BATASAN mengenai pengusaha kecil tak kena Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) akhirnya jelas juga. Mereka ini, seperti disebut Keputusan Menteri Keuangan 11 Mei, adalah pengusaha yang bermodal maksimum Rp 10 juta, dan punya peredaran bruto tak lebih dari Rp 60 juta setahun. Menurut Dirjen Pajak, Salamun A.T., para pengusaha kecil jenis ini biasanya tak mampu bikin pembukuan. "Kasihan mereka, kalau omsetnya rata-rata cuma Rp 5 juta sebulan," katanya. Penggolongan pengusaha kecil bebas PPN dengan cara ini tidak sama dengan yang diterapkan sejumlah negara Eropa Barat. Di sana, konon, jumlah buruh dan mesin yang dipakai iuga banyak menentukan blsa tidaknya seseorang disebut sebagai pengusaha kecil. "Kita di sini praktis saja," ujar Salamun. Sekalipun sudah praktis, ketua Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia (Hipli), Faber Purba, mengaku, "Masih kurang mengerti apa makna keputusan itu." Dia meminta agar Ditjen Pajak sekali-sekali memberikan penyuluhan pajak gratis kepada pengusaha kecll. "Kalau kami arus Ikut penataran dan bayar Rp 200.000, mana mampu," ujarnya. Penyuluhan tampaknya diperlukan mengingat pelaksanaan PPN, yang ketentuannya berlaku mulai 1 Juli, cukup rumit. Pajak jenis ini biasanya dipungut dari wajib pajak yang melakukan kegiatan merakit, memasak, mencampur, mengemas, membotolkan, dan menambang. Menurut ketentuan, pemungutan PPN ini baru dilakukan, jika seorang pabrikan telah menyerahkan baran ke pabrikan berikut untuk diolah. Sesudah barang tadi diproses, pabrikan kedua tadi diperbolehkan juga memungut PPN kepada pedagang besar, atau distributor yang memilih jadi pengusaha wajib pajak. Besarnya tarif PPN ini 10%. Tapi kalau pabrikan bersangkutan dalam kegiatan merakit menghasilkan barang mewah, misalnya mesin cuci, kepadanya dikenakan tambahan Pajak Penjualan atas Barang Mewah 10%. Tapi keharusan pengusaha mengisi nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pembeli atau penerima jasa dalam faktur pajak, rupanya, cukup merisaukan kalangan pengusaha. Maklum, tidak semua pengusaha - apalagi yang selama ini tak membayar pajak - mau disebut nama, alamat, dan NPWP-nya. Kata Gunawan Narutama, direktur PT Sarang Sari, "Kebanyakan, hanya mau ditulis 'kontan' dalam fakturnya." Gunawan khawatir, jika ketentuan itu tetap dilaksanakan, "Akan banyak korban dari pengusaha." Rasa khawatir yang diutarakan pimpinan pabrik sirup yang tahun lalu membayar Pajak Perseroan Rp 6,2 juta itu, tentu, tidak akan terjadi, jika pembeli atau penerima jasa adalah pengusaha kecil tak kena pajak. Untuk menggolongkan mereka ini, Kantor Inspeksi Pajak (KIP) setempat kelak bakal melakukan penelitian secara langsung di tempat usaha pemohon, sebelum akhirnya memberi surat ketetapan sebagai pengusaha kecil. "Di sini kejujuran pengusaha sangat diperlukan," ujar Soemijano, kepala Seksi Penetapan II KIP Jakarta Timur. Dalam penelitian itu, KIP lebih dulu menilai apakah pengusaha itu menggunakan modal tidak lebih dari Rp 10 juta. Kalau modal yang digunakan di atas Rp 10 juta, pengusaha itu pasti jadi wajib pajak PPN sekalipun omsetnya kurang dari Rp 60 juta setahun. Sebaliknya, jika dengan modal usaha kurang dari Rp 10 juta tapi pengusaha itu punya omset di atas Rp 60 juta, "Maka dia tetap kena pajak juga. Sebab, peraturan ini berlaku kumulatif," ujar Soemijanto. Edi Gunawan, pemilik bengkel Vespa "Vigano" di Senen Raya, Jakarta Pusat, tampak begitu bersemangat akan melapor ke KIP ketika mendengar ada ketentuan itu. Sekalipun belum pernah didatangi petugas pajak, dia akan minta digolongkan sebagai pengusaha kecil bebas PPN, mengingat omset usahanya yang bermodal Rp 7 juta hanya Rp 7,2 juta setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini