 300 juta pada April lalu, retail modern asal Prancis ini bertekad menebar lebih banyak gerai. Manajer Senior Hubungan Publik PT Carrefour Indonesia Satria Hamid Ahmadi menyebut pertumbuhan Carrefour berkisar 13 15 persen pada tahun depan.
Hypermart juga menargetkan pertumbuhan melebihi perkiraan Asosiasi. "Kalau pertumbuhan terus positif, omzet penjualan pada akhir 2014 bisa Rp 20 triliun," kata Direktur Komunikasi Korporat PT Matahari Putra Prima Tbk. Danny Konjongian.
Matahari tak asal bunyi. Profil bisnis Hypermart seakan mewakili pesatnya pertumbuhan sektor retail modern. Baru dipisahkan dari Matahari pada 2004 dengan menanggung kerugian Rp 150 miliar, pada 2009 Hypermart telah membukukan penjualan Rp 6,5 triliun dan menyebar 50 gerai sampai 2010.
Di kelas hipermarket, Carrefour masih bertakhta sebagai pemimpin pasar dengan memiliki 76 gerai, diikuti oleh Hypermart dan Giant, yang dimiliki oleh PT Hero Supermarket Tbk., dengan 37 gerai. Adapun di daerah, merek lokal seperti Yogya masih menancapkan kukunya.
LotteMart, pemain asing yang masuk Indonesia setelah mengakuisisi PT Makro Indonesia pada Oktober 2008, diperkirakan belum bisa berbuat banyak karena sebaran gerainya masih terbatas. Tahun ini jumlah gerai perusahaan asal Korea Selatan itu sebanyak 19, yang merupakan warisan Makro.
Adapun di kelas minimarket, nama besar Indomaret dan Alfamart masih menguasai pasar.
Sayangnya, sukses retail modern tak dijejaki para pelaku retail tradisional. Pertumbuhan mereka masih tetap jumud di bawah 10 persen. Penyebabnya, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia Ngadiran, pemerintah tak serius menata dan memperkuat pasar tradisional. "Pasar tradisional dibiarkan semrawut," ucapnya.
Benjamin Mailool menepis pendapat Ngadiran. Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia ini berpendapat banyak pengelola pasar tradisional yang hanya berorientasi pada keuntungan dengan membuka sewa lahan sebanyak banyaknya tanpa mencadangkan biaya revitalisasi.
Ia yakin pasar tradisional bisa terus mekar karena memiliki keunggulan yang tak bisa dipenuhi pasar modern. Misalnya, karena tak memiliki mesin pendingin, otomatis barang barang di pasar tradisional lebih segar. Faktor lainnya adalah budaya sebagian anggota masyarakat yang lebih senang ke pasar tradisional karena di sana ada interaksi antarmanusia.
Pernyataan Benjamin ada benarnya di mata Maria. Meski menjadi pengunjung tetap pasar modern, Maria tak meninggalkan kebiasaannya mengubek ubek pasar tradisional. Saban akhir pekan ia masih membeli sayur dan daging segar di Pasar Agung, Depok. "Kalau di toko modern, kita tak tahu daging itu sudah berapa lama disimpan," katanya. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo