Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Yang Untung dan yang Berisiko Buntung

Pasar keuangan tak terguncang meski terjadi tapering oleh bank sentral Amerika Serikat. Tekanan ekonomi makro Indonesia masih terbuka.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Imam Yunianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pasar global tak bereaksi meski The Fed mengurangi likuiditas.

  • Tak berarti badai sudah berlalu.

  • Apa risikonya bagi Indonesia?

BERITA besar itu ternyata tidak menimbulkan guncangan. Pasar keuangan global relatif tetap tenang kendati Ketua The Federal Reserve Jay Powell mengumumkan pengurangan suntikan likuiditas. Pasar saham di mana-mana bahkan meneruskan tren kenaikan harga, seolah-olah tak terhentikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan itu sebetulnya berdampak besar bagi pasar. Powell menyampaikan bahwa The Fed akan mulai mengurangi pembelian aset finansial yang selama ini nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan mulai November 2021. Dengan kata lain, The Fed akan mengurangi suntikan likuiditas yang selama masa pandemi Covid-19 menjadi bahan bakar penggerak pasar sehingga mengerek harga berbagai aset finansial. Logikanya, jika suntikan ini mengendur, bahan bakar berkurang, harga berbagai aset finansial berjatuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekhawatiran itu ternyata tidak terwujud. Pasar relatif tetap stabil. Salah satu sebabnya: The Fed sungguh bekerja keras enam bulan terakhir untuk melempar isyarat dan mengondisikan situasi. Sebelum akhir tahun, pengurangan pembelian aset atau tapering akan terjadi.

Isyarat bertubi-tubi itu membuat investor mengambil berbagai langkah antisipatif sejak jauh hari. Harga-harga aset finansial di pasar sudah tersesuaikan, priced in, dengan segala konsekuensi jika suntikan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar global mulai surut.

Yang juga tak kalah penting, pasar tidak bergejolak karena Powell masih memberikan satu jaminan. The Fed tidak akan gegabah menaikkan bunga tanpa menimbang dua syarat utama yang mesti terpenuhi: ekonomi Amerika mampu mempekerjakan semua orang yang membutuhkan kerja dan secara rata-rata inflasi tidak melebihi 2 persen. Dua syarat ini memang tak mudah terpenuhi.

Karena itu, tak seperti perkiraan banyak analis yang memprediksi kenaikan bunga rujukan The Fed bahkan hingga dua kali pada tahun depan, Powell menegaskan bahwa The Fed akan bersikap sabar dalam hal kebijakan bunga. Pasar pun menilai pernyataan itu sebagai jaminan stabilitas.

Jika tak ada kenaikan bunga dalam tempo dekat, para manajer pengelola investasi tak perlu merealokasi dana investasi portofolio secara besar-besaran. Ini tentu kabar sukacita bagi pasar negara berkembang. Sejarah tapering 2013 menunjukkan negara berkembanglah yang menjadi korban terbesar. Dana investasi bisa keluar secara masif dari negara-negara berkembang, berpindah ke pasar yang lebih mapan di Amerika atau Eropa.

Tetap tenangnya pasar, termasuk di Indonesia, tak berarti badai benar-benar sudah berlalu. Perubahan kebijakan likuiditas The Fed pasti berdampak pada komposisi investasi portofolio asing di Indonesia. Tetap ada risiko realokasi dana investasi.

Salah satunya: dana asing yang mendekam dalam obligasi terbitan pemerintah RI terus menyusut. Per awal November ini posisinya tinggal Rp 934 triliun, setara dengan posisi pada Mei 2020, di awal pandemi mengamuk. Sebagai pembanding, dana asing yang parkir di sini sempat mencapai Rp 1.077 triliun pada Januari 2020.

Perubahan kebijakan The Fed juga menetralkan dampak positif yang seharusnya muncul dari lonjakan harga komoditas ekspor Indonesia. Teorinya, jika dolar hasil ekspor meningkat, kurs rupiah menguat. Sayangnya, kali ini kurs rupiah tak kunjung menguat meski penerimaan ekspor Indonesia sedang tinggi. Dimulainya tapering membuat nilai rupiah tetap tertekan, apalagi jika kelak suku bunga akhirnya harus naik.

Ekonomi Indonesia secara makro, atau nilai rupiah, boleh saja saat ini dalam posisi kurang menguntungkan lantaran perubahan kebijakan The Fed. Namun, bagi para taipan eksportir komoditas, pemegang konsesi tambang batu bara misalnya, kombinasi ini justru menimbulkan keuntungan ganda. Naiknya harga komoditas membuat dolar yang masuk kantong mereka lebih besar pula. Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah terus menurun.

Hasilnya, para bohir berpenghasilan dolar kini mempunyai kekuatan dana melimpah untuk mengongkosi segala kebutuhan mereka di dalam negeri dengan rupiah. Ketika ekonomi terpapar risiko, beberapa orang justru tertawa bahagia menikmati rezeki berganda.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus